Kamis, 26 Maret 2015

DIMENSI POLITIK PRAKTIS PENDETA” Sub Judul : “Suatu kajian teologis terhadap pendeta yang terjun dalam politik praktis (Caleg) yang di ukur dari kemampuan pengetahuan pendeta dan dari sisi etika, khususnya di wilayah Jailolo dan Sahu. Kab. Hal-Bar.



BAB I
PENDAHULUAN

A.   Latar Belakang masalah dan Alasan Pemilihan Judul.
Tidak semua orang tahu bahwa berpolitik adalah hak setiap manusia yang ada di Dunia ini khususnya di Indonesia. Tetapi gaya politik macam manakah yang harus dipakai?. Kenyataan menunjukan bahwa pada umumnya para penguasa politik Indonesia menggunakan mesin kendaraan politik demi mengokohkan kepentingan pribadi dan kelompok atau partai politiknya. Sebagaimana para politisi Indonesia yang selalu meneriakan “demi kepentingan rakyat atau hanya demi rakyat dan demi kepentingan umum” tetapi sebenarnya hanya untuk menyembunyikan siasat buruknya dalam rangka memenangkan kepentingan pribadinya.[1]
        Kata politik berasal dari bahasa Yunani, yaitu polis. Secara harfia, arti kata polis adalah kota. Dan dari sinilah kemudian di kembangkan berbagai pengertian.[2] Politik adalah ilmu kenegaraan/tata Negara; sebagai kata kolektif yang menunjukan pemikiran yang bertujuan untuk mendapatkan kekuasaan.[3]
Politik dalam arti yang sebenarnya atau sejatinya adalah kepastian sekaligus jawaban. Ia harus memberi  harapan sekaligus pencapaian. Sebab Negara bukan sekedar kontrak formal yang melibatkan rakyat satu pihak dan elit dipihak lain. Namun dalam prakteknya, politik memang sekedar deretan kemungkinan yang membuka diri terhadap segala kontigensi. Membaca politik yang demikian selalu penuh dengan tanda Tanya, penuh kebimbangan, dan kecurigaan. Itulah politik yang ditampilkan elite kita. Secara sewenang-wenang, politik didegradasi sebagai dunia tanpa batas, tanpa kepastian dan tanpa harapan.
           Politik adalah titik-titik, siapapun tergantung kepentingan, dipersilakan untuk mengisi titik-titik yang tentunya dengan pamrih parsial. Maka, bukan sebuah kejanggalan kalau DPR berteriak atas nama kedaulatan bangsa padahal menjual-jual hajat hidup rakyat.
            Makna politik tergantung pada subjek yang memaknai dan menguasainya. Di tangan negarawan, politik adalah kebijakan umum. Ditangan pecundang, yang layak disebut “tukang politik” politik adalah komoditas.[4]
         Ada juga beberapa pandangan mengenai politik yaitu:
  1. Politik adalah usaha-usaha yang ditempu warga Negara untuk membicarakan dan mengupayakan kebaikan bersama.
  2. Politik adalah segala hal yang berkaitan dengan penyelenggara Negara dan pemerintahan.
  3. Politik adalah suatu kegiatan yang diarahkan untuk mencari dan mempertahankan dalam masyarakat.
  4. Politik adalah kegiatan yang berkaitan dengan perumusan dan pelaksaan kebijakan umum.
  5. Politik adalah konflik dalam rangkah mencari dan mempertahankan sumber-sumber yang dianggap penting.[5]
          Kaitannya dengan politik ada juga beberapa pandangan menyangkut partai politik menurut “Carl. J. Friedrich partai politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi pimpinan partainya dan, berdasarkan penguasaan ini memberikan  kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat idiil maupun meteriil. Sedangkan R.H. Soltau Partai politik adalah sekelompok warga Negara yang sedikit banyak terorganisir, yang bertindak sebagai suatu kesatuan politik yang – dengan memanfaatkan kekuasaannya untuk memilih–bertujuan untuk menguasai pemerintah dan melaksanakan kebijakan umum mereka.” [6]

Kaitannya dengan hal di atas penulis akan membahas lebih khusus tentang keterlibatan pendeta dalam partai politik yang mencalonkan diri mereka disetiap pemilihan calon legislatif yang ada di daerahnya masing-masing. Secara umum kita tahu bersama sejak daerah diotonimisasi maka setiap orang yang berada di daerah itu berkesempatan untuk mencari pekerjaan sendiri di daerahnya termasuk di dunia politik praktis. Oleh karena terbuka kesempatan itu, sebagian pendeta juga tidak menyia-nyiakannya sehingga mereka pun terjun juga dalam partai politik.
Dengan bertolak dari pemikiran di atas tentang partai politik jika dikaitkan dengan tugas dan pelayan pendeta yang datang konon untuk melayani sekarang berpindah untuk memperebutkan kekuasaan apakah hal tersebut layak dilakukan oleh seorang atau sekelompok pendeta?. Dalam kaitannya dengan gereja bukannya berarti bahwa dalam kehidupan bergereja tidak ada perebutan kekuasaan, tetapi bagi penulis perebutan kekuasaan yang terjadi ditubuh gereja ada bedanya dengan perebutan kekuasaan yang terjadi pada politik praktis (partai politik/caleg).
Yang terjadi dalam tubuh gereja menurut penulis ada dua hal yaitu pertama perebutan kekuasaan yang terjadi di gereja hanya bertujuan melayani. Kedua, para pendeta dalam perebutan kekuasaan di gereja itu adalah porsinya jadi wajar, dan jika perebutan kekuasaan yang terjadi di gereja dengan tujuan hanya untuk berkuasa dan untuk diri sendiri sebaiknya jangan dilakukan karena melanggar aturan gereja dan menipu diri sendiri.
Bagi penulis hal itu entah diketehui atau tidak telah dibuat oleh para caleg yang berlatar belakang pendeta yang telah menjadikan jemaat sebagai tempat persinggahan sementara atau “terminal yang menunggu mobil kesempatan untuk pergi ke rumah legislatif.”[7]
Politik sangat penting bagi gereja. Maka politik perlu dikaji secara teologis-etis. Bahkan politik dan teologi-etika tidak bisa dipisakan. Kerena politik merupakan lapangan hidup manusia. Karena itu kehadiran dan keterlibatan gereja dalam politik tidak sekedar ikut serta menjadi penggembira melainkan sebagai pemeran yang berkewajiban memberikan penilaian normatif. Itu sebabnya etika penting bagi politik, yaitu untuk memberikan penilaian apakah penyelanggaraan Negara dilaksanakan sesuai norma-norma kebaikan dan kebenaran.
Kehadiran dan keterlibatan gereja dalam politik, bagaimanapun juga harus diwarnai oleh keyakinan kristiani tentang apa kehendak Allah bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Kalau politik dipahami sebagai pengelolaan Negara secara benar, maka norma kebenaran dalam pengelolaan Negara adalah kehendak Allah. Bagi iman kristiani, kehendak Allah yang nyata dalam Yesus Kristus mestinya menjadi norma dalam pengelolaan Negara yang baik dan benar. Karena itu keterlibatan kita mestilah dilihat dalam terang misi Allah. [8]

Menurut Pdt. M. Pahala Hutabarat, Sth[9] bahwa menyinggung banyaknya Caleg, baginya kita masing-masing mempunyai talenta biarlah talenta yang ada yang dikususkan itu, misalnya buatnya gunakanlah itu sesuai dengan kebutuhannya.
Contohnya ialah bahwa dirinya telah diangkat menjadi seorang pendeta, pendeta itukan sebenarnya adalah anugerah, Sth, Bahkan Doktor teologi itu banyak, tetapi pendeta adalah pemberian khusus antara seseorang dengan Tuhan, karena Tuhan yang memberikan tugas kepadanya, jadi jangan main-main dengan dunia atau kerajaan sorga, jadi jikalau terlibat dalam partai politik berarti seharusnya pendeta itu harus menanggalkan baju-bajunya sebagai pendeta, jadi lebih baik janganlah pendeta menjadi caleg. Dengan begitu maka dengan sendirinya jemaat tidak akan mendengar khotbah para pendeta. Jadi orentasi juga nanti tidak jelas karena bisa terpengaruh oleh situasi di legislatif.
 Menurut Jerry Sumampouw,[10] bahwa dalam hal menyangkut keterlibatan pendeta dalam partai politik ini merupakan sebuah kekeliruan besar yang akan membuat sebetulnya akan menimbulkan problem-problem dilingkungan internal dan ini sebuah contoh yang tidak baik buat jemaat kalau pendeta apalagi kalau dia memegang jabatan atau posisi penting di gereja. Memang tidak ada larangan, tetapi sebaiknya dia beraktifitas itu berdasarkan kode etik moral yang harus dijaga agar bisa menjadi contoh. Payungnya adalah Alkitab, bukan regulasi-regulasi Negara. Mestinya ada keberanian dari para pendeta yang menjadi caleg untuk keluar dari gereja. Ini resikonya, dia tidak bisa bermain didua tempat karena dampaknya bagi jemaat itu besar sekali. Oleh jemaat dia tidak akan dilihat lagi sebagai pendeta, dia akan dilihat sebagai politisi, dan politisi dikenal dimana-mana  itu banyak bohongnya, tidak beres dan lain-lain.
Bahaya itu kemudian jemaat mempersepsikan kalau seorang pendeta itu sebagai politisi, dan ini sebetulnya dampak yang mungkin tidak kelihatan tetapi perlahan-lahan dia akan membentuk kesadaran masyarakat sehingga ini akan mengganggu otoritas kependetaan dalam struktur gereja.
Kebanyakan orientasinya menjadi caleg ingin menjadi garam dan terang, ya jika demikian itukan bukan harus seorang pendeta. Orang yang bukan pendeta bisa menjadi garam dan terang dimana ia pergi dan berada. Pendeta itu dikhususkan untuk melayani  jemaat, bukan melayani masyarakat secara umum. Dia harus konsisten dengan tugas panggilannya. Kalau ada yang mengatakan pendeta bisa menjadi garam
dan terang di DPRD baginya itu merupakan tafsiran yang keliru terhadap kitab suci, itu sudah soal lain. Ada pembagian peran, ada orang Kristen di DPRD kemudian ada orang yang harus melayani di jemaat dan ini tidak bisa dicampur aduk karena fungsi dan posisinya berbeda. Bertolak dari masalah di atas maka penulis merasa tertarik untuk menuliskan hal tersebut sehingga dalam penulisan karya ini diberi Judul : “DIMENSI POLITIK PRAKTIS PENDETA” Sub Judul : “Suatu kajian teologis terhadap  pendeta yang terjun dalam politik praktis (Caleg) yang di ukur dari kemampuan pengetahuan pendeta dan dari sisi etika, khususnya di wilayah Jailolo dan Sahu. Kab. Hal-Bar.

B. Batasan Masalah
Dalam penulisan ini batasan masalahnya yaitu keterlibatan pendeta (pendeta jemaat yang berlatar belakang pendidikan S1 teologi) dalam politik praktis yang ditinjau dari sisi pengetahuan atau latar balakang pendidikan dan latar belakang etika seorang pendeta. Apakah hal tersebut mengiakan pendeta untuk bisa atau tidak untuk masuk mencalonkan diri ke partai politik yang ada di daerah Jailolo dan Sahu.

C. Rumusan Masalah dan tujuan penulisan.
1. Rumusan masalah.
Masalah yang akan dirumuskan dalam bagian ini atau rumusan masalah dalam tulisan ini akan dikembangkan melalui beberapa pertanyaan yaitu :
  1. Apa dan bagai mana partai politik itu  ?
  2. Siapa sebenarnya pendeta itu dan apa tugasnya ?
  3. Mengapa pendeta berpolitik praktis (partai politik) ?
  4. Apa yang dibuat pendeta setelah masuk dalam anggota legislatif?
  5. Gaya politik macam manakah yang harus dilakukan oleh pendeta?

2. Tujuan Penulisan.
 Dari rumusan masalah diatas maka tujuan yang diharapkan untuk dicapai yaitu : menemukan suatu solusi untuk para pendeta yang ingin mencalonkan diri dalam partai politik (Caleg) sehingga dapat memberikan sumbangan baik secara khusus untuk pendeta maupun kehidupan yang nyata untuk publik mancari sebab-akibat bagi jemaat jika pendetanya masuk dalam partai politik dan Caleg.

D. Metode Penelitian.
Metode penelitian yang penulis pakai yaitu: metode deskriptif yakni suatu teknik pengumpulan data yang berdasarkan fakta-fakta yang terjadi di lapangan. Dengan metode ini maka cara atau taktik untuk pengumpulan data yang dipakai ialah :
1. Penelitian pustaka yaitu meneliti sumber-sumber atau pemikiran yang terkait.
2. Penelitian lapangan yaitu meneliti fakta yang terjadi di lapangan, dalam hal ini maka saya menggunakan cara pengamatan atau observasi dan wawancara terhadap orang-orang yang terkait dengan tulisan ini.
Dengan metode deskriptif ditambah dengan teknik pengumpulan data, maka penulis akan berupaya semaksimal mungkin untuk mandapatkan data-data berupa hasil wawancara maupun kajian pustaka yang berkaitan dengan hal yang penulis angkat.

F. Anggapan Dasar dan Hipotesis
Bertolak dari latar belakang masalah di atas maka yang dapat ditarik untuk menjadi sebuah Anggapan Dasar dan Hipotesis yaitu “tugas dan tanggung jawab pendeta adalah untuk melayani warga jemaat bukannya memilih untuk ikut terlibat dalam memperebutkan jabatan dan peluang untuk masuk menjadi anggota legislatif. Dan jika pendeta berusaha keras untuk tetap masuk dalam rana politik praktis (Caleg), maka yang menjadi korban dalam hal ini yaitu jemaat.

E. Sistematika Penulisan.
Penulisan ini akan disusun dengan sistematika sebagai berikut :
Bab I : Pendahuluan.
              Pada bagian ini menjelaskan tentang latar belakang masalah dan alasan penulisan judul, yaitu masalah yang diangkat berkaitan dengan keterlibatan pendeta dalam partai politik yang di lihat dari sisi pengetahuan pendeta dan Etika Kristen.
Bab II  : Konteks persoalan dan gambaran umum tempat penelitian menyangkut keterlibatan pendeta dalam politik praktis (partai politik) yaitu mengemukakan gambaran umum tempat penelitian (Jailolo-Sahu) dan hasil-hasil penelitian yang secara de vakto menyangkut  pandangan - pandangan pendeta dan warga jemaat terhadap para pendeta yang terlibat dalam caleg.
Bab III  : Landasan Teoritis. Yaitu mengangkat berbagai pandangan para ahli tentang apa itu pendeta, partai politik dan atika Kristen.
Bab IV  :  Analisis Konteks Persoalan, Teoritis dan Refleksi Teologis. Yaitu mengalisis hasil dari konteks persoalan dan landasan teoritis dan membandingkan dengan pendanga para ahli tentang gaya politik Yesus.
Bab V   : Penutup. Kesimpulan dan Saran.








BAB II
KASUS PRO-KONTRA PENDETA YANG TERLIBAT DALAM POLITIK PRAKTIS (CALEG)


A. Gambaran Umum Tempat penelitian.
Daerah jailolo berada  di Provinsi Maluku Utara yang tepatnya pulau Halmahera bagian Barat, sehingga berada pada kabupaten Halmahera Barat, karena Jailolo posisinya sangat strategis di daerah Halmahera barat sehingga dijadikan ibu kota kabupaten, hal ini dapat diukur dari jarak yang sangat dekat dengan pulau Ternate yang merupakan ibu kota Provinsi Maluku Utara dan juga daerah jailolo merupakan batas antara kabupaten Halmahera Barat dan kabupaten Halmahera Utara.
Jailolo terdiri terdiri dari tiga kecamatan yaitu kecamatan Jailolo, jailolo selatan, dan jailolo selatan timur. Kecamatan yang berbatasan dengan kabupaten Halmahera Utara ialah kecamatan Jailolo Selatan Timur. Sedangkan, Sahu adalah sebuah dearah yang dahulunya hanya punya satu kecamatan dengan ibu kota kecamatannya letaknya di desa Susupu.
Tetapi karena mengalami pemekaran tiap wilayah maka daerah Sahu ini dibagi dua kecamatan yaitu kecamatan Sahu dan kecamatan Sahu Timur, kecamatan Sahu masih tetap beribukota di desa Susupu sedangkan kecamtan Sahu Timur beribukota di desa Akelamo. Daerah Sahu ini memiliki 7 desa yang mayoritas Islam, 2 Desa Campuran dan 18 desa yang beragama Kristen.[11]

B.  Latar Belakang Pendeta Masuk Partai Politik.
Dalam perjalanan kehidupan Pendeta GMIH, selalu ada, bukan untuk mencari dengan cara bagaimanakah agar para pendeta terus menghayati makna pemanggilannya itu, malahan mencari dengan cara bagaimanakah agar pendeta dibenarkan untuk masuk dan ikut dalam partai politik. hal ini terlihat jelas dalam kutipan dari daftar keputusan Majelis sinode, menyangkut SK no : 370/kpts/XXV/a-2/2003. tentang peraturan pelayan khusus dalam bidang politik khususnya Pada bagian menimbang poin 2 dan 3 berbunyi sebagai barikut :
“Bahwa berdasarkan pemahaman diri dan penggilan sebagaimana disebutkan di atas maka, GMIH perlu menerjuni aspek kehidupan politik sebagai bagian dari kehidupan duniawi yang memiliki ciri dan dinamika tersendiri melalui kehadiran para pelayan khusus dalam rangka membawa suara kenabian, bersama dengan warga gereja lainnya yang berkiprah dibidang politik.
Bahwa para pelayan khusus gereja selaku warga Negara kesatuan Republik Indonesia yang memiliki hak, kewajiban dan panggilan yang sama dengan warga Indonesia lainnya, perlu diberi kesempatan untuk melaksanakan hak, kewajiban dan panggilan Negara menurut asas demokrasi dalam dinamika politik praktis.”[12]

Dalam kesinambungan surat ini dalam bagian memutuskan menetapkan poin 2 yaitu sebagai berikut :
“Setiap pelayan khusus GMIH yang ikut serta dalam bidang politik melalui organisasi/partai politik yang diakui sah dalam Negara kesatuan Republik Indonesia, diwajibkan untuk mengikuti atau mematuhi peraturan tersebut dengan penuh kesadaran akan jati dirinya sebagai bagian dari orang percaya yang diutus kedalam dunia.”[13]


Menurut Pdt. Adelberth Gereja, Pdt. Minggus Eni, Pdt. Ahmad Saya, Pdt. A. Hodja , Pdt. Herland Hady, Pdt. Ausalmon Raffane.[14] “Para pendeta yang masuk dalam calon legislatif”[15] mempunyai pandangan bahwa dalam hal melayani itu bukan hanya ketika pendeta berada di jemaat tetapi nama pendeta itu ketika dipakai juga bisa dalam hal apapun karena itu telah menjadi jabatan identitas dirinya, dengan demikian maka tugas dan tanggungjawab seorang pendeta itu untuk umatnya dan umat itu bukan hanya ketika di jemaat tetapi di mana saja pendeta itu berada termasuk partai politik. Dan hanya pendeta yang tahu betul tentang kebutuhan umatnya, tentang apa yang mereka perlu untuk hidup, selama ini terjadi diskriminasi, misalnya dalam hal test PNS banyak orang Kristen khususnya yang bisa dikatakan boleh tetapi tidak mendapatkannya. Oleh karena itu, pendeta harus berusaha lewat partai politik (caleg) jika diijinkan Tuhan untuk duduk pada DPRD maka upaya-upaya itu yang akan dilakukan oleh seorang pendeta. Menyangkut tugas dan tanggung jawab DPRD itu merupakan hal yang gampang karena siapapun yang menjadi anggota wakil rakyat itu perlu belajar kembali, contoh saja dalam hal membuat perda, hal itu harus belajar bagaimana mengerjakannya. Dan dengan keyakinan bahwa ketika pendeta masuk dalam daftar anggota wakil rakyat itu tidak akan terjadi penyelewengan lagi, yang terpenting adalah iman pendeta jangan tergoncang, jadi walaupun ia pendeta tetapi tergantung pada orangnya juga. Sedangkan menurut Pdt. Imanuel Sale dan Pdt. Yuliche Dolvina Baura[16] yang diambil kesimpulan pada saat telah mencalonkan diri tetapi masih di perbolehkan memimpin ibadah Minggu. yaitu: pertama, alasan praktis bahwa sebenarnya seorang pendeta dalam hal tugas dan tanggung jawabnya tidak hanya melayani di jemaat tetapi umat Allah, dan berbicara menyangkut umat Allah bukan hanya jemaat tetapi semua dan karena umat Allah belum bisa dikatakan sejahtera maka pendeta mau tidak mau harus turut menyuarakan suara tersebut. Kedua alasan teologis, bahwa kematian Yesus di salib itu kerena Ia kalah dalam politik kekuasaan atau kalah dalam parlemen. Oleh karena itu, untuk bersuara kita tidak bisa hanya dari luar tetapi harus masuk dan terlibat agar suara kita dapat didengar dan dihargai, dan ditambah lagi agar supaya ada keterwakilan dari agama Kristen.
Adapun berbagai pandangan dikalangan masyarakat khususnya jemaat tentang seorang pendeta terjun dalam dunia politik, Latar belakang itu timbul dari berbagai kalangan masyarakat. misalnya ada yang berpandangan bahwa jika yang namanya pendeta tempat tugasnya hanyalah jemaat. Oleh karena itu, Menurut Pdt. DR. J. Mojau.[17] Seorang pendeta halal hukumnya terlibat dalam “politik praktis”[18].
Sebab, bagaimanapun juga,  seorang pendeta selalu terlibat  dalam kehidupan politik secara praktis. Kegiatan dan tugas seorang pendeta ialah untuk mendampingi mereka yang menjadi korban kekuasaan politik dan ekonomi serta budaya adalah suatu tindakan politik praktis.

C. Pandangan Jemaat dan pendeta terhadap Pendeta yang terlibat dalam Partai Politik.
Ada berbagai pandangan jemaat menyangkut para pendeta yang terjun dalam dunia politik praktis/partai politik. Ada  jemaat yang setuju dangan keterlibatan Pendeta dalam partai politik, ada juga yang menolak.

1.  Setuju dengan pendeta yang terlibat dipartai politik.
Menurut Pdt. Dortea Salawangi, Pdt. Simson Pulo, Pdt. Anita Leaua, Pdt. Kr. Sowo.[19] Bagi mereka pendeta dan partai politik itu sangat bertolak belakang dan juga sangat berbeda namun bagi mereka ada dua  alasan yaitu: pertama, bahwa para pendeta tidak akan bisa bersuara kepada pemerintah jika tidak masuk dalam system pemerintahan. Kedua, bagi mereka bahwa yang patut dicontohkan adalah Abraham, Ester, dan Daniel, yang mana mereka ini adalah pelayan Tuhan yang bertugas untuk Tuhan tetapi mereka juga masuk dalam parlemen untuk menyuarakan suara rakyat dan yang paling sangat ditekankan bahwa Abraham dengan menipu Firaun bahwa Sarah Bukan Istrinya.
Jadi bagi mereka pendeta juga bisa menipu untuk kesejahteraan rakyat, namun sangat disesali olehnya bahwa terkadang pendeta ketika masuk tidak lagi menyadari bahwa dirinya adalah seorang pendeta dan pada akhirnya mengikuti arus politik kotor. Dan juga dalam hal pelayanan tidak tertutup tetapi berlaku untuk siapa saja termasuk dunia politik bukan hanya untuk  jemaat.
Menurut Ibu Lili Silinaung [20]. semua warga Negara Indonesia berhak untuk mengikuti apa saja yang telah dibuat oleh Negara sekalipun ia pendeta, dan dari pada itu tidak ada wakil-wakil dari Kristen untuk menyuarakan nama orang Kristen oleh karena itu mau tidak mau pendeta harus ikut dalam partai politik dengan tujuan membawa suara Kekristenan. Dengan penuh keyakinan dan dengan pengalaman hidup bersama dengan pendeta, bahwa ketika ia lolos ke DPRD pendeta dapat merubah, dapat membersihkan, dan dapat membantu warga jemaat dalam mengurusi masalah dan keperluan jemaat.

2. Menolak pendeta teribat di partai politik.
Menurut Pdt. Esra lube-pinotoan[21], tugas dan tanggung jawab para pendeta hanya untuk melayani jemaat yang ada dengan tujuan membawa jemaat kepada iman yang utuh di dalam Yesus kristus dan sekaligus membantuh warga jemaat yang masih hidup di bawah garis kemiskinan untuk keluar dari kemiskinan itu.
Pendeta diharapkan berusaha untuk bisa mengikuti ajaran Yesus Kristus yang adalah Tuhan dan Juruselamat Dunia terutama para pendeta yang terjun dalam dunia politik atau Caleg harus betul-betul menghayati peristiwa Yesus ketika pencobaan di padang Gurun, yang mana itu merupakan ajaran bahwa jangan kita terpaku dalam nafsu dan harta dunia. Dan juga ditawarkan untuk menanyakan kepada pendeta yang terjun dalam dunia politik yaitu dengan pertanyaan bahwa jika gaji dari Anggota legislatif atau wakil rakyat itu hanya dua juta rupiah (Rp 2000.000) dan tanpa tunjangan apakah para pendeta akan masuk dalam daftar caleg karena baginya bahwa ujung-ujung dari tergairahnya para pendeta hanya uang bukan pelayanan dan pekerjaannya.
Pdt. Grace Kucame, Pdt. Letti Hiorumu, Pdt. Aknes Kumihi, Pdt. Oktovianus Pattimukai, Pdt. Hofni Parmino, Pdt. Julius Rajabaikole, Pdt. Yarden Vaitje, Pdt. Y.Sapa-Goliat.[22] Bagi mereka Politik praktis bukanlah jemaat dan bukanlah mimbar untuk membangun jemaat. Oleh karena itu, seorang pendeta harus benar-benar menghayati makna panggilannya selaku seorang pendeta dan benar-benar siap agar jangan ketika dalam perjalanan untuk menjalankan tugas sebagai seorang pendeta tidak dipengaruhi oleh apapun termasuk politik praktis (caleg).
Berdasarkan pengalaman pendeta yang telah duduk pada DPRD mereka hanya mementingkan diri sendiri bukan untuk masyarakat yang memilih mereka. Maka dari itu, hal yang perlu untuk dievaluasi dengan tujuan supaya pendeta tidak lagi masuk dalam partai politik (caleg) yaitu: pertama, Sinode sekalu badan hukum Gereja atau pengatur harus tegas dalam hal peraturan, jangan karena kepentingan lalu mengabaikan aturan yang sudah ada. Kedua, pendeta harus benar-benar menghayati makna pilihan hidupnya dan menghayati makna penggilannya sebagai seorang pendeta dan bertanggung jawab dalam tugasnya. Ketiga, jemaat selaku sumber hidup pendeta harus menyadari akan hal memberi untuk keperluan jemaat terutama pendetanya.
Menurut Sdr  Hermanus Paramata Spd.[23] Terjunnya pendeta dalam dunia politik disebabkan karena ketidakpuasan pendeta dalam hal menerima gaji dan berhayalan tinggilah yang menerima partai politik dengan tujuan menunjang kehidupan keluarga mereka sendiri, buktinya mereka menjanjikan untuk membuat desa kami maju ternyata tinggal janji, dengan begitu maka pendeta yang dulunya membawa Firman Allah berubah menjadi pembawa dusta.
Ada berbagai alasan dan komentar warga jemaat terhadap pendeta yang terjun dalam dunia politik praktis sebagai caleg antara lain ada yang berpendapat bahwa pendeta sangat berdosa bila masuk dalam dunia politik karena dengan alasan meninggalkan jemaat yang mereka layani selama mereka menjadi pendeta jemaat dan dosa itu akan dilimpahkan kepada jemaat bila jemaat yang ada juga turut memilih ataupun menjadi tim sukses dari caleg yang berlatar belakang pendeta itu.
Menurut saudara Ronald Mara[24], Pendeta yang masuk dalam calon legislatif  itu diibaratkan dengan orang yang bukan tukang kayu dan disuruh membuat rumah, secara otomatis rumah itu tidak akan jadi, begitu juga dengan pendeta tidak akan bisa apa-apa ketika menjadi anggota wakil rakyat dan juga kita bisa melihat sendiri bahwa para pendeta yang masuk dalam daftar partai poltik adalah pendeta yang dalam hidupnya terdapat ketidak jelasan hidup.
Menurut bapak Aprilo Mani[25], Pendeta telah terbukti gagal namun para pendeta berusaha sebaik mungkin untuk mengambil kembali kepercayaan rakyat tetapi rakyat sudah tidak percaya, karena dari bukti yang sudah ada ternyata pendetapun yang telah ada di DPRD Hal-Bar sekarang pun tidak bisa berbuat apa-apa, dan ditambah lagi dengan kata bahwa tugas pendeta itu hanya untuk melayani di jemaat dan di mimbar dan tidak ada yang namanya pendeta DPRD hal ini baginya terkadang keliru dan salah diartikan oleh pendeta.
Sedangkan menurut Saudara Herry Lulungan[26], Bahwa sebenarnya bukan cuma pendeta bahkan semua orang yang masuk dalam partai politik dan mencalonkan diri sebagai caleg hanyalah untuk mencari pekerjaan, menyekolahkan anak, dan membuat rumah yang kecil menjadi yang sangat besar.
Setelah ditelitih lebih lanjut ternyata pendeta jemaat yang tidak ikut dalam partai politik namun setuju dengan pendeta harus masuk dalam partai politik dan mencalonkan diri sebagai anggota legislatif ternyata mempunyai hubungan khusus dengan pendeta-pendeta yang masuk dalam partai politik, yaitu Pdt Anita Leaua adalah istri dari Pdt. Ahmad Saya (caleg dari PDS), Pdt. Dortea Salawangi adalah saudaranya Pdt. Ausalmon Raffane (Caleg dari PDIP), Pdt. Simson Pulo adalah Istri dari Pdt. Ester Flori (Caleg dari PDS) sedangkan Pdt. Kr. Sowo sebenarnya masuk dalam daftar calon anggota legislatif tetapi sebagian besar jemaatnya tidak setuju. Dengan demikian keduanya itu mempunyai kepentingan pribadi keluarganya.

3. Pemikiran Pendeta Akedemisi.
  1. Pdt. A. Puasa, M.Th[27]
Bahwa pemilihan umum 2009 sudah ada di depan mata kita, di mana 34 partai politik siap bertarung; dan untuk memenangkan kompetensi tersebut segalah cara akan ditempuh. Salah satu yang dimanfaatkan “habis-habisan” adalah agama. Hal ini sesudah jelas terlihat dengan ketertarikan yang cukup serius dari para pemimpin agama untuk memperebutkan jatah di “kursi panas” sebagai dewan perwakilan rakyat yang terhormat. Dalam situasi seperti itu, apa yang harus dilakukan umat beragama ? apakah para pemimpin agama ikut-ikut untuk dimanfaatkan demi kepentingan partai politik? kondisi di lapangan menunjukan, bahwa gejalah seperti itu semakin menguat. Rachard Daulay mengingatkan bahwa tugas agama-agama adalah melakukan politik agama, bukan politisasi agama. Politik agama adalah politik kenabian (prophetic politics) bukan politik partisan (partisan politics). Politik agama adalah politik moral yang mengeluarkan suara kenabian termasuk melakukan kritik kepada pemerintah dan pejabat publik yang berkuasa, yang tidak menjalankan tugasnya dengan bertanggung jawab.

         Ketika pemerintah menelantarkan rakyat, tidak membela nasib orang miskin, yatim piatu dan janda/duda, maka agama-agama dipanggil untuk memunculkan suara kenabian dan mengkritik pemerintah yang korup itu. Politik kenabian atau gerakan moral agama adalah perjuangan untuk menegakan keadilan dalam masyarakat.

          Gerakan kebangkitan spiritual harus selalu bersamaan dengan gerakan menegakan keadilan sosial. Sedangkan gerakan politisasi agama adalah politik partisan, yang dilakukan dengan mengeksploitasi agama, atau menjadikan agama sebagai kendaraan politik  untuk merebut kekuasaan politik. Sejarah mencatat bahwa apabila agama mengambil alih kekuasaan  Negara maka yang terjadi bukan proses demokratisasi dan penghargaan hak-hak asasi, tetapi justru pemerintah yang tirani yang tidak menghargai prinsip-prinsip toleransi. Sejarah mencatat bahwa pemerintah teokrasi demikian tidak bertahan lama. Hal ini dibenarkan oleh Nur Sholihin  bila agama sudah diajak bergumul dan berselingkuh dengan politik praktis maka kecenderungan  yang muncul justru politisasi agama. Kalau ini dibiarkan akan membahayakan keberlangsungan hidup berbangsa dan bernegara, terutama di Negara yang plural seperti Indonesia.


Gerakan politisasi agama ini sedang laku keras. Namun punya dampak yang sangat membahayakan bagi persekutuan bangsa. Sebab politisasi agama sangat berpotensi manciptakan polarisasi dan perpecahan bangsa. Menghadapi kondisi ini, sebaiknya umat beragama terutama para pemimpinnya harus tetap mengedepankan nalar kritis, agar agama tidak mudah dimanipulasi oleh para elite politik yang haus kekuasaan. Bila ini yang terjadi, maka akibatnya sudah dapat dipastikan bahwa kehadiran agama hanyalah sebagai alat untuk melegitimasi dan menjustifikasi kepentingan elite politik. Dan sebaliknya, para pemimpin agama tidak memanipulasi politik demi kepentingan agama. Sebab menurut Zuly Qodir, tunggang menunggang dua wilayah sakral (agama dan politik) ini sangat kuat terasa di Indonesia  akhir-akhir ini.
Kita hanya bisa berharap sehingga cita-cita esensial dari agama dan politik yakni membebaskan umat manusia dari setiap bentuk penindasan, ketidakadilan, mengusahakan kesejahteran dan kemakmuran, menghargai perbedaan, mendidik manusia untuk saling jujur dan saling menghormati, dan malu melakukan korupsi, benar-benar dapat diwujudkan.[28]
  1. Pdt. DR. J. Mojau.[29]
Bahwa dalam hubungan perebutan kekuasaan yang dilakukan oleh sebagian pendeta dalam politik dan uang. Lalu apa yang terjadi dengan peraturan tentang pelayan khusus ialah sedang terjadi perebutan kekuasaan politik dan uang antara para pendeta, majelis dan jemaat. Para pendeta merasa bahwa mereka juga punya hak untuk menguasai kekuasaan politik dan uang. Itulah sebabnya mereka tidak ikhlas jika hanya para penatua dan diaken dan warga jemaat yang hanya bisa punya akses untuk menguasai kekuasaan politik dan uang itu.
Ketidakikhlasan para pendeta GMIH itu nyata dari usaha mereka untuk menambahkan satu syarat tambahan bagi para penatua atau diaken saat seseorang akan menjadi pelayan khusus atau pejabat dalam jemaat atau menjadi anggota consistorium, yaitu syarat yang sama dengan syarat bagi seorang pendeta, dan mengusulkan agar ditambahkan satu ayat pada Bab III, pasal 17, tentang syarat-syarat penatua dan diaken, sama bunyinya dengan Bab II, pasal 4, ayat 11 yaitu : tidak menjadi atau pengurus partai politik dan atau partisan.
Pertanyaannya adalah bahwa masuk akalkah syarat itu bagi seorang anggota consistorium dalam kedudukan sebagai pejabat tidak penuh waktu ?. Saya (pdt. J. Mojau) berpendapat bahwa syarat itu bagi para penatua dan diaken sungguh tidak dapat diterima karena tiga alasan : pertama, tidak masuk akal karena para penatua dan diaken tidak memperoleh jaminan hidup dari tugas-tugas pelayanan yang dijalani secara sukarela itu. Kedua, alasan teologis, jabatan penatua dan diaken, bukanlah jabatan tahbisan khusus yang mengikat diri seseorang untuk menjadi tugas pelayanan dalam jemaat itu sebagai pilihan pekerjaan atau panggilan hidup satu-satunya. Ketiga, alasan praktis, karena pengabdian bersifat sukarela hampir mustahil akan ada warga sidi jemaat bersedia menjadi pengurus atau pejabat dalam consistorium jemaat-jemaat dalam sinode GMIH.

Seorang pendeta seharusnya  ketiga syarat di atas harus  dapat diterima dengan tiga alasan juga yaitu:
“pertama, masuk akal, karena seorang pendeta sebagai pegawai organik penuh waktu mandapat gaji atau jaminan hidup dari hasil ucapan syukur warga jemaat. Sebenarnya dalam hal ini, perlu juga ditambahkan tentang pegawai organik nonpendeta, bahwa bagi mereka juga berlaku syarat ini yang harus diatur dalam peraturan kepegawaian. Kedua, alasan teologis, jabatan pendeta adalah jabatan tahbisan yang menjadikan orang mengikat diri untuk memilih pelayanan dalam jemaat sebagai pekerjaan atau panggilan hidup satu-satunya dihadapan Allah dalam Yesus Kristus. Ketiga, keterlibatan seorang pendeta dalam partai politik akan melemahkan wibawa kegembalaannya. Warga jemaat terutama yang tidak separtai dengan pendeta akan sulit menerimanya usaha-usaha pastoralnya, apalagi dalam khasus sengketa perebutan kekuasan politik dan uang.”[30]


 Pertanyaan kita sekarang ialah mengapa sikap yang memalukan harus diambil oleh pendeta GMIH sekarang ini, yang rata-rata memiliki teologis formal, yang cukup tinggi? Jawabannya : para pendeta  yang menolak  Bab II, pasal 4 ayat 11 itu sedang mengalami disorientasi alias kehilangan arah hidup atau ketidak jelasan pilihan hidup dan tidak konsisten dan juga tidak ada rasa melayani tetapi yang hanya diingini ialah harta atau uang, di tengah-tengah perubahan zaman dan kebudayaan dalam masyarakat modern yang semakin konsumeristis hedonistis. juga berkembangnya sikap ikut-ikutan alias tiru-meniru. Kata mereka duhulu ada pendeta  GMIH yang terlibat partai politik tanpa mereka mendalami latar belakang sosiologis dengan analisis kritis terhadap terhadap konteks pada saat itu.
Oleh karena itu ada tiga alasan untuk dijadikan pertimbangan para pendeta masuk dalam partai politik yaitu :
  1. Tidak masuk akal dan tidak etis. Seorang pendeta sebagai pegawai organik penuh waktu yang mendapat gaji/jaminan hidup dari hasil ucapan syukur jemaat harus berebut dan mencari tempat kerja lain.
  2. jabatan pendeta adalah jabatan tahbisan yang menjadikan seseorang mengikat diri untuk memilih pelayanan dalam jemaat sebagai pekerjaan/panggilan hidup satu-satunya dihadapan Allah.
  3. keterlibatan pendeta dalam partai politik akan melemahkan wibawa kegembalaannya. Terutama bagi warga jemaat yang tidak separtai dengan pendeta.
Pendeta atau hamba Tuhan yang dicalonkan atau mencalonkan diri sebagai anggota legislatif dan mereka ini memanfaatkan jemaat sebagai basis masa partai. Jika ingin menjadi anggota legislatif  sebaiknya meninggalkan jabatan pendeta dan berfokus pada urusan politik yang terpisah dengan pelayanan rohani di Gereja. Secara esensi kehadiran Gereja di Dunia sudah berpolitik dalam arti menjalankan amanat Yesus.
Pertanyaan selanjutnya bagi kita adalah bagaimana mungkin seorang pendeta yang pendidikan formalnya lebih tinggi dari para pendeta sebelumnya dapat mengalami proses disorientasi/salah arah dan sikap ikut-ikutan? Dalam buku pengembangan kepribadian dijelaskan bahwa:
Pertama, lemahnya kapasitas diri sang pendeta yang bersangkutan (khususnya yang masuk caleg), karena orang yang lemah kapasitas diri sangat senang ikut-ikutan model arus perubahan yang terjadi, bukannya mengarahkan proses perubahan ke arah lebih baik. Idealnya, seorang pendeta, yang telah memutuskan untuk menjadi wakil Allah dalam tugas menjadi gembala bagi umat/jemaat seharusnya mampu menjadi agen perubahan sosial, politik, budaya dan ekonomi.
Kedua, rendahnya mutu pembelajaran diri. Orang yang boleh punya gelar formal seperti Doktor, Magister dan sarjana khususnya teologi. Namun gelarnya tidak secara otomatis menjamin memiliki mutu pembelajaran yang baik dan bermutu. Ketiga, tidak memiliki kematangan emosional dan spiritual. Seseorang yang tidak memiliki kematangan emosional akan mudah dipengaruhi. Juga seorang yang tidak matang secara spiritual juga mudah digoda oleh kekuasan politik dan uang.[31]

  1. Pdt. Demianus Ice.[32]
Untuk menjadi seorang DPRD atau Caleg haruslah mampu berangan-angan seperti jika saya menjadi seorang DPRD kemampuan apa saja yang harus saya miliki untuk menunjang pekerjaan?. Dari sudut  pandang psikologis, potensi apa saja yang perlu diasah menjadi kecerdasan dalam melaksanakan tugas-tugas sebagai seorang anggota DPRD? Pertanyaan inilah yang harus dimunculkan dalam diri setiap pribadi Caleg. Karena pertanyaan di atas berkaitan dengan tugas dan fungsi anggota DPRD. Sebut saja misalnya membuat PERDA (peraturan daerah). untuk mengerjakan tugas ini, kemampuan apa saja yang harus diperlukan? oleh karena itu ada hal yang perlu kita pikirkan yang itu bahwa kita memerlukan seorang anggota wakil rakyat yang memiliki kemampuan (kematangan/kedewasan secara emosional) yang memungkinkannya untuk menyikapi berbagai persoalan hidup, dengan pikiran yang dewasa, dan bertindak tepat, serta berani mengambil keputusan dengan pertimbangan nilai-nilai etis, moral, iman, sosial dan spiritual. Karena itu tepat seperti ciri kedewasaan yang dikemukakan oleh Gordon Alport, bahwa orang yang dewasa memiliki expanding self, yakni : kemampuan mengembangkan diri, mengendalikan diri, berwawasan luas (tidak picik), self objectification ; mampu berefleksi dan melihat diri sendiri secara pribadi dan objektif dan melakukan segalah sesuatu, serta memilki, self unificasion atau integration : memiliki integrasi dan filosofi hidup. Oleh karena itu ada tawaran gambaran beberapa kemampuan yaitu :
  1. Mengingat atau mengelola berbagai aspirasi masyarakat yang sedang berkembang, baik yang muncul dalam fenomena sosial maupun yang sudah disampaikan secara resmi.
  2. Memahami dan menerapkan berbagai teks-teks normatif.
  3. Mengidentifikasi berbagai sumber daya yang belum dikelola secara baik, termasuk masalah-masalah yang muncul dalam kehidupan sehari-hari.
  4. Menganalisis berbagai kemungkinan atau alternative, sebagai bahan pertimbangan dalam rangka pengambilan keputusan.
  5. Mencari solusi terhadap berbagai macam masalah yang muncul.
  6. Mengefaluasi suatu kegiatan/usaha/pekerjaan dalam rangkah mencapai tujuan yang diharapkan.
Dan bagi penulis ada berbagai hal dan cara yang telah dilakukan oleh pendeta dalam menjelang berlangsungan pemilu, para pendeta yang termasuk dalam daftar caleg terus melakukan kampanye dalam bentuk apapun yang ingin dilakukan dengan cara mereka sendiri. hal ini dibuktikan lewat dikeluarkannya surat cuti dari sinode kepada pendeta-pendeta yang masuk dalam daftar calon legislatif, tetapi ada pendeta yang masih tetap mempertahankan dirinya sebagai ketua Jemaat dan tetap melayani ibadah di mimbar. Dan menjadikan mimbar sebagai salah satu tempat untuk melakukan pencitraan dirinya agar disukai oleh rakyat dan hal itu berhasil dilakukan oleh pendeta tersebut yang walaupun apa yang ia beritakan hanya untuk memanipulasi para pendengarnya.
     Dengan demikian kita dapat melihat bahwa ada berbagai cara dalam membuktikan apakah semua orang setuju dengan masuknya pendeta dalam partai politik yaitu bisa dibuktikan lewat melakukan percakapan langsung dengan masyarakat dan atau jemaat tentang apakah mereka setuju ataukah tidak bisa dilihat dari hasil komentar mereka, lewat pandangan atau pemikiran para pendeta yang lebih memilih melayani jemaat dan juga pandangan pendeta sebagai akedemisi . Dengan itu kita akan melihat apakah tanggapan beberapa ilmuan tentang pendeta dan partai politik.





















BAB III
PENDETA DAN PARTAI POLITIK
(KAJIAN TEORITIS)

A.   Pendeta.
Pendeta  adalah pemimpin jemaat atau umat yang studi formalnya ditempuh melalui jalur pendidikan teologi. Pendeta berasal dari bahasa sansekerta yaitu pandhita, sebuah gelar bahkan status yang diberikan kepada orang-orang khusus pada zaman kerajaan Jawa.
Pandhita bertugas kurang lebih sebagai cendikiawan kerajaan yang nantinya memberi masukan, ide dan saran bagi jalannya sebuah pemerintahan kerajaan.
Untuk menjadi pandhita, idealnya dipenuhi dahulu syarat : pertama, mempunyai sifat pengabdian, kedua, mempunyai kewibawaan (termasuk kharisma), ketiga, memiliki spiritualitas (taat hukum, suci, dan pengetahuan), keempat,  mempunyai pengetahuan dan berpengaruh (teladan, penengah, penegak keadilan dan penjaga ketertiban) dan kelima,  punya kebijaksanaan.
Berdasarkan apa yang telah dijelaskan di atas, pandhita merupakan gelar bahkan status terpandang dalam masyarakat saat itu, sebab dalam kehidupan bermasyarakat sosok pandhita juga menjadi penuntun, terpandang dan sangat dihormati.
Istilah ini masih dipegang teguh oleh agama Hindu dan diambil alihkan oleh agama Kristen Protestan. Di Protestan istilah ini dikenal dengan nama atau sebutan pendeta.
Pendeta sendiri dalam GMIH adalah gelar dan jabatan yang diberikan kepada seseorang setelah menempuh studi teologi dan lulus menjalani masa orientasi jemaat atau menjadi Vikariatan. Maksimal dalam Studi teologi ditempuh selama lima tahun dengan muatan ilmu teologi untuk terjun kejemaat.[33]
Pendeta hanya diberikan kepada orang-orang tertentu saja karena pada dasarnya. Jabatan pendeta diberikan langsung oleh Yesus Kristus, yang sebelumnya dimiliki oleh oknum tersebut. Dengan begitu juga berarti bahwa jabatan pendeta adalah jabatan yang diberikan langsung oleh Allah di dalam diri Yesus Kristus melalui atau dipentarai oleh jemaat. [34]
Pendeta adalah pemimpin jemaat yang selalu menjadi figur atau panutan dalam jemaat, sehingga keluarga pendeta dalam hal ini istri atau suami anak-anak jika pendeta sudah berkeluarga. Maka hal itu juga turut memepengaruhi bahkan harus mendukung pendeta secara langsung dalam memimpin jemaat.

Ada beberapa pengertian tentang pendeta yang coba diangkat dalam keputusan sidang sinode ke XXVI yaitu :
a.    Pendeta adalah anggota sidi jemaat  yang di panggil oleh Yesus Kristus melalui pendidikan teologi dan di teguhkan secara khusus dalam jabatan penatua penuh waktu/pendeta untuk memikirkan dan mengembangkan teologi serta mempunyai kemampuan berpikir secara teologis dalam kehidupan kepemimpinan pelayanan gereja bersama-sama dengan pelayan khusus lainnya.
b.   Pada prinsipnya status kependetaan GMIH adalah yang berbasis jemaat.
c.    Pendeta GMIH terdiri dari pendeta Jemaat, pendeta tugas khusus, pendeta konsulen dan pendeta emeritus.
d.   Pendeta sebagai pelayan khusus penuh waktu memperoleh jaminan hidup Pegawai Organik GMIH yang ditetapkan oleh BPHS.”[35]


1.   Tugas dan kewenangan pendeta:
Pendeta adalah seorang hamba Tuhan yang bekerja kepada Tuhan di dalam jemaat dengan melakukan tugas-tugasnya yaitu sebagai pendamping pastoral kepada jemaat, dan juga sebagai pengkhotbah dengan tujuan untuk membangun imam warga jemaat.[36] Sedangkan dalam tradisi atau aturan GMIH, seorang pendeta yang berada di jemaat adalah sebagai penatua yang berfungsi sebagai ketua BPHMJ (Badan Pengurus Harian Majelis Jemaat). dengan fungsinya sebagai ketua jemaat maka selain manjalankan tugas pastoralnya ia harus mengurus bersama sama dengan majelis untuk mengatur berbagai hal menyangkut dengan kebutuhan jemaat.
Tugas dan kewenangan pendeta di dalam jemaat yaitu tidak bisa keluar dari, oleh, dan untuk pembanguanan jemaat. Oleh karena itu tugas dan kewenangan pendeta antara lain :
a.    Tugas dan kewenangan pendeta sangat terkait     dengan fungsinya sebagai gembala, guru, dan pemimpin    dalam rangka membangun jemaat.
b.   Malayankan sakramen-sakramen.
c.    Menyampaikan berkat Tuhan dengan penumpangan tangan.
d.   Melayani Ibadah.
  1. Menahbiskan/meneguhkan pendeta dengan penumpangan tangan.
f.     Meneguhkan penatua dengan penumpangan tangan.
g.    Melaksanakan pengembalaan untuk menangani masalah masalah khusus.
h.   Melaksanakan pengembalaan sebagai upaya pendampingan dalam memberdayakan warga jemaat secara ekonomi, budaya, dan politik.
i.     Melakukan kunjungan pastoral terhadap warga jemaat.
j.     Melaksanakan pendidikan terhadap warga jemaat dalam bentuk kegiatan pembelajaran pendewasaan iman dan sikap sosial-kemasyarakatan.
k.   Malaksanakan kegiatan-kegiatan lainnya untuk membantu, mendukung, memberikan inspirasi, dan menfasilitasi kesadaran hidup mengereja yang emansipatoris dan memberdayakan.”[37]


2. syarat-syarat pendeta.
Ada beberapa syarat jika seseorang ingin menjadi pelayan khusus penuh waktu antara lain :
1.       “Memiliki kualifikasi pendidikan teologi minimal pada jenjang S-1 pada perguruan tinggi teologi yang didukung oleh GMIH atau perguruan tinggi teologi yang ditetapkan oleh Mejelis Sinode.
2.       Menyatakan diri bersedia untuk tidak bekerja dalam bidang lain yang tidak ada hubungannya dengan pelayanan gerejawi yang tidak berhubungan dengan tugas-tugas kependetaan.
3.       Memiliki kemampuan untuk melaksanakan pelayanan kependetaan.
4.       Tidak menjadi anggota atau pengurus partai politik dan/atau tidak partisipan”.[38]


3. Panggilan Pendeta

          Pendeta merupakan panggilan dari Allah melalui jemaat dan dalam memahami panggilan Allah tersebut maka dapat dilihat dalam dua aspek. Pertama, penggilan pribadi dalam arti bahwa seseorang harus merasa bahwa di dalam hatinya ada motivasi untuk melayani bukan untuk menguasai. Namun keinginan ini bukanlah sesuatu yang mutlak karena bisa berarti tidak berasal dari Allah karena bersifat subjektif. Sebab jabatan pendeta bukanlah hal pribadi saja. Kedua, panggilan yang disahkan oleh gereja (jemaat). Tuhan memanggilnya lewat gereja, dan hanya mereka yang telah terpanggil oleh gereja yang mempunyai hak secara resmi untuk berkhotbah dan melayani sakramen.
           Berkaitan dengan itu maka bukan berarti tugas dan panggilan pendeta hanyalah untuk berkhotbah dan melayani sakramen tetapi masih ada juga tugas yang lain dan secara umum dapat disebutkan :
  1. Melayani pemberitaan Firman dan sakramen-sakramen.
  2. Memimpin katekisasi.
  3. Meneguhkan anggota sidi.
  4. Menahbiskan pelayan-pelayan khusus dalam jabatan mereka.
  5. Memberkati dan meneguhkan nikah.
  6. Memimpin pemakaman orang meninggal.
  7. Mengembalakan anggota-anggota jemaat.
  8. Memimpin sidang-sidang jabatan.
  9. Bersama-sama dengan para mejelis memimpin dan melayani jemaat dan menjalankan disiplin gereja.[39]

4. Penahbisan pendeta
          Dalam lingkungan Gereja Reformasi kita mengenal adanya upacara pentahbisan seorang warga gereja menjadi pendeta. Di lingkungan Protestan arus utama, pentahbisan seseorang menjadi pendeta dilakukan setelah sesorang memperoleh pendidikan teologi dan memenuhi syarat gerejani, antara lain setelah menjalankan suatu masa persiapan menjadi pendeta, yang biasanya dikenal sebagai masa Vikariat pendeta. Dengan syarat itu maka seseorang diharapkan telah memenuhi apa yang dimaksud dalam Imamat 20 :7 “kamu harus menguduskan dirimu, dan kuduslah kamu, sebab Akulah TUHAN, Allahmu”.
Dengan demikian seseorang menempatkan dirinya di luar lingkungan yang jahat dan berbalik kepada Tuhan, dipersiapkan untuk dipakai oleh Tuhan Allah menjadi alat di tangan-Nya. Oleh karena itu pentahbisan seorang menjadi pendeta memegang peranan penting dalam pertumbuhannya ke arah kehidupan bersama Tuhan. Ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam hal ini yaitu:
  1. memisahkan diri dari kehidupan dosa.
  2. tumbuhkanlah kesadaran bahwa Tuhan Allah sendiri menyiapkan kita dengan menguduskan diri kita. Dia juga mempersiapkan kita melaksanakan pelayanan.
Tuhan Allah merancang hidup kita agar kita hanya memperoleh minuman dari Dia. Karya-karya yang dilakukan dalam kesalehan manjadi jalan ke dalam pengenalan yang lebih mendalam akan apa yang merupakan kehidupan yang tidak benar yang perlu dihilangkan dari kehidupan kita. Dalam hal ini kita perlu memberi diri kita dibentuk oleh Tuhan Allah.[40]
         Hal yang paling sentral dalam penahbisan pendeta adalah penumpangan tangan. Penumpangan tangan adalah suatu lambang yang nyata bahwa Allah yang sendiri menahbiskan orang tersebut dan memisahkannya untuk pelayanan Firman dan sakramen. Penumpangan tangan juga merupakan suatu penyerahan kepada Allah dalam doa.

          Menurut Elfira F.A. Mozes. Yang mengutip David N. Power. Bahwa penahbisan dengan gerak penumpangan tangan menandakan adanya penyerahan terhadap semua pelayanan melalui Roh Kudus, untuk menandakan ketaatan orang yang ditahbiskan kepada Firman dan keputusan Allah.
          Pendeta ditahbiskan sebagai seorang hamba Tuhan dibawah terang Firman yang diberitakannya. Maka dari itu, dikatakan bahwa kuasa dan jabatan tersebut bukanlah terletak pada diri pendeta, melinkan dalam Firman dan sakramen. Dan jika seorang pendeta berpaling dari Firman dan sakramen jelaslah bahwa ia tidak mempunyai hak untuk melayani sebagai pendeta.
            Paling penting untuk dicatat pula bahwa penabihsan pendeta dilakukan bukan untuk memperoleh status atau tingkat yang lebih tinggi. Melainkan untuk melayani gereja, melayani Jemaat. Andaikata seorang pendeta memandang dirinya lebih dari yang lain, pastilah dia tidak layak disebut pendeta.[41]





B.   Partai Politik.
B.1. Defenisi
          Secara umum dapat dirumuskan bahwa partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Adapun tujuan dibentuknya sebuah partai politik adalah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik dengan cara konstitusional dimana melalui kekuasaan tersebut partai politik dapat melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka.[42]
          Sigmun Neumann sebagaimana dikutip oleh Eddi Wibowo  partai politik adalah organisasi yang terdiri dari aktifis-aktifis politik, yang berusaha untuk menguasai kekuasaan pemerintah, serta merebut dukungan rakyat atas dasar persaingan dengan suatu golongan atau golongan-golongan lain yang mempunyai pandangan yang berbeda.”[43]

Bagi Giovanni Sartori yang dikutip oleh Miriam Budiardjo  yaitu partai politik adalah suatu kelompok yang mengikuti pemilihan umum dan, melalui pemulihan umum itu, mampu menempatkan calon-calon untuk meduduki jabatan-jabatan publik.”[44]

“Partai politik adalah sarana untuk merebut kekuasaan politik dan uang. Karena itu, sebaiknya seorang pendeta tidak melibatkan diri dalam partai politik sebagai sarana untuk merebut kekuasaan politik dan uang. Sebab, bagi seorang masih dalam jabatan sebagai pendeta, haram hukumnya merebut kekuasaan, baik kekuasaan politik maupun ekonomi karena akan dengan sendirinya melehmakan kewibawaannya sebagai seorang gembala.”[45]


B.2. Tujuan dan Fungsi Partai Politik.

Undang-undang Republik Indonesia no 2 tahun 2008 tentang partai politik.  Bab V tentang tujuan dan fungsi partai politik Pasal 10. ayat 2 tujuan khusus partai politik adalah. Pertama, meningkatkan partisipasi politik anggota dan masyarakat dalam rangka penyelenggaraan kegiatan politik dan pemerintah. Kedua, memperjuangkan cita-cita partai politik dalam kehidupan bermasyrakat, berbangsa dan bernegara dan. Ketiga, membangun etika dan budaya politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pasal 11 ayat 1 tentang fungsi partai politik sebagai sarana : Pertama, pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga Negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; Kedua, penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bengsa Indonesia  untuk kesejahteraan masyarakat; Ketiga, penyerap penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan Negara; Keempat, partipasi politik warga Negara Indonesia; Dan kelima, rekrutmen politik dalam proses pengisihan jabatan politik memalui mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender.[46]
Fungsi utama partai politik adalah mencari dan mempertahankan kekuasaan guna mewujudkan program-program yang disusun berdasarkan ideology tertentu. Dan cara yang digunakan untuk mempertahankan kekuasaan ialah ikut dalam pemilihan umum.[47]

“Kehadiran partai politik dalam Negara demokrasi adalah sebuah keharusan yang tidak bisa dihindari. Dalam Negara demokrasi pertain politik menyelenggarakan beberapa fungsi :[48]

  1. Partai politik sebagai sarana komunikasi politik. Salah satu tugas dari partai politik adalah menyalurkan aneka ragam pendapat dan aspirasi masyarakat bisa diminimalkan. Juga berfungsi untuk memperbincangkan dan menyebarluaskan rencana-rencana kebijakan-kebijakan pemerintah. Berfungsi juga dimana partai politik memainkan peranan sebagai penghubung antara yang memerintah dan yang diperintah, antara pemerintah dan dan warga masyarakat.

  1. Partai politik sebagai sarana sosialisasi politik. Diartikan sebagai proses memalui mana sesorang memperoleh sikap dan orientasi terhadap fenomena politik, yang umumnya berlaku dalam masyarakat di mana ia berada.

  1. Partai politik sebagai sarana rekrutmen politik. Adalah mencari dan mengajak orang yang berbakat untuk turut aktif dalam kegiatan politik sebagai anggota partai.

  1. Partai politik sebagai sarana pengatur konflik. Dalam daerah demokrasi perbedaan pendapat selalu terjadi merupakan soal yang wajar. Jika terjadi konflik, partai politik semestinya ikut berusaha untuk mengatasi dan memikirkan solusi penyelesaiannya.

  1. Partai politik sebagai sarana partisipasi politik. Yaitu selain rekrutmen politik partai politik juga melakukan fungsi yang parallel dengan fungsi rekrutmen politik yaitu sebagai sarana partisapasi politik. Dalam kehidupannya, partai politik harus selalu aktif mempromosikan dirinya untuk menarik perhatian dan minat warga Negara agar bersedia masuk dan aktif sebagai anggota partai politik tersebut.

  1. Partai politik sebagai sarana pembuatan kebijakan. Adalah hanya akan efektif jika partai politik memegang kekuasaan pemerintah dan mendominasi lembaga perwakilan rakyat.”[49]

  1. “politik sebagai pemandu kepentingan. Yaitu untuk menampung dan memadukan berbagai kepentingan yang berbeda bahkan bertentangan, maka partai politik dibentuk, kegiatan menampung, menganalisis dan memadukan berbagai kepentingan yang berbeda bahkan bertentangan menjadi berbagai alternatif kebijakan umum, kemudian diperjuangkan dalam proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik.

  1. “partai politik sebagai kontrol politik yaitu kegiatan untuk menunjukan kesalahan, kelemahan dan penyimpangan dalam isi suatu kebijakan atau dalam pelaksanaan kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan oleh pemerintah.”[50]

Dengan demikian maka dapat dirumuskan bahwa partai politik merupakan kelompok anggota yang terorganisasi secara rapi dan stabil yang dipersatukan dan dimotivasi dengan ideologi tertentu, dan yang berusaha mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam pemerintahan melalui pemilihan umum guna melaksanakan alternatif kebijakan umum yang disusun. Alternatif kebijakan umum yang disusun ini merupakan hasil pemaduan berbagai kepentingan yang hidup dalam masyarakat.[51]

C.  Keterlibatan Pendeta dalam Partai Politik.
Dalam Tata Gereja pada keputusan Sidang Sinode ke-XXV GMIH serta keputusan Rakerta 1, maka akhir agustus 2003 di keluarkan peraturan yakni “Surat Keputusan Nomor : 370/Kpts/XXV/A-2/2003. tentang peraturan pelayan khusus dalam bidang politik”[52]
Pada pembukaannya ditulis tentang tugas dan tanggungjawab gereja yaitu :
“Gereja diutus ke dalam dunia untuk menyampaikan kabar baik (kabar sukacita), menjadi garam dan terang dunia dalam pelbagai aspek kehidupan duniawi. Dalam terminologi Kristen dikenal sebagai panggilan untuk membawa keadilan, kebenaran dan kasih di berbagai aspek kehidupan duniawi, termasuk aspek kehidupan politik. bahwa setiap pelayan khusus gereja, di samping mempunyai status sebagai warga gereja, juga sekaligus sebagai warga Negara kesatuan RI yang memiliki hak, kewajiban dan panggilan yang sama dengan warga Negara lainnya, untuk ikut berperan dan bertanggungjawab dalam menata kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan asas demokrasi, UU dan peraturan yang berlaku dalam NKRI. Bahwa atas dasar kesadaran akan hak, kewajiban dan panggilan tersebut, maka gereja memberikan kesempatan kepada pelayan khusus (selaku warga negara) untuk melaksanakan hak, kewajiban dan panggilan Negara menurut asas demokrasi melalui organisasi partai politik yang telah diakaui sah dan resmi, dan yang dipandang dapat menyalurkan aspirasinya atau menjadi pengurus organisasi partai politik dan atau dapat secara langsung menjadi penyalur dan pembawa aspirasi politik dalam proses dinamika politik praktis.”[53]

Dengan landasan itu maka berlaku ketentuan khusus dalam Bab III pasal 4, dan 5 yaitu :
Pasal 4.
  1. setiap pelayan khusus gereja dapat diperkenankan sesuai haknya untuk :
    1. Menjadi pengurus partai politik.
    2. Dicalonkan atau mencalonkan diri menjadi anggota legislatif.
    3. Menjadi juru kampanye dari suatu partai politik dimana yang bersangkutan bergabung.
    4. Mencalonkan diri sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan dalam komisi pemilihan umum (KPU).
  1. bahwa butir b,c dan d, diperlukan krodensi dari MPS.

Pasal 5.

  1. untuk menjadi pengurus partai politik sebagai bagian dari tanggungjawab warga Negara, tidak memerlukan ijin khusus dari MPS, dengan ketentuan :
    1. Menyampaikan pemberitahuan kepada MPS, disertai SK kepengurusan dari partai politik dimana bersangkutan bergabung.
    2. Mendahulukan atau mengutamakan kepentingan pelayanan gereja di atas kepentingan partai politik dimana yang bersangkutan bergabung.
    3. Tidak melakukan kegiatan paratai politik pada waktu yang bersamaan dengan penugasan untuk pelayanan gereja.
    4. Tidak menggunakan fasilitas gereja atau yayasan GMIH, termasuk kendaraan dan fasilitas perkantoran milik GMIH.
  1. untuk manjadi calon wakil rakyat diperlukan ijin khusus dari MPS.

Mengacu dari paraturan 370 maka pendeta sebagai pelayan khusus  diberikan hak, dan kewajibannya sebagai warga Negara. Dan dalam hal untuk menjadi anggota wakil rakyat telah diatur dengan ketentuan sebagai berikut:
Pasal 8
1.    jika seseorang terpilih sebagai wakil rakyat maka kepada yang bersangkutan diberikan surat pembebasan tugas selama masa jabatannya.
2.    selama menjalankan tugas sebagai wakil rakyat, jaminan hidupnya sebagai pegawai gereja dihentikan untuk sementara waktu.
3.    bila mana yang bersangkutan tidak lagi menjalankan tugas sebagai wakil rakyat, maka atas permohonannya yang bersangkutan dapat dipekerjakan kembali.
4.    bahwa dalam rangka pengangkatan kembali, masa kerja di luar gereja diperhitungkan sebagai masa kerja aktif di gereja.
5.    apabila yang bersangkutan diangkat kembali, maka jaminan hidupnya diperhitungkan sebagaimana biasanya sesuai peraturan pokok kepegawaian.

Pasal 9
  1. Setiap pelayan khusus yang telah diberi ijin sebagaimana dimaksud pada pasal 5 ayat 2 s/d 5 mempunyai kewajiban dan tanggung jawab menjaga citra sebagai pelayan khusus.
  2. Tidak menggunakan jabatan gerejawi dan atau nama dan tokoh gereja untuk kepentingan kampanye.
  3. Melalui kampanye menyadarkan dan memberi pendidikan politik secara benar dan jujur bagi masyarakat.
  4. Selama masa kampanye, tidak diperkenankan  melayani mimbar gereja.

Pasal 10
  1. dalam hal seorang pelayan khusus terpilih menjadi wakil rakyat maka yang bersangkutan mempunyai kewajiban untuk :
a.    Memperjuangkan hak-hak rakyat dan umat.
b.   Mengedepankan kepentingan umum di atas kepentingan lainnya.
c.    Taat dan tunduk pada peraturan gereja.
d.   Menjadi garam dan terang dalam paradigma “cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati”. Dan
e.    Menyisihkan persembahan khusus tetap bulanan dan penghasilan tetap sebagai persembahan persepuluhan.
  1. Sebelum diangkat sebagai wakil rakyat setiap pelayan khusus berkewajuban untuk mengikuti pembekalan dan pastoral dari MPS.
  2. Mengikuti ibadah pengutusan yang diatur oleh MPS GMIH.
  3. Metap melayani pemberitaan Firman.

Menurut Pdt. A. Puasa M.Th.”[54] Bahwa dengan diutusnya pelayan khusus (pendeta) dalam area partai politik maka diharapkan dapat menyuarakan suara kenabian yakni : keadilan, kebenaran, dan kasih. Dasar panggilan gereja (garam dan terang dunia) ini dijadikan sebagai dasar teologis dari para pendeta dalam rangka membenarkan keterlibatannya dalam partai politik maupun sebagai caleg. Dengan itu maka ada beberapa hal yang coba disampaikan dari peraturan 370 yaitu : pertama, secara etis teologis, titik tolak keterlibatan pendeta dalam partai politik adalah sebagai garam dan terang dunia. Oleh karena itu pendeta terpanggil untuk menggarami dan menerangi dunia lewat partai politik atau di legislatif. Kedua, secara normatif, pendeta adalah warga Negara oleh karena itu ia mempunyai hak dan kewajiban serta penggilan yang sama seperti semua warga Negara RI, dan hendaknya tanggungjawab itu dilaksanakan. Ketiga, secara praksis, kepada pendeta yang duduk sebagai wakil rakyat, hendak tetap menjaga citra sebagai pelayan Tuhan dan harus memperjuangkan keadilan, kebenaran dan kasih bagi rakyat dan umat.

Dalam kaitan dengan keterlibatan pendeta dalam partai politik ada hal yang sangat kontradiktif dengan pemikiran di atas yang coba di kemukakan oleh Pdt. DR. J. Mojau.”[55] Yaitu bahwa,
Keterlibatan pelayan khusus (pendeta) dalam politik praktis Yes, tetapi melibatkan diri dalam partai politik No. karena itu jika seorang pendeta ingin terlibat dalam politik praktis melalui jalur partai politik, sebaiknya dia mengundurkan diri dari jabatan kependetaan. Karena, jabatan kependetaan tidaklah kekal pada dirinya sendiri. Sebaiknya, kekekalan jabatan pendeta sangat terkait dengan fungsi kepelayanan dalam jemaat dan fungsi pastoral sosial kemasyarakatan.


Dalam agenda pemilu banyak orang bertanya-tanya apakah pemilu ini akan berlangsung dengan aman, tertib, adil, dan demokrasi. Atau dengan kata lain dapat dikatakan bahwa apakah rakyat sebagai penentu apakah mereka dapat bekerja untuk menjadi wakil rakyat dapat dipastikan tidak dimanupulasi oleh janji-janji politik murahan? Pernyataan seperti ini bukanlah alasan tetapi pengalaman ini telah menjadi pergumulan rakyat selama ini, yang mana pengaruh kekuasaan uang dalam betuk “politik uang” (Money Politics) dalam bentuk serangan fajar dan janji manis yang berubah pahit itu dalam menjelang harinya pemilu entah itu pemilihan Eksekutif maupun legislatif. Dalam konteks kegelisahan seperti inilah gereja sebagai komunitas yang signifikan. Tanggung jawab politis secara moral ini adalah sebuah keharusan bagi gereja. Hal itu terkait langsung dengan kesetiaan gereja dalam menghayati imannya kepada Allah dalam Yesus Kristus.[56]
Namun sayang sekali kebanyakan pemimpin gereja (pendeta) tidak melihat tanggung jawab politis ini sebagai sebuah panggilan pelayanan secara moral. Dalihnya, gereja sebagai lembaga keagamaan tidak boleh memihak alias harus netral. Akibatnya, gereja sebagai komunitas moral kehilangan makna kehadirannya dalam masalah-masalah sosial yang bersifat politis. Ini merupakan kesadaran hidup menggereja yang palsu yang perlu untuk ditinggalkan. Kesadaran seperti itu merupakan salah satu betuk penghianatan kepada sifat hakiki semangat iman kristiani, yaitu semangat iman yang lahir dari semangat spiritual Yesus yakni semangat yang memperdayakan mereka yang lemah dan miskin serta yang ditindas oleh berbagai kekuasaan. Maka dari itu, gereja sebagai komunitas iman para murid Yesus seharusnya menjadi komunitas iman politis yang memperdayakan rakyat dalam proses-proses seperti pemilu.
         Sebenarnya tujuan politisi dan Pendeta (rohaniawan) mempunyai tugas dan tujuan yang sama, yaitu sama-sama merebut hati masyarakat untuk mengikuti kemauan dari yang memimpinnya, tetapi terkadang cenderung salah arah karena kebanyakan hanya untuk mementingkan kepentingan pemimpin saja bukan untuk masyarakat yang mereka pimpin. Yang anehnya, yaitu bahwa pendeta juga mempunyai watak dan cara berpikir yang sama dengan politisi busuk yaitu ketidakmampuan melihat suatu perbedaan dalam masyarakat. Oleh karena itu, pendeta juga bisa disebut anti kemanusiaan.
          Dalam tubuh gereja juga tidak kalahnya dengan tubuh politik dalam arti dapat mengkurop martabat manusia, tetapi kita tidak perlu memisahkan antara politik dan agama karena sama-sama diperlukan oleh manusia untuk menuju ke hal yang lebih manusiawi dan mencerminkan harkat dan martabatnya sebagai Imago Dei dalam praktik hidupnya.
          Dalam kaitannya dengan itu maka, seharusnya keduanya  menjadi suatu kekuasaan yang membebaskan manusia dari berbagai bentuk ikatan perbudakan yang merendahkan harkat dan marabat manusia. Oleh karena itu, maka keduanya harus dilihat sebagai karunia dari Allah.[57]
Dengan adanya partai politik yang berlatar belakang ideologi agama khususnya Kristen salah satunya yaitu PDS, menambah jumlah pendeta untuk masuk dalam daftar calon legislatif. Dengan begitu maka jumlah jemaat yang diterlantarkan semakin menambah.


C.   Etika Politik Kristen.
“Etika politik dalam Kristen adalah nilai-nilai etika dan panduan moral yang berkaitan dengan perilaku politik, yang diimplementasikan dalam mengelola kehidupan individu maupun kelompok secara bersama yang bermasayrakat dan bernegara.”[58]

Mengapah Etika Kristen perlu dalam Politik :

  1. “Allah melalui Firman-Nya selalu mengajarkan dan menghendaki yang baik dan yang benar dalam kehidupan manusia, termasuk kehidupan bermasyarakat dan bernegara, supaya ada kedamainan dan kesejahteraan lahir dan batin.

  1. Politik adalah kegiatan yang bertujuan untuk kebaikan dan kebenaran dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Politik tidak bertujuan untuk mencapai kepentingan sendiri atau kelompok saja, melainkan dan terutama kepentingan bersama sebagai bangsa.

  1. Para pelaku politik (politisi) adalah orang-orang yang menerima kekuasaan dan wibawa mereka dari Tuhan untuk menegakan kebaikan dan kebenaran di dalam masyarakat. Maka kedaulatan Tuhan seharusnya menjadi arahan para politisi dalam menjalankan tugasnya.

  1. Para politisi adalah manusia “berdosa”, penuh kekurangan bahkan cenderung pada kejahatan (destruktif) sehingga memerlukan panduan, arahan dan norma dari agama supaya mereka dapat menjalankan tugasnya dengan penuh tanggung jawab sesuai dengan kekusaan yang ia terima dari Tuhan.

  1. Kegiatan politik adalah juga misi Allah (Misio Dei) yang bertujuan mewujudkan kekuasaan dankedaulatan Allah di dunia.”[59]

Yang perlu diketahui bersama bahwa Kekuasaan adalah alat, sasaran dan tujuan suatu perjuangan politik. Yang perlu diketahui juga bahwa permainan politik adalah permainan kekuasaan. Dan etika politik adalah etika kekuasaan. Kekuasaan bukanlah suatu yang netral; terutama jika digunakan secara sosial, politis atau religius, maka kekuasaan itu menjadi hidup. Karena tidak ada kekuasaan yang tidak ditujukan pada suatu maksud tertentu. Oleh karena itu, seseorang akan secara refleks beruba menjadi yang lain dari yang semulah. Kerena itu perlu kita kembali menganalisis konsep kekuasaan itu dengan cara etis.[60]
Keterlibatan para pendeta dalam dunia politik merupakan salah satu upaya untuk menjalin kerja sama antara gereja dengan pemerintah, dosa ini terus berlanjut dari abad ke abad yang mana gereja hanya berusaha untuk menjalin hubungan dengan pemerintah secara baik dan tanpa cacat tetapi gereja lupa dengan satu yang seharusnya untuk dijaga dan terus berusaha agar terjalin yaitu hubungan dengan masyarakat.
Mengapah hal ini tidak terjadi, mungkin karena rakyat bersala dari ekonomi bawah sedangkan pendeta berasal dari ekonomi menengah ke atas. Atau mungkin karena agamanya, dan kerena itu takut pada mereka yang beragama lain. Mungkin juga pemahaman teologis tertentu, yang membedakan antara “umat” dan “rakyat” (people of God and People). Semua faktor ini tentunya perlu dikaji ulang secara matang tentunya ini menjadi tugas oleh para pendeta, bukannya untuk caleg. Dalam hal ini bukan berarti untuk menghentikan gereja untuk berhubungan dengan pemerintah, kemitraan dengan berbagai lembaga politik termasuk pemerintah merupakan bagian dari etika politik.[61]
          Dengan itu maka nilai-nilai etis dan moral yang perlu bagi politik, khususnya politisi yaitu:
  1. Hati Nurani/kata hati yaitu bertindak menurut hati nurani, yaitu suatu instansi dalam hidup manusia yang di ciptakan Tuhan untuk memperingatkan manusia tidak salah langkah dan untuk menegor agar manusia menyesal dan melakukan koleksi kalau ia membuat keputusan atau tindakan yang salah.
  2. Adil, yaitu mengusahakan tegaknya keadilan di tengah masyarakat (justice for all) sehingga kebaikan dan kebenaran Tuhan terwujud dalam kehidupan seluruh rakyat.
  3. Jujur, yaitu tidak melakukan pembohongan, mangumbar janji palsu dan mengelabui rakyat.
  4. Rendah hati, yaitu politik berurusan dengan kekuasan dan kekuasaan dapat membuat  orang menjadi takabur, arogan, sombong dan menyalagunakan kekuasaan untuk menindas rakyat.
  5. Keberanian, yaitu politik berurusan dengan kepentingan rakyat secara keseluruhan yang seringkali dirugikan oleh pihak tertentu, maka para politisi perlu memiliki keberanian untuk membela hak-hak rakyat. Allah selalu berpihak pada rakyat lemah dan yang selalu menjadi korban. Itu  maka : “vox populi, vox Dei” (suara rakyat adalah suara Allah).[62]






D.  Politisi Kristen dan Keadaan politik di Indonesia.
Kecenderungan terburuk dalam perkembangan politik di Indonesia, terutama setelah tahun 1998, adalah politik dimonopoli oleh kaum elite secara habis-habisan. Ada dua indikasi. Pertama, isu politik didominasi oleh konflik elitis. Kedua, nasip rakyat tidak berubah secara positif. Implikasi jauh dari monopoli elit adalah ruang politik yang adalah ruang public direkayasa menjadi ruang privat. Politik mengalami privatisasi secara radikal. Politik pun berubah rupa menjadi barang mahal yang tertutup, jauh dari rakyat, dan manjadi mewah.[63]

Di dalam masa atau era yang mana Indonesia saat ini mengalami transisi demokrasi yang telah diperhadapkan dengan berbagai masalah seperti “budaya politik” yang sarat dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), situasi ekonomi yang belum pulih, lemahnya penegakan hukum dan hak asasi manusia (HAM), berdirinya otonomi daerah yang lebih mengarah ke sentiment etnis dan golongan, yang pada akhirnya melehmahkan semangat kebangsaan diantara segenap elemen bangsa.
Berkaitan dengan korupsi, kolusi dan nepotisme yang telah menjadi budaya politik selama ini, hal ini perlunya juga untuk di pertanyakan apakah benar? ternyata tidak karena yang sebenarnya kita alami selama ini adalah politik dalam pengertian yang sebenarnya yaitu membangun masyarakat yang berkeadaban, yang telah digantikan oleh kegiatan anti-politik. Dengan demikian bahwa selama ini yang dapat kita saksikan bahwa perpolitikan yang ada di Indonesia bukanlah kegiatan politik. Karena yang kita saksikan selama ini hanyalah kegiatan transaksi perebutan kekuasaan yang telah tersusun dari sejumlah gerombolan yang haus kekuasaan dan bersifat diktator. Oleh karena itu, budaya politik apakah yang kita harapkan dari perpolitikan di Indonesia ini ? tidak lain hanyalah budaya politik kematian.[64]

Dalam keadaan perpolitikan di Indonesia yang seperti ini maka yang seharusnya politisi Kristen  yang peka terhadap denyut nadi kehidupan masyarakat Indonesia harus memiliki “kegelisahan-etis-kemanusiaan”[65] . Itu berarti pula setiap politisi Kristen memiliki nurani kemanusiaan yang tidak akan perna tentram di tengah-tengah budaya politik kematian yang sedang berkembang di tengah-tengah transaksi politik yang berlangsung di Indonesia.
Politisi Kristen tidak akan bisa tidur nyenyak dengan keadaan politik seperti ini. dalam hal ini bukannya berarti para pendeta tidak turut dalam menyuarakannya tetapi dalam hal menyuarakan bukan berarti harus melepaskan diri sebagai ketua jemaat atau pendeta jemaat dan mencalonkan diri ke DPRD atau yang lainnya masuk dalam partai politik, dan mengutamakan rasa aman sendiri. Oleh karena itu, hidup politisi Kristen bukannya untuk enak tetapi harus hidup dalam resiko harus seperti Yesus Kristus yang terus berjuang. Politisi Kristen berani memperjuangkan dan mampu mengahsilkan sesuatu yang baru dalam berbagai bentuk produk hukum dan undang-undang serta peraturan pemerintah. Maka dari itu, seorang politisi Kristen denga kegelisaan-etis-kemanusiaan itu akan selalu mendorong lahirnya sejumlah produk dan undang-undang  serta peraturan pemerintah yang memproteksi hak-hak dasar warga masyarakat Indonesia , tampa memandang latarbelakang.
Dalam diri setiap politisi krisaten harus selalu mengandung aspirasi rakyat Indonesia yang selalu merindukan seorang bayi keadilan berupa keadilan politik dan ekonomi yang menjamin harkat dan martabat untuk hidup wajar dan manusiawi.
Politisi kristen dengan kegelisaan-etis-kemanusiaan harus banyak berguru kepada sang politisi sejati yakni Yesus Kristus, seperti di kisahkan oleh Kitab-Kitab Injil sinoptik, Yesus memulai karier politikNya pertama-tama dengan menajali uji kematangan psikis dan mental selama empat puluh hari empat puluh malam di padang gurun (Lihat, Matius 4:1-11 dan lain-lain). Setelah lulus uji kematangan psikis dan mental atau uji apakah Yesus kuat atau tidak itulah yang membuat Yesus menjadi seorang politisi sejati dalam pengertian politik yang sebenarnya, yaitu “membangun masyarakat yang berkeadaban dan sejahtera”.[66]
Namun sayang sekali peranan politis Yesus ini selama ini kurang diberi perhatian banyak penafsir Kitab Suci. Pada hal Yesus sendiri melakukan tindakan-tindakan yang bersifat politis. Pelayanan Yesus terhadap mereka yang miskin, lapar, mengalami diskriminasi baik etnis maupun agama dalam tindakan politis. Pilihan politik Yesus itulah yang membuat Ia disalibkan. Hanya saja pewartakan tindakan politik Yesus itu berbeda dengan pewartakan tindakan tindakan politik para politisi pada  Zaman-Nya.



BAB  IV

REFLEKSI TEOLOGIS

Mengapa semakin banyak saja pendeta GMIH (Jailolo – Sahu)  yang mencalonkan diri sebagai anggota legislatif ?.[67]
Dari pertanyaan di atas saya melihat hal ini sebagai satu kesatuan bahwa dari penelitian yang dilakukan lewat wawancara dan penelitian buku yaitu pada hakekatnya pendeta yang masuk dalam partai politik atau yang mencalonkan diri menjadi anggota wakil rakyat, pendeta tersebut belum dewasa dalam hal menjalankan tugas yang ia pilih dan belum siap. Oleh karena ketidaksiapan itu dipengaruhi oleh beberapa faktor yang menyebabkan pendeta masuk dalam partai politik Yaitu :
1.   Pendeta tersebut merasa terpanggil untuk membawa garam dan terang bagi daerah ini.
2.   Adanya motivasi pribadi dalam arti hanya untuk memperkaya diri dan keluarganya.
3.    Pendeta kurang menghayati makna panggilan dan pilihan hidupnya. Dalam hal ini kita kembali melihat akan makna tahbisan seseorang menjadi pendeta dalam arti bahwa segalah sesuatu telah berubah dengan sendirinya lewat pentahbisan itu yang mana hal itu harus digumuli dan dihayati secara baik.
4.   Kesejahteraan pendeta yang kurang diperhatikan oleh jemaat. Masalah kesejahteraan bagi saya hanyalah sebuah alasan belaka yang  coba disampaikan oleh para pendeta dengan tujuan melemparkan kesalahan kepada orang lain dalam hal ini jemaat.
5.   Aturan yang dikeluarkan oleh Gereja atau Sinode tidak tegas dan hanya atas dasar kepentingan. Ketidaktegasan sinode dalam mengeluarkan aturan khususnya peraturan tentang pelayan khusus penuh waktu selama ini ridak konsisten karena disebabkan dari gantinya pemimpin maka ganti pula sebuah aturan yang dikenal dengan Tata Gereja. Bagi saya hal ini setelah dicermati maka semuanya bukan atas dasar pelayanan tetapi atas dasar kepentingan.
Jika seorang pendeta menjadi caleg itu merupakan sebuah kegagalan besar, maka itu berarti kegagalan bagi gereja khusus GMIH. Para pendeta (hamba Tuhan) yang notabene seharusnya mendidik umatnya untuk menjadi sebuah pribadi yang lengkap, justru maju bersaing dengan jemaatnya dalam memperebutkan kursi dewan. Bukankah ini sebuah fenomena yang menyedihkan terjadi di GMIH? Bukankah ini menunjukan kegagalan gereja, kegagalan pola pelayanan dan pembinaan umat?.
Yang seharusnya gereja adalah tempat mempersiapkan orang-orang Kristen yang siap pakai, orang-orang yang menjadi garam dan terang, orang-orang yang bisa menunjukan kehidupan Kristus dalam diri mereka, dan tentunya orang-orang yang menjadi caleg untuk membawa suara profetis bagi daerah ini.
Tetapi apa yang kita lihat sekarang ini, seharusnya pendeta-pendeta bertugas di ranah mempersiapkan pemimpin-pemimpin (caleg), bukan justru malah terjun langsung menjadi caleg. Asumsinya bahwa ketika seorang anak buah tidak mampu melakukan suatu tugas, maka pemimpinnya (pendeta) yang akan turun tangan. Tetapi jika anak buahnya (jemaat) selama tidak mampu melakukan tugasnya , berarti ada kesalahan, entah itu kesalahan pada anak buahnya atau lebih besar kemungkinan pemimpinnya yang tidak mau disaingi.
Dalam arti bahwa pendeta yang ikut dalam kancah politik praktis lebih merasa bahwa jemaatnya tidak mampu membawa perubahan, ataukah ada juga motivasi lain. Tetapi jika demikian bahwa pendeta masuk menjadi caleg karena merasa jemaatnya tidak mempu membawa perubahan itu berarti bahwa gereja kita khususnya GMIH sedang mengalami krisis kepemimpinan. Ini berarti ada yang salah dalam pembinaan di jemaat.
Dari hal di atas ini  maka kita akan melihat perbandingan antara latar belakang pengtahuan Pendeta dan fungsi anggota badan legislatif.

1. Dasar dan latar belakang pengetahuan Pendeta.
Dasar dan latarbelakang pengetahuan pendeta khususnya S1 teologi tidak terlepas dari pengetahuan teologi yang mereka dapat di kursi-kursi perkuliahan yang ada di sekolah tinggi teologi maupun universitas yang di dalamnya ada fakultas teologi, tetapi khususnya yang ada di GMIH yaitu hanya mengakui dan menerima lulusan sarjana teologi yang telah diakui oleh PERSETIA. Oleh karena itu,  ilmu teologi yang diakui oleh PERSETIA itu dibagikan menjadi tiga rumpun Yaitu :
Menurut : B.F. Drewes, dan Pdt.  J. Mojau.[68]
1. Rumpun I yaitu rumpun umum dan mata kuliah yang ada di dalamnya yaitu :
a. Pendidikan Pancasila.
b. Pendidikan Kewarga Negaraan/Kewiraan
c. Ilmu Sosial Dasar.
d. Ilmu Alamiah Dasar.
e. Pengantar Filsafat Timur.
f.  Pengantar Filasafat Barat.

Mata kuliah itu merupakan tuntutan formal dari pihak pemerintah.

2. Rumpun II yaitu rumpun teologi. Mata kuliahnya yaitu :
  1. Pengantar ilmu teologi.
  2. Pengantar Hermeneutika Perjanjian lama.
  3. Pengantar Hermeneutika Perjanjian Baru
  4. Hermeneutika Perjanjian lama I
  5. Hermeneutika Perjanjian Baru I
  6. Hermeneutika Perjanjian lama II
  7. Hermeneutika Perjanjian Baru II.
  8. Sejarah Agama Kristen.
  9. Kristologi
  10. Eklesiologi.
  11. Etika Kristen
  12. Teologi Patoral.
  13. PAK
  14. Liturgika
  15. Homelitika

Mata kuliah dalam rumpun ini adalah mata kuliah yang harus di ajarkan oleh suatu lembaga pendidikan teologi. Dengannya diharapkan para mahasiswa teologi dapat dilatih untuk memiliki kompetensi teologis yang mendasar sebagai bekal untuk mengembangkan diri lebih lanjut dalam panggilan pelayanannya.

3. Rumpun III yaitu:
  1. Metodologi Penelitian Sosial.
  2. Metodologi Penelitian Teologi.
  3. Agama dan Iptek
  4. Sejarah Gereja Indonesia.
  5. Agama dan Masyarakat.
  6. Agama Hindu dan Buddha.
  7. Agama Islam
  8. Agama Suku dan Kebatinan.
  9.  Teologi dan Komunikasi.
  10. Teologi dan Manejemen.
  11. Teologi Agama-Agama.
  12. Teologi Kontekstual.
  13. Teologi Sosial.
  14. Missiologi.


Matakuliah-matakuliah ini diharapkan agar mahasiswa memiliki keterampilan metodologi baik umum maupun teologi dan mempunyai deskripsi yang baik tentang bagaimana berteologi.
Dari rumpun-rumpun di atas ada juga pengelompokan mata kuliah menurut kosentrasi study yang ada di sekolah-sekolah tinggi teologi maupun Fakultas Teologi. khususnya STT GMIH Tobelo dalam Kurikulum tahun 1997 berupaya menghasilkan lulusan “(pastor desa)”[69] yang mampu berteologi sesuai konteks khususnya pada bidang studi ilmu teologi yang menjadi pilihan kosentrasi studinya serta memiliki kepribadian kristiani yang kuat dan tebal semangat kebangsaan.
Dengan itu maka, pengembangan tujuan pendidikan ini dikaitkan dengan ciri khas STT GMIH Tobelo orentasi pedesaan (rulal Oriented). Masyarakat pedesaan ini sesuai dengan konteks Halmahera dan Maluku Utara pada umumnya yang dominan masyarakatnya bersifat pedesaan.
Dari hal yang diangkat di atas yang mau dikatakan yaitu bahwa ilmu pengetahuan yang didapat oleh pendeta dalam konteks Halmahera tidak akan terlepas dari matakuliah yang ada dalam kurikulun ini. dan dengan kurikulum ini bisa membuktikan bahwa sebenarnya yang ada dalam pikiran para pendeta itu untuk pembangunan masyarkat desa khususnya warga jemaat tidak yang lain.
Ketika diadakan debat kandidat pada daerah pemilahan II kabupaten Halmahera Barat yaitu daerah Sahu,  Ibu dan Loloda dengan tema “Halmahera Barat menuju perubahan paskah pemilu 2009” yang dilaksanakan oleh GMKI Cab. Jailolo di Desa Gamnyial tanggal 28 maret 2009 yang dihadiri 9 Caleg dengan 9 partai yang di dalamnya ada seorang pendeta yakni dari partai karya perjuangan bapak Herland Hady. Yang dibuka dengan sambutan ketua GMKI Cab. Jailolo mengatakan bahwa DPRD Hal - Bar yang ada sekarang ini tidak mampu  untuk melaksanakan semua Tugas utama mereka. Keberlangsungan debat kandidat itu dan ketika dipertanyakan oleh panelis kepada Pendeta Herland Hady dengan pertanyaan yaitu bahwa hal apa yang terjadi ketika seorang Caleg tidak memiliki disiplin ilmu penting terkait dengan tiga tugas fungsi Caleg yakni bajeting (penganggaran) pengawasan, dan legislasi? dengan jujur pendeta Herland Hady menjawab bahwa jika mengawasi semua orang, pasti bisa tetapi dalam hal penganggaran dan membuat PERDA tidak semua bisa, termasuk saya karena saya tidak belajar kesitu, namun di tambahkannya dan dengan percaya diri, yaitu bagi saya itu mudah saja karena saya duduk tidak sendirian dan akan bersama dengan seorang pakar penganggaran yaitu dari partai kedaulatan Bpk Arnol Boki yang juga ada pada saat itu[70]


2. Fungsi Anggota Badan Legislatif.
Diantara fungsi badan legislatif yang terpenting ialah :
1.    Menentukan kebijakan dan membuat undang-undang. Untuk itu badan ini diberi hak inisiatif, hak untuk mengadakan amandemen terhadap rancangan undang-undang yang disusun oleh pemerintah, dan terutama di bidang anggaran.
2.    Mengontrol badan eksekutif dalam arti menjaga agar semua tindakan badan eksekutif sesuai dengan kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan. Untuk menyelenggarakan tugas ini. badan perwakilan rakyat ini diberi hak-hak control khusus.

2.1. Fungsi Legislasi
Baginya Menurut teori yang berlaku tugas utama legislatif terletak di bidang perundang-undangan. Tetapi hal ini telah bergeser ke eksekutif. Mayoritas undang-undang dirumuskan oleh badan eksekutif, sedangkan legislatif tinggal membahas dan mengamandemennya. Keadaan ini tidak mengherankan karena Negara modern badan eksekutif bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyat. Dan juga dalam hal tugas ini eksekutif telah didukung oleh staf-staf ahli yang berkualitas tinggi.


 2.2. Fungsi Bajeting.
Dalam hal keuangan, pengaruh badan legislatif lebih besar dari pada bidang legislasi umum. Rancangan anggaran belanja diajukan ke badan legislatif oleh badan eksekutif, akan tetapi badan legislatif mempunyai hak untuk mengadakan amandemen, dan dalam hal ini menentukan seberapa anggaran pemerintah dapat disetujui. Jadi, badan legislatiflah yang pada akhirnya menentukan berapa dan dengan cara bagaimana uang rakyat dipergunakan.

2.3.  Fungsi Kontrol.
Bidang legislatif berkewajiban untuk mengawasi aktivitas badan eksekutif, agar sesuai dengan kebijakan yang telah ditetapkannya. Pengawasan dilakukan melalui sidang panitia-panitia lagislatif dan melalui hak-hak control yang khusus, seperti hak bertanya, interpelasi, dan sebagainya. Anggota legislatif berhak untuk mengajukan pertanyaan kepada pemerintah mengenai suatu masalah, dengan pertanyaan lisan di dalam sidang dan dijawab langsung dengan lisan (pertanyaan parlementer). Anggota legislatif mempunyai hak untuk meminta keterangan kepada pemerintah mengenai kebijakan di suatu bidang (interpelasi). Hak angket adalah hak anggota legislatif untuk melaksanakan penyelidikan sendiri. Dan mosi yang merupakan hak control yang paling ampuh, jika badan legislatif menerima suatu mosi tidak percaya maka dalam sistem parlementer jajaran kabinet harus mengundurkan diri dan terjadi suatu krisis kabinet. Di samping itu ada peran edukatifnya yaitu badan legislative dianggap sebagai forum kerja sama antara berbagai golongan serta partai dengan pemerintah, dimana beraneka ragam dibicarakan di muka umum. Bagi anggota legislative ini membuka kesempatan untuk bertindak sebagai pembawa suatu rakyat dan mengajukan beraneka ragam pandangan yang berkembang dalam masyarakat. [71]
Ada tiga tugas pokok yang dilakukakan oleh anggota legislatif dalam masa periodenya yaitu pengawasan, legislasi, dan bajeting atau penganggaran namun menurut penelitian yang lakukan sangat disayangkan yaitu bahwa ternyata banyak anggota DPRD termasuk di dalamnya pandeta tidak mampu membuat atau melaksanakan dua tugas utama yaitu bajeting dan legislasi, yang mampu mereka lakukan hanyalah pengawasan atau kontrol.
Perbandingan antara fungsi anggota legislatif dan latarbelakang Pengetahuan atau ilmu yang di miliki oleh pendeta yang coba diangkat oleh penulis yaitu bermaksuk untuk mengarahkan bahwa ketidaksenambungan antara ilmu pengetahuan dan kineja yang ingin di capai
Berkaitan dengan hal di atas ada bukti yang akurat yang telah cobah ditanyakan oleh wartawan Percis kepada Wakil Bupati Halmahera Barat tentang mendorong kemajuan dan peningkatan kesejateraan Rakyat, dan bagaimana dukungan dari Pihak DPRD Halmahera Barat dalam menyiapkan perangkat Hukum berupa PERDA (peraturan daerah) untuk menopang penyelenggaraan pemerintah dalam memajukan dan meningkatkan kesejateraan rakyat.
Baginya (wakil Bupati) secara prinsip anggota wakil Rakyat atau DPRD Halmahera barat sangat mendukung untuk memajukan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Hal-Bar karena DPRD adalah mitra pemerintahan. Namun baginya (wakil Bupati) belumlah maksimal, misalnya dari 14 RANPERDA yang diajukan tahun 2007 untuk menopang secara hukum percepatan pembangunan daerah satupun belum disahkan.
Dan ketika ditanya oleh wartawan pércis di mana kendalahnya? “hal itu sangat terkait dengan kapasitas atau kemampuan anggota dewan yang belum maksimal. Banyak anggota dewan di Halmahera barat menjadi anggota dewan hanya karena ketokohan saja tanpa dibarengi oleh kemampuan yang memadai untuk menjadi wakil rakyat yang bisa berpikir luas dan antisipatif terhadap kemajuan ke depan. Hanya sebagian kecil saja (mungkin lima orang dari dua puluh orang) yang bisa diajak berbicara untuk masa depan Halmahera Barat. Ketika hal ini dikonfirmasi dengan Ketua DPRD Halmahera Barat, ia pun membenarkan apa yang telah dikatakan oleh Wakil Bupati. Itulah sebabnya, demikian lanjut katanya (Ketua DPRD Hal-Bar) ke depan sebaiknya partai-partai politik harus mengusung orang-orang yang masuk kedalam rumah rakyat adalah orang-orang yang tidak hanya dapat diterima oleh masyarakat, tetapi juga memiliki kapasitas/kemampuan yang cerdas, berpikir luas dan ke depan, dan memiliki pertanggung jawab moral.
Dan baginya dalam pihak pemerintahan baik legislatif maupun eksekutif perlu membenahi diri paling tidak ada lima hal yaitu : ilmu pemerintahan, akutansi, kebijakan ekonomi, teknik pengawasan dan teknik ke-Dewan-an. [72]

Dengan masalah di atas ini maka siapa yang patut kita persalahkan?. Dengan tujuan agar para pendeta jangan lagi masuk dalam partai politik dan hidup dan matinya hanya untuk pembangunan jemaat bukan yang lain. Ini merupakan pergumulan besar khususnya GMIH. Oleh karena itu, yang harus dilakukan oleh GMIH adalah memperhatikan tiga hal yaitu :  Pertama,  harus memperhatikan segalah macam aturan dan penegasannya dan jangan jadikan aturan itu sebagai sebuah kepentingan semata dan bukan atas dasar pelayanan. Kedua, dengan kasus yang telah terjadi ini, khususnya bagi pendeta yang terlibat ini merupakan perkara besar bagi gereja oleh karena itu perlu lagi dipertanyakan cara atau liturgi penahbisan pendeta apakah harus digantikan untuk mencari makna baru ataukah tergantung pada pendeta yang kurang memaknai itu ?. Ketiga, perlu adanya sosialisasi terhadap warga jemaat untuk sadar memberi dan selalu memperhatikan keperluan pendeta yang bertugas, dan dengan tegas dan bijaksana.

Menurut Eka Darmaputra”[73] Bahwa berkaitan dengan hal ini semakin banyak warga jemaat yang mengeluh tentang pendetanya, bukan oleh kerena pendeta-pendeta mereka malas, kurang kesibukan, kurang pandai. Melainkan sebaliknya yakni pendeta-pendeta mereka terlalu sibuk tetapi bukan sibuk dalam hal pelayanan gereja tetapi sibuk mengamati politik bahkan menjadi politisi.
 Dengan ini maka Pendeta-pedeta semakin kehilangan karekter kependetaannya. Semakin pudar citra dan diri mereka sebagai seorang pemimpin rohani umat, bagi banyak pendeta sekarang ini hampir tidak bisa menolak untuk duduk di kursi legislatif.
Hal ini bisa saja orang mengatakan bahwa zaman telah berubah, ini bisa diakui benar. Namun demikian, ada satu hal yang tidak bisa berubah dan tidak boleh kita biarkan berubah. Sampai kapan pun dan dalam situasi apa pun gereja harus tetap mempertahankan dirinya sabagai sebuah persekutuan rohani, dan oleh karena itu, juga harus dipimpin oleh suatu kepemimpinan yang rohani yang tidak gampang meninggalkan jabatan rohani itu.
Ketika pemimpin-pemimpin (pendeta-pendeta) umat telah kehilangan moral dan kerakternya sebagai pemimpin-pemimpin spiritual, maka mereka harus berlaga dengan “senjata Pinjaman”, yaitu senjata kekuasaan. Ibarat kesatria yang kehilangan ajimat atau senjata pusakanya. Maka ia pasti akan kalah.
“Dalam kaitan dengan pendeta maka dapat di gambarkan yaitu : Pertama, Pendeta adalah orang berdosa dan bisa berdosa. Kedua, menjadi manusia berarti menjadi gambar Allah. Karena itu tidak boleh hanya menyerah kepada keadaan. Dan karena ia adalah gambar Allah, maka kehidupannya harus disesuaikan dengan kehendak Allah, kebenaran Allah, kebaikan Allah dan kasih Allah sendiri. Ketiga, pendeta adalah manusia biasa, yang berarti pendeta pun ada keterbatasan diri.”[74]

Citra pendeta sedang mengalami krisis penyebab utamanya yaitu: “harapan yang tidak bertemu”[75] jadi persoalan yang paling mendasar adalah bagaimana seharusnya kita memahami jabatan pendeta itu ? apakah pendeta itu panggilan atau profesi ? memang pendeta adalah manusia biasa tetapi warga jemaat beraharap kita harus lebih dari pada mereka. Oleh kerena itu, pendeta harus melakukan apa yang hanya bisa dia dapat melakukannya dengan paling baik, dan menyerahkan yang lain kepada warga jemaat yang pasti akan dapat melakukannya dengan jauh lebih baik.
Lalu apa yang disebut dengan dasar bagi jabatan pendeta ? baginya ada tiga hal yaitu :
1.       Verbi divini minister yaitu pelayan Firman Tuhan (Kis. 6:4).  Dosa besar bila pendeta karena tugas-tugasnya yang lain, karena tidak punya waktu untuk menyusun dan mempersiapkan sebuah khotbah (pelayanan) Firman. (…) Memang benar berkhotbah bukan satu-satunya tugas pendeta, tetapi khotbah punya fungsi besar sentral dan strategis. Tetapi sayangnya pendeta sekarang terlalu keenakan sehingga hanya mengulangi bahan khotbah yang telah perna dipakai.
2.       Pendeta bukanlah seorang bos, bukan menejer, atau bukan direktur tetapi seorang gembalah (Yohanes 10 : 1-21).
3.       Pendeta adalah pemimpin umat yang harus ditekankan olehnya adalah menjalankan fungsi kepemimpinan moral dan spiritual.[76]
Oleh karena itu seorang pelayan Tuhan atau pendeta harus mengikuti etika melayani yaitu :
  1. “Iman dan ketaatan sebagai dasar.
  2. Kebutuhan orang lain sebagai tujuan.
  3. Kebersamaan dengan orang lain sebagai motivasi.
  4. Soladaritas sebagai metode.
  5. Kesungguhan sebagai sikap.
  6. Tulus tanpa pamrih sebagai batu uji keabsahan pelayanan kita.”[77]

Menurut Pdt. J. Mojau[78] bahwa Gereja adalah tubuh Kristus dan umat Allah dalam dunia ini. Karena itu, dalam hubungan dengan dunia yang ada merupakan suatu keharusan termasuk di dalamnya dunia politik adalah keharusan teologis sendiri. Hal ini bukannya kita suka atau tidak suka melainkan mempunyai hubungan iman kita kepada Allah dalam diri Yesus Kristus. Karena Allah di dalam Yesus Kristus adalah Allah yang politis, oleh sebab itu jika gereja mengabdi pada Allah dalam Yesus Kristus maka gereja harus mempunyai sifat politis. sebaliknya gereja yang a-politis adalah gereja yang tidak setia kepada Allah dalam diri Yesus Kristus. Dalam hal ini gereja tidak boleh bersifat eksklusif hegemonis. Karena gereja sebagai komunitas iman para murid Yesus adalah komunitas iman politis yang memberdayakan.

Jelas yang terungkap dalam bab 1 bahwa tidak semua orang tahu tentang apa sebenarnya politik itu ?. Oleh karena itu, dalam bagian ini penulis memakai kata politik dengan kata yang sederhana yang dengan tujuan untuk kita mengertinya yaitu upaya untuk mensejahterakan rakyat.
Dalam mengupayakan kesejahteraan rakyat ada berbagai pandangan yang berbeda tergantung dengan asas negaranya masing-masing contohnya Indonesia dengan Negara yang berasas demokrasi memakai politik atau dalam berupaya mensejahterakan rakyat melalaui partai politik (“perkumpulan orang-orang yang seasas, sehaluan, atau setujuan terutama dalam bidang politik)”[79]. Karena bagi Negara demokrasi, hal itu memiliki nilai demokrasi yang sangat tingggi karena rakyat yang memilih langsung siapa pemimpin rakyat yang akan duduk untuk mempedulikan rakyat, yang walaupun sering terjadi berbagai kecurangan yang ada di daerah sampai pada pusat sekalipun. Barbagai kecurangan itu antara lain :
1.    Memanipulasi rakyat dengan uang agar memilihnya (politik uang yaitu : gaya politik yang ketika dalam kampanye atau situasi mencari masa di mana memberikan uang dan menjanjikan segalah sesuatu) [80]
2.    Tidak terjadi sportifitas (bersaing dengan sehat) pada setiap Caleg yang mana saling menjelekan dan menjatuhkan.
Dalam situasi seperti itu pendeta berusaha masuk dan berhasil dengan keterwakilan dalam partai-partai. Dan juga dengan adanya partai berasas agama khususnya Kristen bisa membawa dan bertujuan menyuarakan suara kekristenan yang konon selama ini tidak didengar oleh pemerintah. Namun dalam hal ini ada juga berbagai aturan kekristenan menyangkut dengan etika Kristen tentang hal politik mengapa perlu jelas yang telah ada di dalam bab III yang mana bertujuan agar para politisi Kristen sadar tentang apa yang sebenarnya menjadi tugas dan tanggung jawabnya dan dengan tujuan untuk tidak mengarah ke hal-hal yang buruk dalam arti diantara tidak memanipulasi, diskriminasi, memandang golongan.
Namun sayangnya dari generasi ke generasi dalam setiap pencalonan selalu ada yang disebutkan dengan nama pimpinan jemaat (khusunya pendeta) tugas yang mulia itu ikut-ikutan dalam dunia politik.
Keterlibatan pendeta dalam partai politik bukan untuk memperbaiki dunia politik tetapi untuk menambah keburukan dalam dunia politik. oleh sebab itu, sebaiknya pendeta jangan memaksakan diri untuk ke partai politik. Walaupun begitu banyak pemikiran yang datang dengan tujuan agar para pendeta untuk tidak lagi ikut serta dalam partai politik, tetapi para pendeta selalu memaksakan diri demi memnuhi kepentingan pribadi dengan bersembunyi dibalik kepentingan umum, untuk rakyat dan atau jemaat.
Hal ini telah terbuktikan dalam penelitian bahwa pendeta yang telah terjun dalam dunia politik hanya memperkaya diri saja dan bukan untuk rakyat, bisa kita lihat dari hasil para pendeta berkesempatan untuk memperkaya diri sediri itu dari rumah yang mewah, motor dan mobil yang pada awalnya mereka tidak memilki semuanya itu. Setelah mereka lolos atau menjadi anggota DPRD maka apa yang sudah dijanjikan kepada masyarakat, semuanya itu dilupakan begitu saja.
Menurut Pdt. J. Mojau.[81] Semua politisi baik pendeta maupun bukan pendeta bertujuannya sama saja yaitu bagai mana dapat merebut jiwa rakyat untuk menjadi anggota kelompok demi keuntungan mereka atau diri sendiri. Sehingga terbukti bukan hanya kekuasaan politik yang dapat mengkorup martabat manusia tetapi juga kekuasaan agama, sebenarnya orang seperti ini adalah anti-kemanusiaan yang telah membunuh jiwa-jiwa kreatif dalam masyarakat. Pada hal baik agama maupun politik sama-sama diperlukan manusia untuk bertumbuh kearah kehidupan yang lebih menusiawi untuk mencerminkan harkat dan martabatnya sebagai imago Dei dalam praktik hidupnya.
Hal ini menimbulkan berbagai pertanyaan yang sebenarnya bagi saya suatu hal yang sangat memalukan dan membuat nama Agama Kristen menjadi buruk. dalam melakukan penelitian saya mendapatkan jawaban baik yang ada direverensi maupun yang didapat langsung dari hasil wawancara terhadap pendeta yang terlibat maupun yang tidak terlibat dan masyarakat (dalam arti jemaat).
 pertama bahwa para pendeta masuk dalam dunia politik (partai politik) karena ketidakpuasan ekonomi yang dimiliki dan bermimpi untuk hidup dalam kemewahan dan kekayaan di atas penderitaan rakyat yang memilihnya. Dalam hal ini para pendeta sebenarnya tidak layak karena dengan tugas yang mulia itu yang biasanya menyampaikan firman untuk kehidupan warga jemaat berubah serentak menjadi orang yang membawa dosa bagi warga jemaat.
Karena bagi warga jemaat menyangkut dengan masalah dosa bukan hanya para pendeta yang masuk dalam partai politik bahkan juga orang yang menjadi tim sukses darinya juga turut memikul dosa pendeta tersebut. Dan bagi warga jemaat dengan satu permintaan kepada para pendeta yang masuk dalam partai politik yaitu sejahterakan jemaat dahulu baru ke partai politik.
Kedua, dari sebagian pendeta jemaat (pendeta pelayan dan ketua jemaat) yaitu bahwa sebenarnya tugas dan tanggung jawab seorang yang disebut pendeta yaitu berpolitik dalam hal hanya untuk membangun iman warga jemaat dengan tujuan agar tetap setia dan taat pada ajaran Allah di dalam Yesus Kristus, bagaimana mungkin masih banyak masalah yang terjadi di jemaat, contoh salah satu masalah yang sering terjadi akhir-akhir ini di Jailolo yang pindah ke agama lain (Kristen masuk Islam) dan juga terjadi perpecahan dalam jemaat. Lalu bagaimana mungkin seorang pendeta yang tugas pastoralnya yakni membimbing, menolong, berjalan bersama, kini meninggalkan warga jemaat demi dirinya sendiri. Dan meninggalkan warganya yang sedang susah dan bermasalah apakah ini yang diajarkan dalam kekristenan ?.

Oleh kerena itu yang seharus menjadi tujuan dari keterlibatan pendeta dalam Partai Politik yaitu :
1.   Tujuan Pelayanan/pembebasan. Politik penuh dengan kecenderungan destruktif yang kemudian melahirkan penindasan dan belenggu bagi banyak orang. Dalam konteks itu, gereja terpanggil untuk ikut serta dalam usaha pelayanan/pembebasan yang dilakukan Allah (Lukas 4, Matius 25). Gereja perlu melayani mereka yang menjadi korban permainan politik. Itu arti pertama pembebasan. Pembebasan yang kedua adalah mewujudkan kekbebasan dan hak-hak asasi manusia dalam segala lepangan kehidupan: agama, pendidikan, pekerjaan dst.

2.   Tujuan missioner. Allah terpanggil untuk memberitakan kabar baik bagi dunia. Kabar baik itu, antar lain diwujudkan dalam bidang politik. Gereja perlu berbicara dan bersaksi tentang kebaikan Allah bagi semua manusia. Gereja perlu berbicara tentang kerajaan Allah, pemerintahan Allah, yang mengatasi kekusaan dan pemerintahan manusia.

3.   Tujuan korektif. Para nabi dalam perjanjian Lama dan Yesus Krsitus dalam perjanjian Baru  selalu melakukan koreksi terhadap dosa para pemimpin politik. Tugas koreksi ini dapat dilakukan kalau gereja sendiri mampu memperlihatkan hidup yang baik dan benar. Maka tujuan korektif ini dapat diartikan pula sebagai tujuan pastoral atau tujuan pengembalaan. Tujuan pastoral adalah menimbulkan kesadaran akan kasih Allah bagi mereka yang ingin berubah dan menyesali kesalahannya.

4.   Tujuan Normatif, yaitu untuk menegakan kebenaran di tengah kehidupan politik yaitu menegakan keadilan dan mewujudkan kasih. Iman Kristen mengakui bahwa segala kuasa ditangan Kristus , maka kuasa apapun di dunia ini harusnya mengacu pada kekusaan Kristus. Kristus adalah wujud keadilan dan cintah kasih Allah. Maka kekuasaan politik harus diarahkan untuk mewujudkan keadilan dan cinta kasih. Dengan kata lain , tujuan keterlibatan gereja dalam politik agar “manusia lebih taat kepada Allah, dari kepada manusia” (Kisah Para Rasul 5:29).

5.   Tujuan Eduktif, yaitu untuk mendidik warga gereja supaya peduli dan paham mengenai tugas panggilannya di dunia. Gereja ada di dalam dunia dan diutus ke dalam dunia (Yohanes 17). Gereja terpanggil untuk menjadi garam dan terang dunia (matius 5:13-16). Gereja dan warga gereja adalah warga kerajaan Sorga yang ada dan hadir di dunia untuk mewujudkan tanda-tanda kerajaan Allah. Keterlibatan dalam politik sekaligus berfungsi sebagai pendidikan politik bagi warga gereja.”[82]

Oleh karena itu, jika kita berpolitik belajarlah dari gaya politik Tuhan dan Juruselamat kita yakni Yesus Kristus yaitu politik Salib dan gaya politik Yohanes Pembaptis yang dengan berani mengkritik Herodes Antipas yang walaupun tidak masuk dalam jajaran pemerintahan (Lukas 3 :19). Dari kedua gaya politik inilah yang harus dipelajari secara benar oleh para pendeta. Politik Yesus dengan gaya politik salib adalah politik rakyat bukan politik pemerintah atau penguasa.
Di dalam politik salib ada dua gaya yaitu etika merpati dan politik ular. Hal ini Seperti Yesus berkata kepada Murid-murid-Nya supaya “tulus seperti merpati” (Matius 10:16). Yang lebih baik berkorban dari pada mengorbankan orang lain. Dengan hal itu Yesus menganjurkan sebuah ajaran yaitu jika ditampar berikanlah pipi yang sebelah lagi, juga berikanlah baju serta jubah jika mereka memintah bajumu. Dan berjalanlah dua mil jika mereka memintah berjalan satu mil (Matius 5:38-42).  Ini adalah sebuah etika merpati yang luar biasa. Tetapi Yesus juga tahu bahwa sebenarnya dunia ini diperintah bukan oleh merpati-merpati tetapi oleh serigala-serigala. Seperti kata Yesus “Aku mengutus kamu seperti domba ke tengah-tengah serigala” (Matius 10 :16).
Tetapi Yesus tidak menginginkan murid-murid-Nya menjadi lugu dan tidak berdaya. Sehingga Ia menasihati mereka supaya mereka “cerdik seperti ular” (matius 10 :16). Ular dalam perintah Yesus adalah lambang kecerdikan, kewaspadaan, dan kearifan. Bukanlah lambang kelicikan, tipu muslihat dan pengaruh jahat.
Ular disini berarti kebijaksanaan politik dan bahkan strategi politik dalam penggenapan misi di antara serigala-serigala untuk  melaksanakan tugas diantara para pemimpin agama dan politik yang bermain politik kekuasaan. Ketika etika merpati ditambahkan dengan politik ular, maka dengan ajaran-ajaran Yesus seperti, jika ditampar dan memberikan sebelah lagi, maka kita harus tahu apa yang kita perbuat dan lain sebagainya.
Etika merpati dan politik ular adalah suatu kesatuan yang tidak bisa dipisakan. Karena etika merpati tampa politik ular merupakan etika yang konyol, etika yang bodoh, dan sebaliknya politik ular tanpa etika merpati adalah politik yang menyesatkan, yang menindas, yang berbahaya, dan menghancurkan. [83]
Dengan politik salib yang di dalamnya ada etika merpati dan politik ular yang di ajarkan oleh Yesus adalah sebuah ajaran yang baik khususnya para aktivis Kristen atau pada khususnya para pendeta dalam hal membangun dan menjaga jemaat agar tetap utuh.
Dan yang paling terutama yang perlu untuk diketahui oleh para pendeta yaitu bahwa ketika kita berbuat sesuatu kita harus tahu mengapa kita berbuat demikian jangan hanya mengambil sebuah keputusan tanpa memikirkan dengan matang. Bahwa para pendeta yang masuk dalam partai politik adalah pendeta yang belum dewasa dan pendeta yang tidak bertanggung jawab dalam tugas dan tangung jawabnya selaku pendeta. Jika ingin menjadi anggota DPRD jangan dulu menjadi pendeta. Agar jangan menjadikan jemaat sebagai tempat “persinggahan sementara.”[84] Bagi penulis hal ini akan berlangsung terus menerus jika peraturan gereja tidak ketat, dan jika pendeta tidak menghayati makna panggilannya.
Politik Yesus adalah Politik Hati Nurani. Politik Yesus ini dinyatakan dengan melayani mereka yang lemah dan tidak berdaya. Politik Yesus adalah politik pelayanan, politik yang melayani mereka yang membutuhkan untuk dipulihkan harkat dan martabatnya karena kemiskinan dan ketidakadilan sosial dan politik.
Politik Yesus bukanlah politik manipulatif, yang tidak untuk memanipulasi kelemahan dan kepentingan orang banyak demi kepentingan diriNya atau kelompokNya. Politik Yesus adalah politik pengabdian dan pelayanan bagi kemanusiaan, bukan dalam bentuk retorika belaka, tetapi dalam bentuk tindakan yang konkrit, Ia justrus mengorbankan diri-Nya sendiri  bagi mereka dengan jalan rela disalibkan. Itulah sebabnya kematian Yesus adalah sebuah kematian yang besifat politik. Bagi Yesus yang perlu untuk kita ketahui adalah lebih baik berkorban dari pada mengorbankan orang lain, inilah politik Salib.
Disini jelas bahwa Yesus adalah seorang politisi yang berhati nurani, politisi yang mengutamakan kepentingan, kebutuhan banyak orang atau kebutuhan bagi mereka yang lebih membutuhkan perlindungan.
Namun sayang sekali tafsiran pietis selalu memandang bahwa kematian Yesus hanya secara rohani. Padahal kematian Yesus mempunyai alasan-alasan politik.
Yesus dalam pelayanan dan pengabdian-Nya bagi kemanusiaan harus berhadapan dengan kekuatan-kekuatan sosial, ekonomi, dan politik yang tidak manusiawi saat itu. Memang tindakan politik Yesus hanyalah sebuah cerita dan apa yang dilakukan oleh Yesus dalam cerita itu adalah sebuah  gaya politik yang menghidupkan yang membangun  orang banyak.
Oleh karena itu, para politisi Kristen harus belajar dari tindakan politik Yesus yang bersifat menghidupkan itu. Hal itu akan mendorong peran seorang politisi Kristen  untuk selalu memiliki kegelisahan-etis-kemanusiaan dengan selalu mengusahakan berbagai produk hukum dan undang-undang serta peraturan pemerintah yang berfokus kepada usaha civil-society atau masyarakat berkeadaban.
Peran politik seperti inilah yang akan memperkuat rasa solidaritas  antar elemen sosial bangsa yang memungkinkan terciptanya habitus sosial politik yang baru tanpa perbedaan agama dan etnis hanya dapat dirasakan sebagai anugerah Tuhan yang membuat kehidupan sosial ini menjadi kehidupan sosial yang berbudaya.
Dalam bagian terakhir dari refleksi atau analisis ini yang penulis mau katakan bahwa Kematian Yesus Kristus di salib bukanlah karena Yesus Kristus kalah dalam pemerintahan atau dalam parlemen tetapi kematian Yesus Kristus di kayu Salib adalah sebagai “kematian sang raja yang revolusioner” [85] yang berhasil membawah perubahan politik dalam kehidupan orang Yahudi maupun kerajaan Romawi pada saat itu sekaligus kematiannya Yesus Kristus di kayu salib dengan iman bahwa itu merupakan penebusan atas dosa-dosa manusia.




















BAB V
PENUTUP


            Dalam bagian penutup ini merupakan bagian terakhir dalam proses penulisan skripsi yang penulis angkat terkait dengan mengkur latar belakang ilmu pengetahuan dan dari sisi etika tentang pendeta yang masuk mencalonkan diri dalam partai politik yang terdiri dari kesimpulan dan ditambah dengan pikiran rekomendatif atau saran yang coba penulis ajukan. Maka dari itu bertolak dari bab I hingga bab IV maka yang dapat penulis tarik sebagai kesimpulan dan saran yaitu :


A. Kesimpulan.

Pendeta adalah sebuah jabatan yang sakral dan sangat mulia  karena diberikan langsung oleh Allah di dalam Yesus Kristus lewat jemaat. dengan jabatan yang dipikulnya itu ditambah dengan tugas dan tanggung jawabnya untuk mengupayakan kesejahteraan dan pertumbuhan iman pada jemaat yang ia pimpin. Namun dalam perjalan sebagai seorang pendeta bukanlah perjalanan tanpa bahaya atau tampa cobaan, Ada berbagai bahaya dan cobaan yang dihadapi oleh pendeta tergantung dari pandangan para pendeta itu sendiri ada yang memahami pencobaan itu sebagai bahaya ataupun sebagai berkat. Dan  kaitan dengan cobaan itu ada yang mempertahankan tugasnya sebagai pendeta dalam arti sebagai ketua jemaat atau juga pendeta pelayan namun ada juga yang meninggalkan tugas dan tanggung jawab sebagai pendeta untuk melayani di jemaat. Memang benar pendeta juga adalah manusia yang terkadang bisa cenderung salah dalam mengambil sebuah keputusan. Dan kesalahan dari pendeta tersebut bisa berakibat fatal bagi pendeta itu sendiri, bagi jemaat dan juga bagi Gereja.
            Tugas dan tanggung jawab para pendeta hanyalah untuk jemaat karena sesuai dengan kompetensi ilmu yang dimiliki bukan yang lain, khususnya pendeta GMIH dengan ilmu pengatahuan yang dimiliki itu mempunyai tujuan khususnya pada masyarakat pedesaan atau pembangunan masyarakat pedesaan bukan untuk menyusun PERDA dan menganggarkan anggaran pembelanjaan daerah.
            Dalam kaitan dengan ini ada sebagian pendeta yang dengan ilmu berlatar belakang teologi itu berusaha masuk dalam partai politik (Caleg) sehingga hal ini menjadi masalah, sekaligus pergumulan besar untuk perjalanan kehidupan menggereja. Dan yang menjadi penyebab para pendeta terjun ke dunia politik (partai politik) yaitu : Pertama, tidak memahami, menghayati, dan bertanggung jawab dalam panggilan hidup sebagai seorang pendeta. Kedua, jemaat sebagai tempat hidup pendeta kurang memperhatikan kesejahteraan pendeta. Ketiga, Sinode sebagai pengontrol perjalanan hidup menggereja tidak tegas dalam hal mengambil keputusan. Keempat, menurut pandangan masyarakat bahwa yang menyebabkannya semuanya itu terjadi karena keinginan atau ketidakpuasan ekonomi yang dimiliki oleh pendeta tersebut. Namun ada juga yang turut setujuh dengan masuknya pendeta dalam partai politik (Caleg) dengan alasan pendeta bisa membawa suara masyarakat yang tertindas khususnya Kristen.
            Dengan ilmu yang dimiliki oleh pendeta itu sebagai seorang teolog maka penempatan yang cocok, harus yang sesuai dengan ilmu yang dimiliki yaitu di jemaat bukan untuk di DPRD karena secara de fakto membuktikan bahwa dalam perjalan sebagai anggota wakil rakyat ternyata pendeta tidak bisa berbuat apa-apa dalam arti bahwa tidak mampu melaksanakan tugas-tugas ke-dewan-an yang ia tempati.
            Dalam penelitian yang dilakukan yang menjadi korban dari ulah para pendeta dengan memaksakan diri untuk masuk dalam partai politik yaitu jemaat yang akan menerima semuanya itu, jemaat akan mengalami krisis kepemimpinan oleh karena seseorang yang memimpin mereka lari meninggalkan mereka karena beralasan berjuang untuk kepentingan rakyat. Lalu apakah jemaat bukan rakyat ?.
            Maka dari itu seperti yang telah ditawarkan oleh Eka Darmaputra tentang pendeta seharusnya Bac To Basic yaitu bahwa pendeta seharusnya sadar dengan keadaan dirinya untuk kembali menjadi seorang pelayan Tuhan di dalam jemaat dengan tujuan untuk membantu menumbuhkan iman warga jemaat.
            Dalam pengembangan selanjutnya ternyata sebagian besar jemaat tidak lagi percaya ataukah mereka telah mengerti tentang tugas dan panggilan seorang pendeta hal ini telah dibuktikan pada saat pengumumann penetapan anggota legislatif yaitu dengan hanya lolosnya satu orang pendeta ke kursi legislatif.
           
B.   Saran.
Dari hasil proses penulisan ini maka yang coba disarankan oleh penulis adalah :
    1. Semua pendeta perlu untuk melihat kembali, memahami, mengahayati, dan sadar tentang panggilan atau pilihan hidupnya sebagai seorang pendeta dan juga harus benar-benar siap untuk melayani jemaat yang ia pimpin secara baik.
    2. Khususnya pendeta yang masuk dalam partai politik (caleg) (latar belakang pengetahuan S1) jangan memaksakan diri dengan ilmu yang dimiliki karena hanya akan membuat masalah bagi gereja dan khususnya bagi jemaat yang menjadi korban.
    3.  Bagi Badan Pekerja Harian Sinode (BPHS) harus tegas dan bijaksana dalam melihat masalah yang terjadi di GMIH menyangkut keterlibatan pendeta dalam partai politik. Dan dalam hal mengeluarkan suatu keputusan harus tegas jangan atas dasar kepentingan.
    4. Sebaiknya BPHS mengeluarkan surat keputusan dengan ketegasan tentang pelepasan jabatan pendeta jika mencalonkan diri sebagai anggota lebgislatif.
    5. Bagi Badan Pekerja Harian Majelis Jemaat (BPHMJ) yang bertugas bersama-sama dengan pendeta dalam membangun bersama jemaat tersebut perlu adanya untuk memperhatikan kesejahteraan jemaat.
    6. Khususnya bagi jemaat haruslah dengan arif, bijaksana, dan berpendirian dalam melihat pemimpinnya di jemaat (pendeta). Berkaitan dengan pilihan hidup pendeta jika memilih untuk caleg ataukah untuk melayani.









DAFTAR PUSTAKA

KAMUS DAN ALKITAB
Salim Peter & Salim Yenny. Kamus Bahasa Konten porer
Barry Dahlan Al, Kamus Modern BI, Yogyakarta : Arkola, 1994..
Alkitab. Jakarta. Lembaga Alkitab Indonesia. 2001

BUKU-BUKU KARANGAN :
Bidiardjo Miriam, Dasar-dasar ilmu politik, Jakarta: Gramedia pustaka  utama, 2005.
Bidiardjo Miriam. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2008
Borrong Robert.B. Etika Politik Kristen, Jakarta : SST Jakarta, 2006.
Darmaputera Eka. Pergulatan kehadiran Kristen Di Indonesia. Jakarta : BPK-GM. 2001.
Hargens Boni.10 Dosa Politik SBY-JK (kumpulan catatan penderitaan  rakyat). Jakarta : Parrhesia Institute, 2007.
Jimung Martin, Teori  Pembangunan Politik di Indonesia dalam Praktek                             Yogyakarta : yayasan pustaka nusatama, 2006.
Kealy Sean P. Yesus dan Politik. Yogyakarta : Pustakan Nusatama, 2006.
Mojau.J dan Drewes.B.F, Apa itu Teologi? “pengatar ke dalam ilmu teologi, Jakarta :BPK-GM, 2003.
Mojau. J. Teologi Politik Pemberdayaan, Yogyakarta : Kanisius, 2009.
Rohman Arif. Politik Ideologi Pendidikan. Yogyakarta : LMJ (LaksBang Mediatama Yogyakarta, 2009
Sirait Saut, Politik Kristen di Indonesia, Yogyakarta: BPK-GM, 2001.
Surbakti Ramlan. Memahami Ilmu Politik. Jakarta : Grasindo, 1992.
Song. C.S. Sebutkanlah nama-nama Kami, Jakarta: BPK GM, 1993.
Singgih E.G. Iman Politik dalam Era Reformas. Jakarta : BPK-GM, 2004.
Singgih. E.G. Bergereja, Berteologi dan Bermasyarakat. Yogyakarta : Taman Pustaka Kristen. 1997.
Wibowo Eddi (ed), Ilmu Politik Kontemporer, Yogyakarta : YPAPI, 2004
UU RI No 2 Tahun 2008. Tentang Partai politik. Yogyakarta : Pustaka Fahima, 2008.

KORAN/MAJALAH/TABLOID/DOKUMEN/SKRIPSI:
Hutabarat M. Pahala. Umat Kristen Mengahadapi pemilu 2009. Berita Oikumene Maret 2009
Sumampouw Jerry. Umat Kristen Mengahadapi pemilu 2009. Berita Oikumene. Maret 2009
Berita Oikoumene. Politik atau Politisasi Agama. Edisi : Agustus 2008
Tabloit Percis edisi III tahun II. Legislator dan kesejateraan Rakyat. Tobelo :2008.
Tabloit Percis Halmahera: kemerdekaan berpolitik. Edisi VI. Tobelo 2008
Dokumen Sidang Sinode GMIH Ke XXVI. Jemaat Tiga Saudara. IBU. Hal-Bar :2007
Harian Umum. Ternate Pos. 01 November 2008
Tjaja Broery. D.P. Skripsi, Peran Politis Pendeta GMIH Dalam pembangunan Jemaat. Tahun : 2007
Elfira F.A. Mozes. pendeta sebagai motivator . Skripsi , STT GMIH Tobelo.

WAWANCARA LANGSUNG DAN TIDAK LANGSUNG :
Baura Yuliche Dolvina (Caleg PDIP).
Eni Minggus (Caleg PDS).
Flori Ester Caleg (PDS Prov).
Gereja Adelberth (Caleg PPD)
Hady Herland (Caleg PKP).
HiorumLetti u (Ket. Jemaat Jati)
Hodja. A. (Caleg PDS).
Kucame Grace (Ket. Jemaat Gamtala)
Kumihi Aknes ( Ket. Jemaat Idamdehe)
Leaua Anita (Ket. Jemaat Tacici
Lube-pinotoan Esra (Ket. Jemaat Tedeng)
Lulungan Herry
Mani Aprilo
Mara Ronald
Paramata Hermanus
Parmino Hofni (Ket. Jemaat Worat-worat).
Pattimukai Oktovianus (Ket. Jemaat Todowongi)
Pulo Simson (Ket Jemaat Hoku-hoku Kie)
Raffane Ausalmon (Caleg PDIP).
Rajabaikole Julius (Ket. Jemaat Akelamo)
Salawangi Dortea (Ket. Jemaat Taboso)
Sale Imanuel (Caleg PDS).
Sapa-Goliat Y. (Ket. Jemaat Balisoan).
Saya Ahmad (Caleg PDS).
Silinaung Lili
Sowo Kr. (Ket. Jemaat Porniti)
Vaitje Yarden (Ket Jemaat Gomomeng).








[1] Martin Jimung., Teori  Pembangunan Politik di Indonesia dalam Praktek, Yogyakarta : Yayasan Pustaka Nusatama, 2006, hlm.116.
[2] Saut Sirait., Politik Kristen di Indonesia, Yogyakarta :BPK GM, 2001. hlm. 22.
[3] Dahlan Al Barry, Kamus Modern BI, Yogyakarta : Arkola, 1994. Hlm. 521.
[4] Boni Hargens. 10 Dosa Politik SBY-JK. Jakarta :Parrhesia Institute. 2007. Hlm. 152-153
[5] Arif Rohman. Politik Ideologi Pendidikan. Yogyakarta: LMJ.. 2009. hlm : 25-26.
[6]  Miriam Bidiardjo., Dasar-dasar ilmu politik,  Jakarta :Gramedia pustaka utama, 2005. hlm. 161
[7] Pendeta yang hanya menjadikan Jemaat sebagai sebuah tempat untuk mencari masa atau pendukung dengan tujuan menjadi seorang anggota legislatif (DPRD
[8]  Robert.B. Borrong., Etika Politik Kristen, Jakarta : SST Jakarta, 2006. hlm. 3.
[9] M. Pahala Hutabarat., “Umat Kristen Mengahadapi pemilu 2009” Berita Oikumene, Maret 2009. Hlm.10
[10] Jerry Sumampouw., , “Umat Kristen Mengahadapi pemilu 2009” Berita Oikumene, Maret 2009. Hlm.25
[11] Jailolo dan Sahu Secara umum.
[12] Peraturan GMIH tentang keikutsertakan pelayan khusus dalam dunia politik. Bulletin GMIH .Sangkakala, edisi ke-XX. Agustus-september : 2008. hlm : 24
[13] Peraturan GMIH.  tentang keikutsertakan…, hlm:25
[14] Pdt. Ahmad Saya (anggota DPRD). Pdt Minggus Eni (anggota DPRD). Pdt  Adelberth Gereja (Ket Jemaat Ngaon). Pdt Ausalmon Raffane (Ket Jemaat Idam gamlamo). Pdt. Herland Hady (Ket Jemaat Akediri) Pdt . A. Hodja (Ket. Jemaat Loce) Wawancara.  Kamis, 23 april-Jumat , 24 April 2009
[15] Jailolo :Pdt Marthianus Wongi (RepublicaN).Pdt Nasum Mouw (Pedulirakyat Nusantara).Pdt Imanuel Saleh (PDS). Pdt Ester Flori (PDS Prov). Pdt Yosias (PDS). Pdt Yuliche Dolvina Baura (PDIP). Pdt .A. Hodja. Pdt Ishak  Tou (Caleg Kab. Halsel)
    Sahu   : Pdt Minggus Eni (PDS). Ahmad Saya (PDS). Pdt Salmon Kaomaneng (PDS). Pdt Ausalmon Raffane (PDIP). Herland Hady (PKP). Adelberth Gereja (PPD)
[16] Pdt Imanuel Sale (Ket jemaat Tetewang). Pdt Yuliche Dolvina Baura (Ket Jemaat Soakonora). Wawancara. Senin, 30 maret 2009.

[17]Pdt. DR. J. Mojau.. Pendeta Dan Partai Politik. Berita Oikoumene Edisi : Agustus 2008
[18] Politik praktis adalah usaha secara terbuka untuk membuat masyarakat atau umat menjadi berdaya dan dapat dilakukan baik gereja maupun pemerintah dan berbeda dengan partai politik adalah usaha untuk merebut kekuasaan dalam pemerintahan.
[19] Pdt. Dortea Salawangi (Ket. Jemaat Taboso). Pdt Simson Pulo (Ket Jemaat Hoku-hoku Kie) dan Pdt Anita Leaua (Ket. Jemaat Tacici).Pdt Kr. Sowo (Ket. Jemaat Porniti).  Wawancara. Minggu, 05 April dan kamis 23 April 2009
[20] .. Lili Silinaung. Wawancara. Minggu, 22 Maret 2009
[21]. Pdt Esra lube-pinotoan (Ket. Jemaat Tedeng). Wawancara .Kamis 19 maret 2009

[22] Pdt Grace Kucame (Ket. Jemaat Gamtala). Pdt Letti Hiorumu (Ket. Jemaat Jati). Pdt Aknes Kumihi ( Ket. Jemaat Idamdehe). Pdt. Oktovianus Pattimukai (Ket. Jemaat Todowongi). Pdt Hofni Parmino (Ket. Jemaat Worat-worat). Pdt Julius Rajabaikole (Ket. Jemaat Akelamo) Pdt Yarden Vaitje  (Ket Jemaat Gomomeng). Pdt. Y. Sapa-Goliat (Ket. Jemaat Balisoan). Wawancara. Kamis, 23 april-Jumat , 24 April 2009

[23] Hermanus Paramata. Wawancara, Selasa, 24 Meret 2009
[24] Ronald Mara. Wawancara.Rabu, 22 April 2009
[25] Aprilo Mani.  Wawancara. Senin , 6 April 2009.
[26], Herry Lulungan. Wanwancara Senin , 6 April 2009.
[27] Anselmus Puasa. Kemerdekaan berpolitik. Tabloit Percis Halmahera: Edisi VI. Tobelo 2008. hlm :6

[28] Anselmus Puasa. Mth.  Kemerdekaan…, hlm :6
[29]Pdt. DR. J. Mojau : Pendeta…, Tabloit Percis Halmahera: Edisi VI. Tobelo 2008. hlm : 11

[30] Pdt. DR. J. Mojau. Pendeta …, hlm : 12
[31] Pdt. DR. J. Mojau. Pendeta …, hlm : 12
[32] Pdt. Demianus Ice. “Legislator dan kesejateraan rakyat”. Tabloit Percis Halmahera: Edisi III. Tobelo 2008. hlm. 12

[33] Broery. D. P. Djaja. Skripsi.  Peran Politis pendeta dalam pembangunan Jemaat.Yang dikutip dari Agustinus Y. Dan Mianto N.A. dalam Majalah BINA DARMA no : 57 . hlm 24. Hal ini jelas termuat dalam Prasasti Mataram mengenai Etika Ksatria atau Priyayi.
[34] Broery. D. P. Djaja. Skripsi. Peran Politis pendeta dalam pembangunan Jemaat. Yang dikutip dari. Dieker Bekker, Pedoman dogmatika : Suatu Kompedium Singkat, Jakarta : BPK-GM. 2001. Hlm: 178
[35] Dokumen Sidang Sinode GMIH Ke XXVI. Jemaat Tiga Saudara. IBU. Hal-Bar :2007. hlm.109
[36] Emanuel.G. Singgih., Bergereja, Berteologi dan Bermasyarakat, Yogyakarta : TPK, 1997. Hlm. 31.
[37] Dokumen Sidang Sinode GMIH Ke XXVI. Jemaat Tiga Saudara. IBU. Hal-Bar :2007. hlm.
 109-110.
[38] Dokumen Sidang Sinode GMIH Ke XXVI. Jemaat Tiga Saudara. IBU. Hal-Bar :2007. hlm. 110.
[39] Lihat. Tata Gereja. Dan Tata Rumah Tangga GMIH. Pasal 53 tentang Tugas dan tanggung jawab pendeta atau ketua jemaat.
[40] A.F. Parengkuan. Makna Pentahbisan pendeta. (Meteri pada Saat Konven GMIH) di Jemaat Betlehem WKO Wosia Tobelo. 2008.
[41]Elfira F.A. Mozes. “pendeta sebagai motivator” . Skripsi , Tobelo. Halaman : 37-39
[42] Miriam Bidiardjo. Dasar-dasar Ilmu Politik.  Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2008. hlm. 403
[43] Eddi Wibowo. et.al., Ilmu Politik Kontemporer. Yogyakarta : YPAPI. 2004. Hlm. 67-68
[44] Miriam bidiardjo. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta :Gramedia Pustaka Utama. 2008. hlm : 404
[45]  J. Mojau. “politik atau politisasi Agama?”. Berita Oikumene Agustus.2008. Hlm :28
[46] UU RI No 2 Tahun 2008 tentang partai politik. Penerbit : Pustaka Fahima. Yogyakarta : 2008. hlm : 11
[47] Ramlan Surbakti. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Grasindo. 1992. Hlm : 116
[48] Lihat UU PARPOL No 2 Tahun 2008 tentang Fungsi partai politik.
[49] Eddi Wibowo et.al., Ilmu…, Hlm :70-76
[50]Ramlan Surbakti. Memahami…, Hlm: 119-121
[51]Ramlan Surbakti. Memahami…, Hlm : 116
[52] Lihat . Tata Gereja GMIH…
[53] Lihat, Peraturan 370 GMIH ...
[54]Pdt Amos Puasa.. “Pendeta dan partai politik”. Tesis.  Yogyakarta: UKDW. 2005. Hlm : 108
[55] Pdt. DR. J. Mojau. Politik atau…, hlm : 28-29

[56]Pdt. DR. J. Mojau. Teologi Politik Pemberdayaan. Yogyakarta : Kanisius. 2009. Hlm: 97-98
[57] J. Mojau. Teologi…, Hlm: 66-67.
[58]Robert P. Borrong. Etika …, hlm. 7
[59] Robert P. Borrong. Etika …, Hlm. 8
[60] C.S. Song. Sebutkanlah nama-nama Kami. Jakarta : BPK GM. 1993. Hal :217
[61] E.G. Singgih. Iman Politik dalam Era Reformasi. Jakarta :BPK-GM. 2004. hlm.35-39.
[62] Robert.B. Borrong., Etika…, Hlm.9
[63] Boni Hargens. 10 Dosa …,Hlm : 158
[64] J. Mojau. Teologi…, Hlm: 124
[65] Kegelisaa- etis-kemnusiaan yaitu peka atau peduli terhadap orang-orang yang menjadi korban kekuasaan atau korban diskriminasi bangsa.
[66]  J. Mojau. Teologi..., Hlm: 125
[67] Tahun 2004 : 8 orang pendeta.  sedangkan pada Tahun 2009 : 14  pendeta.
[68] B.F. Drewes, dan J. Mojau. Apa itu Teologi? “pengatar ke dalam ilmu teologi” .  Jakarta :BPK-GM. 2003. hlm : 11-13

[69] Pastor desa/pendeta dan tidak di tambah dengan hal-hal yang lain itu berarti bahwa ilmu yang di miliki itu barfokus pada pembangunan masyarakat desa khususnya jemaat. Kurikulum STT GMIH TOBELO tahun 1997.
[70] Debat kandidat Caleg, Gamnyial, sabtu 28 Maret 2009
[71] Ramlan Surbakti. Memahami…, Hlm : 325-326

[72] “Legislator dan kesejateraan Rakyat”. Tabloit Percis edisi III tahun II. Tobelo :2008. Hal : 13.

[73] Eka Darmaputera., Pergulatan Kehadiran Kristen Di Indonesia. Jakarta : BPK-GM.2001. hlm. 826-827
[74] Eka Darmaputera. Pergulatan…, hlm. 561
[75] pendeta mengharapkan pengertian jemaat bahwa ia adalah manusia biasa; jemaat pada umumnya punya harapan lebih bahkan ada yang berbeda pendepat, belum lagi persaingan antar pendeta
[76] Eka Darmaputera. Pergulatan…, hlm. 562-563
[77] Eka Darmaputera. Pergulatan…, hlm. 562
[78] J. Mojau. Teologi Politik pemberdayaan, teologi politik pasca orde baru. Tobelo :2006. hlm :26

[79] Peter Salim & Yenny Salim. Kamus Bahasa Indonesia Konten porer. Hlm : 1099
[80] Buku Panduan pemantau Pilkada. Jaringan pendidikan pemilih untuk rakyat (JPPR). Hlm : 30
[81] J. Mojau. Teologi Politik…, Hlm.20.

[82] Robert P. Borrong. Etika Politik Kristen. Penerbit: UPI & PSE STT Jakarta. Jakarta : 2006. hlm :5-6
[83] C.S. Song. Sebutkanlah…, Hlm. 234-235
[84] Pendeta hanya menjadikan jemaat sebagai tempat dimana bertujuan mencari masa untuk mendukungnya ketika mencalonkan diri menjadi anggota legislatif.
[85] Sean P. Kealy. Yesus dan Politik. Yogyakarta : Pustakan Nusatama. 2006. Hlm. 63.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar