BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
masalah dan Alasan Pemilihan Judul.
Tidak
semua orang tahu bahwa berpolitik adalah hak setiap manusia yang ada di Dunia
ini khususnya di Indonesia.
Tetapi gaya
politik macam manakah yang harus dipakai?. Kenyataan menunjukan bahwa pada
umumnya para penguasa politik Indonesia
menggunakan mesin kendaraan politik demi mengokohkan kepentingan pribadi dan
kelompok atau partai politiknya. Sebagaimana para politisi Indonesia yang selalu meneriakan “demi kepentingan rakyat atau hanya demi
rakyat dan demi kepentingan umum” tetapi sebenarnya hanya untuk
menyembunyikan siasat buruknya dalam rangka memenangkan kepentingan pribadinya.[1]
Kata politik berasal dari bahasa
Yunani, yaitu polis. Secara harfia,
arti kata polis adalah kota.
Dan dari sinilah kemudian di kembangkan berbagai pengertian.[2] Politik
adalah ilmu kenegaraan/tata Negara; sebagai kata kolektif yang menunjukan
pemikiran yang bertujuan untuk mendapatkan kekuasaan.[3]
Politik
dalam arti yang sebenarnya atau sejatinya adalah kepastian sekaligus jawaban.
Ia harus memberi harapan sekaligus
pencapaian. Sebab Negara bukan sekedar kontrak formal yang melibatkan rakyat
satu pihak dan elit dipihak lain. Namun dalam prakteknya, politik memang
sekedar deretan kemungkinan yang membuka diri terhadap segala kontigensi. Membaca
politik yang demikian selalu penuh dengan tanda Tanya, penuh kebimbangan, dan
kecurigaan. Itulah politik yang ditampilkan elite kita. Secara sewenang-wenang,
politik didegradasi sebagai dunia tanpa batas, tanpa kepastian dan tanpa
harapan.
Politik adalah titik-titik, siapapun
tergantung kepentingan, dipersilakan untuk mengisi titik-titik yang tentunya
dengan pamrih parsial. Maka, bukan sebuah kejanggalan kalau DPR berteriak atas
nama kedaulatan bangsa padahal menjual-jual hajat hidup rakyat.
Makna politik tergantung pada
subjek yang memaknai dan menguasainya. Di tangan negarawan, politik adalah
kebijakan umum. Ditangan pecundang, yang layak disebut “tukang politik” politik
adalah komoditas.[4]
Ada
juga beberapa pandangan mengenai politik yaitu:
- Politik adalah usaha-usaha yang ditempu warga Negara untuk membicarakan dan mengupayakan kebaikan bersama.
- Politik adalah segala hal yang berkaitan dengan penyelenggara Negara dan pemerintahan.
- Politik adalah suatu kegiatan yang diarahkan untuk mencari dan mempertahankan dalam masyarakat.
- Politik adalah kegiatan yang berkaitan dengan perumusan dan pelaksaan kebijakan umum.
- Politik adalah konflik dalam rangkah mencari dan mempertahankan sumber-sumber yang dianggap penting.[5]
Kaitannya dengan politik ada juga
beberapa pandangan menyangkut partai politik menurut “Carl. J. Friedrich partai
politik adalah sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil dengan tujuan
merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap pemerintahan bagi pimpinan
partainya dan, berdasarkan penguasaan ini memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang
bersifat idiil maupun meteriil. Sedangkan R.H. Soltau Partai politik adalah
sekelompok warga Negara yang sedikit banyak terorganisir, yang bertindak
sebagai suatu kesatuan politik yang – dengan memanfaatkan kekuasaannya untuk
memilih–bertujuan untuk menguasai pemerintah dan melaksanakan kebijakan umum
mereka.” [6]
Kaitannya
dengan hal di atas penulis akan membahas lebih khusus tentang keterlibatan
pendeta dalam partai politik yang mencalonkan diri mereka disetiap pemilihan
calon legislatif yang ada di daerahnya masing-masing. Secara umum kita tahu
bersama sejak daerah diotonimisasi maka setiap orang yang berada di daerah itu
berkesempatan untuk mencari pekerjaan sendiri di daerahnya termasuk di dunia
politik praktis. Oleh karena terbuka kesempatan itu, sebagian pendeta juga
tidak menyia-nyiakannya sehingga mereka pun terjun juga dalam partai politik.
Dengan
bertolak dari pemikiran di atas tentang partai politik jika dikaitkan dengan
tugas dan pelayan pendeta yang datang konon untuk melayani sekarang berpindah
untuk memperebutkan kekuasaan apakah hal tersebut layak dilakukan oleh seorang
atau sekelompok pendeta?. Dalam kaitannya dengan gereja bukannya berarti bahwa
dalam kehidupan bergereja tidak ada perebutan kekuasaan, tetapi bagi penulis
perebutan kekuasaan yang terjadi ditubuh gereja ada bedanya dengan perebutan
kekuasaan yang terjadi pada politik praktis (partai politik/caleg).
Yang
terjadi dalam tubuh gereja menurut penulis ada dua hal yaitu pertama perebutan
kekuasaan yang terjadi di gereja hanya bertujuan melayani. Kedua, para pendeta
dalam perebutan kekuasaan di gereja itu adalah porsinya jadi wajar, dan jika
perebutan kekuasaan yang terjadi di gereja dengan tujuan hanya untuk berkuasa
dan untuk diri sendiri sebaiknya jangan dilakukan karena melanggar aturan
gereja dan menipu diri sendiri.
Bagi
penulis hal itu entah diketehui atau tidak telah dibuat oleh para caleg yang
berlatar belakang pendeta yang telah menjadikan jemaat sebagai tempat
persinggahan sementara atau “terminal yang menunggu mobil kesempatan untuk
pergi ke rumah legislatif.”[7]
Politik
sangat penting bagi gereja. Maka politik perlu dikaji secara teologis-etis.
Bahkan politik dan teologi-etika tidak bisa dipisakan. Kerena politik merupakan
lapangan hidup manusia. Karena itu kehadiran dan keterlibatan gereja dalam
politik tidak sekedar ikut serta menjadi penggembira melainkan sebagai pemeran
yang berkewajiban memberikan penilaian normatif. Itu sebabnya etika penting
bagi politik, yaitu untuk memberikan penilaian apakah penyelanggaraan Negara
dilaksanakan sesuai norma-norma kebaikan dan kebenaran.
Kehadiran
dan keterlibatan gereja dalam politik, bagaimanapun juga harus diwarnai oleh
keyakinan kristiani tentang apa kehendak Allah bagi kehidupan berbangsa dan
bernegara. Kalau politik dipahami sebagai pengelolaan Negara secara benar, maka
norma kebenaran dalam pengelolaan Negara adalah kehendak Allah. Bagi iman
kristiani, kehendak Allah yang nyata dalam Yesus Kristus mestinya menjadi norma
dalam pengelolaan Negara yang baik dan benar. Karena itu keterlibatan kita
mestilah dilihat dalam terang misi Allah. [8]
Menurut
Pdt. M. Pahala Hutabarat, Sth[9]
bahwa menyinggung banyaknya Caleg, baginya kita masing-masing mempunyai talenta
biarlah talenta yang ada yang dikususkan itu, misalnya buatnya gunakanlah itu
sesuai dengan kebutuhannya.
Contohnya
ialah bahwa dirinya telah diangkat menjadi seorang pendeta, pendeta itukan sebenarnya
adalah anugerah, Sth, Bahkan Doktor teologi itu banyak, tetapi pendeta adalah
pemberian khusus antara seseorang dengan Tuhan, karena Tuhan yang memberikan
tugas kepadanya, jadi jangan main-main dengan dunia atau kerajaan sorga, jadi
jikalau terlibat dalam partai politik berarti seharusnya pendeta itu harus
menanggalkan baju-bajunya sebagai pendeta, jadi lebih baik janganlah pendeta
menjadi caleg. Dengan begitu maka dengan sendirinya jemaat tidak akan mendengar
khotbah para pendeta. Jadi orentasi juga nanti tidak jelas karena bisa
terpengaruh oleh situasi di legislatif.
Menurut Jerry Sumampouw,[10]
bahwa dalam hal menyangkut keterlibatan pendeta dalam partai politik ini
merupakan sebuah kekeliruan besar yang akan membuat sebetulnya akan menimbulkan
problem-problem dilingkungan internal dan ini sebuah contoh yang tidak baik
buat jemaat kalau pendeta apalagi kalau dia memegang jabatan atau posisi
penting di gereja. Memang tidak ada larangan, tetapi sebaiknya dia beraktifitas
itu berdasarkan kode etik moral yang harus dijaga agar bisa menjadi contoh.
Payungnya adalah Alkitab, bukan regulasi-regulasi Negara. Mestinya ada
keberanian dari para pendeta yang menjadi caleg untuk keluar dari gereja. Ini
resikonya, dia tidak bisa bermain didua tempat karena dampaknya bagi jemaat itu
besar sekali. Oleh jemaat dia tidak akan
dilihat lagi sebagai pendeta, dia akan dilihat sebagai politisi, dan politisi
dikenal dimana-mana itu banyak
bohongnya, tidak beres dan lain-lain.
Bahaya
itu kemudian jemaat mempersepsikan kalau seorang pendeta itu sebagai politisi,
dan ini sebetulnya dampak yang mungkin tidak kelihatan tetapi perlahan-lahan
dia akan membentuk kesadaran masyarakat sehingga ini akan mengganggu otoritas
kependetaan dalam struktur gereja.
Kebanyakan
orientasinya menjadi caleg ingin menjadi garam dan terang, ya jika demikian
itukan bukan harus seorang pendeta. Orang yang bukan pendeta bisa menjadi garam
dan terang dimana ia pergi dan berada. Pendeta itu dikhususkan untuk
melayani jemaat, bukan melayani
masyarakat secara umum. Dia harus konsisten dengan tugas panggilannya. Kalau
ada yang mengatakan pendeta bisa menjadi garam
dan terang di DPRD baginya itu
merupakan tafsiran yang keliru terhadap kitab suci, itu sudah soal lain. Ada pembagian peran, ada
orang Kristen di DPRD kemudian ada orang yang harus melayani di jemaat dan ini
tidak bisa dicampur aduk karena fungsi dan posisinya berbeda. Bertolak dari masalah
di atas maka penulis merasa tertarik untuk menuliskan hal tersebut sehingga
dalam penulisan karya ini diberi Judul : “DIMENSI POLITIK PRAKTIS PENDETA” Sub
Judul : “Suatu kajian teologis
terhadap pendeta yang terjun dalam
politik praktis (Caleg) yang di ukur dari kemampuan pengetahuan pendeta dan
dari sisi etika, khususnya di wilayah Jailolo dan Sahu. Kab. Hal-Bar.
B.
Batasan Masalah
Dalam
penulisan ini batasan masalahnya yaitu keterlibatan pendeta (pendeta jemaat
yang berlatar belakang pendidikan S1 teologi) dalam politik praktis yang ditinjau
dari sisi pengetahuan atau latar balakang pendidikan dan latar belakang etika
seorang pendeta. Apakah hal tersebut mengiakan pendeta untuk bisa atau tidak
untuk masuk mencalonkan diri ke partai politik yang ada di daerah Jailolo dan Sahu.
C.
Rumusan Masalah dan tujuan penulisan.
1.
Rumusan masalah.
Masalah
yang akan dirumuskan dalam bagian ini atau rumusan masalah dalam tulisan ini akan
dikembangkan melalui beberapa pertanyaan yaitu :
- Apa dan bagai mana partai politik itu ?
- Siapa sebenarnya pendeta itu dan apa tugasnya ?
- Mengapa pendeta berpolitik praktis (partai politik) ?
- Apa yang dibuat pendeta setelah masuk dalam anggota legislatif?
- Gaya politik macam manakah yang harus dilakukan oleh pendeta?
2.
Tujuan Penulisan.
Dari rumusan masalah diatas maka tujuan yang
diharapkan untuk dicapai yaitu : menemukan suatu solusi untuk para pendeta yang
ingin mencalonkan diri dalam partai politik (Caleg) sehingga dapat memberikan
sumbangan baik secara khusus untuk pendeta maupun kehidupan yang nyata untuk
publik mancari sebab-akibat bagi jemaat jika pendetanya masuk dalam partai politik
dan Caleg.
D.
Metode Penelitian.
Metode
penelitian yang penulis pakai yaitu: metode deskriptif yakni suatu teknik
pengumpulan data yang berdasarkan fakta-fakta yang terjadi di lapangan. Dengan
metode ini maka cara atau taktik untuk pengumpulan data yang dipakai ialah :
1.
Penelitian pustaka yaitu meneliti sumber-sumber atau pemikiran yang terkait.
2.
Penelitian lapangan yaitu meneliti fakta yang terjadi di lapangan, dalam hal
ini maka saya menggunakan cara pengamatan atau observasi dan wawancara terhadap
orang-orang yang terkait dengan tulisan ini.
Dengan
metode deskriptif ditambah dengan teknik pengumpulan data, maka penulis akan
berupaya semaksimal mungkin untuk mandapatkan data-data berupa hasil wawancara
maupun kajian pustaka yang berkaitan dengan hal yang penulis angkat.
F.
Anggapan Dasar dan Hipotesis
Bertolak
dari latar belakang masalah di atas maka yang dapat ditarik untuk menjadi
sebuah Anggapan Dasar dan Hipotesis yaitu “tugas dan tanggung jawab pendeta
adalah untuk melayani warga jemaat bukannya memilih untuk ikut terlibat dalam
memperebutkan jabatan dan peluang untuk masuk menjadi anggota legislatif. Dan
jika pendeta berusaha keras untuk tetap masuk dalam rana politik praktis
(Caleg), maka yang menjadi korban dalam hal ini yaitu jemaat.
E.
Sistematika Penulisan.
Penulisan
ini akan disusun dengan sistematika sebagai berikut :
Bab
I : Pendahuluan.
Pada bagian ini menjelaskan
tentang latar belakang masalah dan alasan penulisan judul, yaitu masalah yang
diangkat berkaitan dengan keterlibatan pendeta dalam partai politik yang di
lihat dari sisi pengetahuan pendeta dan Etika Kristen.
Bab
II : Konteks persoalan dan gambaran umum
tempat penelitian menyangkut keterlibatan pendeta dalam politik praktis (partai
politik) yaitu mengemukakan gambaran umum tempat penelitian (Jailolo-Sahu) dan
hasil-hasil penelitian yang secara de vakto menyangkut pandangan - pandangan pendeta dan warga
jemaat terhadap para pendeta yang terlibat dalam caleg.
Bab
III : Landasan Teoritis. Yaitu
mengangkat berbagai pandangan para ahli tentang apa itu pendeta, partai politik
dan atika Kristen.
Bab
IV : Analisis Konteks Persoalan, Teoritis dan
Refleksi Teologis. Yaitu mengalisis hasil dari konteks persoalan dan landasan
teoritis dan membandingkan dengan pendanga para ahli tentang gaya politik Yesus.
Bab
V : Penutup. Kesimpulan dan Saran.
BAB
II
KASUS
PRO-KONTRA PENDETA YANG TERLIBAT DALAM POLITIK PRAKTIS (CALEG)
A.
Gambaran Umum Tempat penelitian.
Daerah
jailolo berada di Provinsi Maluku Utara
yang tepatnya pulau Halmahera bagian Barat, sehingga berada pada kabupaten
Halmahera Barat, karena Jailolo posisinya sangat strategis di daerah Halmahera
barat sehingga dijadikan ibu kota kabupaten, hal ini dapat diukur dari jarak
yang sangat dekat dengan pulau Ternate yang merupakan ibu kota Provinsi Maluku
Utara dan juga daerah jailolo merupakan batas antara kabupaten Halmahera Barat
dan kabupaten Halmahera Utara.
Jailolo
terdiri terdiri dari tiga kecamatan yaitu kecamatan Jailolo, jailolo selatan,
dan jailolo selatan timur. Kecamatan yang berbatasan dengan kabupaten Halmahera
Utara ialah kecamatan Jailolo Selatan Timur. Sedangkan, Sahu adalah sebuah
dearah yang dahulunya hanya punya satu kecamatan dengan ibu kota kecamatannya letaknya di desa Susupu.
Tetapi karena
mengalami pemekaran tiap wilayah maka daerah Sahu ini dibagi dua kecamatan
yaitu kecamatan Sahu dan kecamatan Sahu Timur, kecamatan Sahu masih tetap
beribukota di desa Susupu sedangkan kecamtan Sahu Timur beribukota di desa
Akelamo. Daerah Sahu ini memiliki 7 desa yang mayoritas Islam, 2 Desa Campuran
dan 18 desa yang beragama Kristen.[11]
B. Latar Belakang Pendeta Masuk Partai Politik.
Dalam
perjalanan kehidupan Pendeta GMIH, selalu ada, bukan untuk mencari dengan cara
bagaimanakah agar para pendeta terus menghayati makna pemanggilannya itu,
malahan mencari dengan cara bagaimanakah agar pendeta dibenarkan untuk masuk
dan ikut dalam partai politik. hal ini terlihat jelas dalam kutipan dari daftar
keputusan Majelis sinode, menyangkut SK no : 370/kpts/XXV/a-2/2003. tentang
peraturan pelayan khusus dalam bidang politik khususnya Pada bagian menimbang
poin 2 dan 3 berbunyi sebagai barikut :
“Bahwa
berdasarkan pemahaman diri dan penggilan sebagaimana disebutkan di atas maka,
GMIH perlu menerjuni aspek kehidupan politik sebagai bagian dari kehidupan
duniawi yang memiliki ciri dan dinamika tersendiri melalui kehadiran para
pelayan khusus dalam rangka membawa suara kenabian, bersama dengan warga gereja
lainnya yang berkiprah dibidang politik.
Bahwa
para pelayan khusus gereja selaku warga Negara kesatuan Republik Indonesia yang
memiliki hak, kewajiban dan panggilan yang sama dengan warga Indonesia lainnya,
perlu diberi kesempatan untuk melaksanakan hak, kewajiban dan panggilan Negara
menurut asas demokrasi dalam dinamika politik praktis.”[12]
Dalam
kesinambungan surat
ini dalam bagian memutuskan menetapkan poin 2 yaitu sebagai berikut :
“Setiap
pelayan khusus GMIH yang ikut serta dalam bidang politik melalui organisasi/partai
politik yang diakui sah dalam Negara kesatuan Republik Indonesia, diwajibkan
untuk mengikuti atau mematuhi peraturan tersebut dengan penuh kesadaran akan
jati dirinya sebagai bagian dari orang percaya yang diutus kedalam dunia.”[13]
Menurut Pdt.
Adelberth Gereja, Pdt. Minggus Eni, Pdt. Ahmad Saya, Pdt. A. Hodja , Pdt.
Herland Hady, Pdt. Ausalmon Raffane.[14]
“Para pendeta yang masuk dalam calon legislatif”[15]
mempunyai pandangan bahwa dalam hal melayani itu bukan hanya ketika pendeta
berada di jemaat tetapi nama pendeta itu ketika dipakai juga bisa dalam hal
apapun karena itu telah menjadi jabatan identitas dirinya, dengan demikian maka
tugas dan tanggungjawab seorang pendeta itu untuk umatnya dan umat itu bukan
hanya ketika di jemaat tetapi di mana saja pendeta itu berada termasuk partai
politik. Dan hanya pendeta yang tahu betul tentang kebutuhan umatnya, tentang
apa yang mereka perlu untuk hidup, selama ini terjadi diskriminasi, misalnya
dalam hal test PNS banyak orang Kristen khususnya yang bisa dikatakan boleh
tetapi tidak mendapatkannya. Oleh karena itu, pendeta harus berusaha lewat
partai politik (caleg) jika diijinkan Tuhan untuk duduk pada DPRD maka
upaya-upaya itu yang akan dilakukan oleh seorang pendeta. Menyangkut tugas dan
tanggung jawab DPRD itu merupakan hal yang gampang karena siapapun yang menjadi
anggota wakil rakyat itu perlu belajar kembali, contoh saja dalam hal membuat
perda, hal itu harus belajar bagaimana mengerjakannya. Dan dengan keyakinan
bahwa ketika pendeta masuk dalam daftar anggota wakil rakyat itu tidak akan
terjadi penyelewengan lagi, yang terpenting adalah iman pendeta jangan
tergoncang, jadi walaupun ia pendeta tetapi tergantung pada orangnya juga.
Sedangkan menurut Pdt. Imanuel Sale dan Pdt. Yuliche Dolvina Baura[16]
yang diambil kesimpulan pada saat telah mencalonkan diri tetapi masih di
perbolehkan memimpin ibadah Minggu. yaitu: pertama,
alasan praktis bahwa sebenarnya seorang pendeta dalam hal tugas dan
tanggung jawabnya tidak hanya melayani di jemaat tetapi umat Allah, dan
berbicara menyangkut umat Allah bukan hanya jemaat tetapi semua dan karena umat
Allah belum bisa dikatakan sejahtera maka pendeta mau tidak mau harus turut
menyuarakan suara tersebut. Kedua alasan
teologis, bahwa kematian Yesus di salib itu kerena Ia kalah dalam politik kekuasaan
atau kalah dalam parlemen. Oleh karena itu, untuk bersuara kita tidak bisa
hanya dari luar tetapi harus masuk dan terlibat agar suara kita dapat didengar
dan dihargai, dan ditambah lagi agar supaya ada keterwakilan dari agama Kristen.
Adapun berbagai pandangan dikalangan
masyarakat khususnya jemaat tentang seorang pendeta terjun dalam dunia politik,
Latar belakang itu timbul dari berbagai kalangan masyarakat. misalnya ada yang
berpandangan bahwa jika yang namanya pendeta tempat tugasnya hanyalah jemaat.
Oleh karena itu, Menurut Pdt. DR. J. Mojau.[17] Seorang
pendeta halal hukumnya terlibat dalam “politik praktis”[18].
Sebab, bagaimanapun juga, seorang pendeta selalu terlibat dalam kehidupan politik secara praktis.
Kegiatan dan tugas seorang pendeta ialah untuk mendampingi mereka yang menjadi
korban kekuasaan politik dan ekonomi serta budaya adalah suatu tindakan politik
praktis.
C.
Pandangan Jemaat dan pendeta terhadap Pendeta yang terlibat dalam Partai
Politik.
Ada berbagai pandangan
jemaat menyangkut para pendeta yang terjun dalam dunia politik praktis/partai
politik. Ada jemaat yang setuju dangan keterlibatan
Pendeta dalam partai politik, ada juga yang menolak.
1. Setuju dengan pendeta yang terlibat dipartai
politik.
Menurut
Pdt. Dortea Salawangi, Pdt. Simson Pulo, Pdt. Anita Leaua, Pdt. Kr. Sowo.[19]
Bagi mereka pendeta dan partai politik itu sangat bertolak belakang dan juga
sangat berbeda namun bagi mereka ada dua
alasan yaitu: pertama, bahwa para pendeta tidak akan bisa bersuara
kepada pemerintah jika tidak masuk dalam system pemerintahan. Kedua, bagi
mereka bahwa yang patut dicontohkan adalah Abraham, Ester, dan Daniel, yang
mana mereka ini adalah pelayan Tuhan yang bertugas untuk Tuhan tetapi mereka
juga masuk dalam parlemen untuk menyuarakan suara rakyat dan yang paling sangat
ditekankan bahwa Abraham dengan menipu Firaun bahwa Sarah Bukan Istrinya.
Jadi
bagi mereka pendeta juga bisa menipu untuk kesejahteraan rakyat, namun sangat
disesali olehnya bahwa terkadang pendeta ketika masuk tidak lagi menyadari
bahwa dirinya adalah seorang pendeta dan pada akhirnya mengikuti arus politik
kotor. Dan juga dalam hal pelayanan tidak tertutup tetapi berlaku untuk siapa
saja termasuk dunia politik bukan hanya untuk
jemaat.
Menurut Ibu
Lili Silinaung [20].
semua warga Negara Indonesia
berhak untuk mengikuti apa saja yang telah dibuat oleh Negara sekalipun ia
pendeta, dan dari pada itu tidak ada wakil-wakil dari Kristen untuk menyuarakan
nama orang Kristen oleh karena itu mau tidak mau pendeta harus ikut dalam
partai politik dengan tujuan membawa suara Kekristenan. Dengan penuh keyakinan
dan dengan pengalaman hidup bersama dengan pendeta, bahwa ketika ia lolos ke
DPRD pendeta dapat merubah, dapat membersihkan, dan dapat membantu warga jemaat
dalam mengurusi masalah dan keperluan jemaat.
2.
Menolak pendeta teribat di partai politik.
Menurut Pdt.
Esra lube-pinotoan[21],
tugas dan tanggung jawab para pendeta hanya untuk melayani jemaat yang ada
dengan tujuan membawa jemaat kepada iman yang utuh di dalam Yesus kristus dan
sekaligus membantuh warga jemaat yang masih hidup di bawah garis kemiskinan
untuk keluar dari kemiskinan itu.
Pendeta
diharapkan berusaha untuk bisa mengikuti ajaran Yesus Kristus yang adalah Tuhan
dan Juruselamat Dunia terutama para pendeta yang terjun dalam dunia politik
atau Caleg harus betul-betul menghayati peristiwa Yesus ketika pencobaan di padang Gurun, yang mana
itu merupakan ajaran bahwa jangan kita terpaku dalam nafsu dan harta dunia. Dan
juga ditawarkan untuk menanyakan kepada pendeta yang terjun dalam dunia politik
yaitu dengan pertanyaan bahwa jika gaji dari Anggota legislatif atau wakil
rakyat itu hanya dua juta rupiah (Rp 2000.000) dan tanpa tunjangan apakah para
pendeta akan masuk dalam daftar caleg karena baginya bahwa ujung-ujung dari
tergairahnya para pendeta hanya uang bukan pelayanan dan pekerjaannya.
Pdt.
Grace Kucame, Pdt. Letti Hiorumu, Pdt. Aknes Kumihi, Pdt. Oktovianus Pattimukai,
Pdt. Hofni Parmino, Pdt. Julius Rajabaikole, Pdt. Yarden Vaitje, Pdt. Y.Sapa-Goliat.[22] Bagi
mereka Politik praktis bukanlah jemaat dan bukanlah mimbar untuk membangun
jemaat. Oleh karena itu, seorang pendeta harus benar-benar menghayati makna
panggilannya selaku seorang pendeta dan benar-benar siap agar jangan ketika
dalam perjalanan untuk menjalankan tugas sebagai seorang pendeta tidak dipengaruhi
oleh apapun termasuk politik praktis (caleg).
Berdasarkan
pengalaman pendeta yang telah duduk pada DPRD mereka hanya mementingkan diri
sendiri bukan untuk masyarakat yang memilih mereka. Maka dari itu, hal yang
perlu untuk dievaluasi dengan tujuan supaya pendeta tidak lagi masuk dalam
partai politik (caleg) yaitu: pertama, Sinode sekalu badan hukum Gereja atau
pengatur harus tegas dalam hal peraturan, jangan karena kepentingan lalu
mengabaikan aturan yang sudah ada. Kedua, pendeta harus benar-benar menghayati
makna pilihan hidupnya dan menghayati makna penggilannya sebagai seorang
pendeta dan bertanggung jawab dalam tugasnya. Ketiga, jemaat selaku sumber
hidup pendeta harus menyadari akan hal memberi untuk keperluan jemaat terutama
pendetanya.
Menurut Sdr Hermanus Paramata Spd.[23] Terjunnya
pendeta dalam dunia politik disebabkan karena ketidakpuasan pendeta dalam hal
menerima gaji dan berhayalan tinggilah yang menerima partai politik dengan
tujuan menunjang kehidupan keluarga mereka sendiri, buktinya mereka menjanjikan
untuk membuat desa kami maju ternyata tinggal janji, dengan begitu maka pendeta
yang dulunya membawa Firman Allah berubah menjadi pembawa dusta.
Ada berbagai alasan dan komentar warga
jemaat terhadap pendeta yang terjun dalam dunia politik praktis sebagai caleg
antara lain ada yang berpendapat bahwa pendeta sangat berdosa bila masuk dalam
dunia politik karena dengan alasan meninggalkan jemaat yang mereka layani
selama mereka menjadi pendeta jemaat dan dosa itu akan dilimpahkan kepada jemaat
bila jemaat yang ada juga turut memilih ataupun menjadi tim sukses dari caleg
yang berlatar belakang pendeta itu.
Menurut
saudara Ronald Mara[24], Pendeta
yang masuk dalam calon legislatif itu
diibaratkan dengan orang yang bukan tukang kayu dan disuruh membuat rumah,
secara otomatis rumah itu tidak akan jadi, begitu juga dengan pendeta tidak
akan bisa apa-apa ketika menjadi anggota wakil rakyat dan juga kita bisa
melihat sendiri bahwa para pendeta yang masuk dalam daftar partai poltik adalah
pendeta yang dalam hidupnya terdapat ketidak jelasan hidup.
Menurut
bapak Aprilo Mani[25], Pendeta
telah terbukti gagal namun para pendeta berusaha sebaik mungkin untuk mengambil
kembali kepercayaan rakyat tetapi rakyat sudah tidak percaya, karena dari bukti
yang sudah ada ternyata pendetapun yang telah ada di DPRD Hal-Bar sekarang pun
tidak bisa berbuat apa-apa, dan ditambah lagi dengan kata bahwa tugas pendeta
itu hanya untuk melayani di jemaat dan di mimbar dan tidak ada yang namanya
pendeta DPRD hal ini baginya terkadang keliru dan salah diartikan oleh pendeta.
Sedangkan
menurut Saudara Herry Lulungan[26], Bahwa
sebenarnya bukan cuma pendeta bahkan semua orang yang masuk dalam partai
politik dan mencalonkan diri sebagai caleg hanyalah untuk mencari pekerjaan,
menyekolahkan anak, dan membuat rumah yang kecil menjadi yang sangat besar.
Setelah
ditelitih lebih lanjut ternyata pendeta jemaat yang tidak ikut dalam partai
politik namun setuju dengan pendeta harus masuk dalam partai politik dan
mencalonkan diri sebagai anggota legislatif ternyata mempunyai hubungan khusus
dengan pendeta-pendeta yang masuk dalam partai politik, yaitu Pdt Anita Leaua
adalah istri dari Pdt. Ahmad Saya (caleg dari PDS), Pdt. Dortea Salawangi adalah
saudaranya Pdt. Ausalmon Raffane (Caleg dari PDIP), Pdt. Simson Pulo adalah
Istri dari Pdt. Ester Flori (Caleg dari PDS) sedangkan Pdt. Kr. Sowo sebenarnya
masuk dalam daftar calon anggota legislatif tetapi sebagian besar jemaatnya
tidak setuju. Dengan demikian keduanya itu mempunyai kepentingan pribadi keluarganya.
3.
Pemikiran Pendeta Akedemisi.
- Pdt. A. Puasa, M.Th[27]
Bahwa
pemilihan umum 2009 sudah ada di depan mata kita, di mana 34 partai politik
siap bertarung; dan untuk memenangkan kompetensi tersebut segalah cara akan
ditempuh. Salah satu yang dimanfaatkan “habis-habisan” adalah agama. Hal ini sesudah
jelas terlihat dengan ketertarikan yang cukup serius dari para pemimpin agama
untuk memperebutkan jatah di “kursi panas” sebagai dewan perwakilan rakyat yang
terhormat. Dalam situasi seperti itu, apa yang harus dilakukan umat beragama ?
apakah para pemimpin agama ikut-ikut untuk dimanfaatkan demi kepentingan partai
politik? kondisi di lapangan menunjukan, bahwa gejalah seperti itu semakin
menguat. Rachard Daulay mengingatkan bahwa tugas agama-agama adalah melakukan
politik agama, bukan politisasi agama. Politik agama adalah politik kenabian
(prophetic politics) bukan politik partisan (partisan politics). Politik agama
adalah politik moral yang mengeluarkan suara kenabian termasuk melakukan kritik
kepada pemerintah dan pejabat publik yang berkuasa, yang tidak menjalankan
tugasnya dengan bertanggung jawab.
Ketika pemerintah menelantarkan
rakyat, tidak membela nasib orang miskin, yatim piatu dan janda/duda, maka
agama-agama dipanggil untuk memunculkan suara kenabian dan mengkritik
pemerintah yang korup itu. Politik kenabian atau gerakan moral agama adalah
perjuangan untuk menegakan keadilan dalam masyarakat.
Gerakan kebangkitan spiritual harus
selalu bersamaan dengan gerakan menegakan keadilan sosial. Sedangkan gerakan
politisasi agama adalah politik partisan, yang dilakukan dengan mengeksploitasi
agama, atau menjadikan agama sebagai kendaraan politik untuk merebut kekuasaan politik. Sejarah
mencatat bahwa apabila agama mengambil alih kekuasaan Negara maka yang terjadi bukan proses demokratisasi
dan penghargaan hak-hak asasi, tetapi justru pemerintah yang tirani yang tidak
menghargai prinsip-prinsip toleransi. Sejarah mencatat bahwa pemerintah
teokrasi demikian tidak bertahan lama. Hal ini dibenarkan oleh Nur Sholihin bila agama sudah diajak bergumul dan
berselingkuh dengan politik praktis maka kecenderungan yang muncul justru politisasi agama. Kalau
ini dibiarkan akan membahayakan keberlangsungan hidup berbangsa dan bernegara,
terutama di Negara yang plural seperti Indonesia.
Gerakan
politisasi agama ini sedang laku keras. Namun punya dampak yang sangat
membahayakan bagi persekutuan bangsa. Sebab politisasi agama sangat berpotensi
manciptakan polarisasi dan perpecahan bangsa. Menghadapi kondisi ini, sebaiknya
umat beragama terutama para pemimpinnya harus tetap mengedepankan nalar kritis,
agar agama tidak mudah dimanipulasi oleh para elite politik yang haus
kekuasaan. Bila ini yang terjadi, maka akibatnya sudah dapat dipastikan bahwa
kehadiran agama hanyalah sebagai alat untuk melegitimasi dan menjustifikasi
kepentingan elite politik. Dan sebaliknya, para pemimpin agama tidak
memanipulasi politik demi kepentingan agama. Sebab menurut Zuly Qodir, tunggang
menunggang dua wilayah sakral (agama dan politik) ini sangat kuat terasa di Indonesia akhir-akhir ini.
Kita
hanya bisa berharap sehingga cita-cita esensial dari agama dan politik yakni
membebaskan umat manusia dari setiap bentuk penindasan, ketidakadilan,
mengusahakan kesejahteran dan kemakmuran, menghargai perbedaan, mendidik
manusia untuk saling jujur dan saling menghormati, dan malu melakukan korupsi,
benar-benar dapat diwujudkan.[28]
- Pdt. DR. J. Mojau.[29]
Bahwa dalam
hubungan perebutan kekuasaan yang dilakukan oleh sebagian pendeta dalam politik
dan uang. Lalu apa yang terjadi dengan peraturan tentang pelayan khusus ialah
sedang terjadi perebutan kekuasaan politik dan uang antara para pendeta,
majelis dan jemaat. Para pendeta merasa bahwa
mereka juga punya hak untuk menguasai kekuasaan politik dan uang. Itulah
sebabnya mereka tidak ikhlas jika hanya para penatua dan diaken dan warga
jemaat yang hanya bisa punya akses untuk menguasai kekuasaan politik dan uang
itu.
Ketidakikhlasan
para pendeta GMIH itu nyata dari usaha mereka untuk menambahkan satu syarat
tambahan bagi para penatua atau diaken saat seseorang akan menjadi pelayan
khusus atau pejabat dalam jemaat atau menjadi anggota consistorium, yaitu
syarat yang sama dengan syarat bagi seorang pendeta, dan mengusulkan agar
ditambahkan satu ayat pada Bab III, pasal 17, tentang syarat-syarat penatua dan
diaken, sama bunyinya dengan Bab II, pasal 4, ayat 11 yaitu : tidak menjadi
atau pengurus partai politik dan atau partisan.
Pertanyaannya
adalah bahwa masuk akalkah syarat itu bagi seorang anggota consistorium dalam
kedudukan sebagai pejabat tidak penuh waktu ?. Saya (pdt. J. Mojau) berpendapat
bahwa syarat itu bagi para penatua dan diaken sungguh tidak dapat diterima
karena tiga alasan : pertama, tidak masuk akal karena para penatua dan diaken
tidak memperoleh jaminan hidup dari tugas-tugas pelayanan yang dijalani secara
sukarela itu. Kedua, alasan teologis, jabatan penatua dan diaken, bukanlah
jabatan tahbisan khusus yang mengikat diri seseorang untuk menjadi tugas
pelayanan dalam jemaat itu sebagai pilihan pekerjaan atau panggilan hidup satu-satunya.
Ketiga, alasan praktis, karena pengabdian bersifat sukarela hampir mustahil
akan ada warga sidi jemaat bersedia menjadi pengurus atau pejabat dalam
consistorium jemaat-jemaat dalam sinode GMIH.
Seorang
pendeta seharusnya ketiga syarat di atas
harus dapat diterima dengan tiga alasan
juga yaitu:
“pertama,
masuk akal, karena seorang pendeta sebagai pegawai organik penuh waktu mandapat
gaji atau jaminan hidup dari hasil ucapan syukur warga jemaat. Sebenarnya dalam
hal ini, perlu juga ditambahkan tentang pegawai organik nonpendeta, bahwa bagi
mereka juga berlaku syarat ini yang harus diatur dalam peraturan kepegawaian.
Kedua, alasan teologis, jabatan pendeta adalah jabatan tahbisan yang menjadikan
orang mengikat diri untuk memilih pelayanan dalam jemaat sebagai pekerjaan atau
panggilan hidup satu-satunya dihadapan Allah dalam Yesus Kristus. Ketiga,
keterlibatan seorang pendeta dalam partai politik akan melemahkan wibawa
kegembalaannya. Warga jemaat terutama yang tidak separtai dengan pendeta akan
sulit menerimanya usaha-usaha pastoralnya, apalagi dalam khasus sengketa
perebutan kekuasan politik dan uang.”[30]
Pertanyaan kita sekarang ialah mengapa sikap
yang memalukan harus diambil oleh pendeta GMIH sekarang ini, yang rata-rata
memiliki teologis formal, yang cukup tinggi? Jawabannya : para pendeta yang menolak
Bab II, pasal 4 ayat 11 itu sedang mengalami disorientasi alias
kehilangan arah hidup atau ketidak jelasan pilihan hidup dan tidak konsisten
dan juga tidak ada rasa melayani tetapi yang hanya diingini ialah harta atau
uang, di tengah-tengah perubahan zaman dan kebudayaan dalam masyarakat modern
yang semakin konsumeristis hedonistis. juga berkembangnya sikap ikut-ikutan
alias tiru-meniru. Kata mereka duhulu ada pendeta GMIH yang terlibat partai politik tanpa
mereka mendalami latar belakang sosiologis dengan analisis kritis terhadap
terhadap konteks pada saat itu.
Oleh
karena itu ada tiga alasan untuk dijadikan pertimbangan para pendeta masuk
dalam partai politik yaitu :
- Tidak masuk akal dan tidak etis. Seorang pendeta sebagai pegawai organik penuh waktu yang mendapat gaji/jaminan hidup dari hasil ucapan syukur jemaat harus berebut dan mencari tempat kerja lain.
- jabatan pendeta adalah jabatan tahbisan yang menjadikan seseorang mengikat diri untuk memilih pelayanan dalam jemaat sebagai pekerjaan/panggilan hidup satu-satunya dihadapan Allah.
- keterlibatan pendeta dalam partai politik akan melemahkan wibawa kegembalaannya. Terutama bagi warga jemaat yang tidak separtai dengan pendeta.
Pendeta
atau hamba Tuhan yang dicalonkan atau mencalonkan diri sebagai anggota
legislatif dan mereka ini memanfaatkan jemaat sebagai basis masa partai. Jika
ingin menjadi anggota legislatif sebaiknya
meninggalkan jabatan pendeta dan berfokus pada urusan politik yang terpisah
dengan pelayanan rohani di Gereja. Secara esensi kehadiran Gereja di Dunia
sudah berpolitik dalam arti menjalankan amanat Yesus.
Pertanyaan
selanjutnya bagi kita adalah bagaimana mungkin seorang pendeta yang pendidikan
formalnya lebih tinggi dari para pendeta sebelumnya dapat mengalami proses
disorientasi/salah arah dan sikap ikut-ikutan? Dalam buku pengembangan
kepribadian dijelaskan bahwa:
Pertama, lemahnya kapasitas diri sang
pendeta yang bersangkutan (khususnya yang masuk caleg), karena orang yang lemah
kapasitas diri sangat senang ikut-ikutan model arus perubahan yang terjadi,
bukannya mengarahkan proses perubahan ke arah lebih baik. Idealnya, seorang
pendeta, yang telah memutuskan untuk menjadi wakil Allah dalam tugas menjadi
gembala bagi umat/jemaat seharusnya mampu menjadi agen perubahan sosial,
politik, budaya dan ekonomi.
Kedua, rendahnya mutu pembelajaran diri. Orang yang
boleh punya gelar formal seperti Doktor, Magister dan sarjana khususnya teologi.
Namun gelarnya tidak secara otomatis menjamin memiliki mutu pembelajaran yang
baik dan bermutu. Ketiga, tidak
memiliki kematangan emosional dan spiritual. Seseorang yang tidak memiliki
kematangan emosional akan mudah dipengaruhi. Juga seorang yang tidak matang
secara spiritual juga mudah digoda oleh kekuasan politik dan uang.[31]
- Pdt. Demianus Ice.[32]
Untuk
menjadi seorang DPRD atau Caleg haruslah mampu berangan-angan seperti jika saya
menjadi seorang DPRD kemampuan apa saja yang harus saya miliki untuk menunjang
pekerjaan?. Dari sudut pandang
psikologis, potensi apa saja yang perlu diasah menjadi kecerdasan dalam
melaksanakan tugas-tugas sebagai seorang anggota DPRD? Pertanyaan inilah yang
harus dimunculkan dalam diri setiap pribadi Caleg. Karena pertanyaan di atas
berkaitan dengan tugas dan fungsi anggota DPRD. Sebut saja misalnya membuat
PERDA (peraturan daerah). untuk mengerjakan tugas ini, kemampuan apa saja yang
harus diperlukan? oleh karena itu ada hal yang perlu kita pikirkan yang itu bahwa
kita memerlukan seorang anggota wakil rakyat yang memiliki kemampuan
(kematangan/kedewasan secara emosional) yang memungkinkannya untuk menyikapi
berbagai persoalan hidup, dengan pikiran yang dewasa, dan bertindak tepat,
serta berani mengambil keputusan dengan pertimbangan nilai-nilai etis, moral,
iman, sosial dan spiritual. Karena itu tepat seperti ciri kedewasaan yang dikemukakan
oleh Gordon Alport, bahwa orang yang dewasa memiliki expanding self, yakni : kemampuan mengembangkan diri, mengendalikan
diri, berwawasan luas (tidak picik), self
objectification ; mampu berefleksi dan melihat diri sendiri secara pribadi
dan objektif dan melakukan segalah sesuatu, serta memilki, self unificasion atau integration : memiliki integrasi dan filosofi
hidup. Oleh karena itu ada tawaran gambaran beberapa kemampuan yaitu :
- Mengingat atau mengelola berbagai aspirasi masyarakat yang sedang berkembang, baik yang muncul dalam fenomena sosial maupun yang sudah disampaikan secara resmi.
- Memahami dan menerapkan berbagai teks-teks normatif.
- Mengidentifikasi berbagai sumber daya yang belum dikelola secara baik, termasuk masalah-masalah yang muncul dalam kehidupan sehari-hari.
- Menganalisis berbagai kemungkinan atau alternative, sebagai bahan pertimbangan dalam rangka pengambilan keputusan.
- Mencari solusi terhadap berbagai macam masalah yang muncul.
- Mengefaluasi suatu kegiatan/usaha/pekerjaan dalam rangkah mencapai tujuan yang diharapkan.
Dan bagi
penulis ada berbagai hal dan cara yang telah dilakukan oleh pendeta dalam
menjelang berlangsungan pemilu, para pendeta yang termasuk dalam daftar caleg
terus melakukan kampanye dalam bentuk apapun yang ingin dilakukan dengan cara
mereka sendiri. hal ini dibuktikan lewat dikeluarkannya surat cuti dari sinode kepada pendeta-pendeta
yang masuk dalam daftar calon legislatif, tetapi ada pendeta yang masih tetap
mempertahankan dirinya sebagai ketua Jemaat dan tetap melayani ibadah di mimbar.
Dan menjadikan mimbar sebagai salah satu tempat untuk melakukan pencitraan
dirinya agar disukai oleh rakyat dan hal itu berhasil dilakukan oleh pendeta
tersebut yang walaupun apa yang ia beritakan hanya untuk memanipulasi para
pendengarnya.
Dengan demikian kita dapat melihat bahwa
ada berbagai cara dalam membuktikan apakah semua orang setuju dengan masuknya
pendeta dalam partai politik yaitu bisa dibuktikan lewat melakukan percakapan
langsung dengan masyarakat dan atau jemaat tentang apakah mereka setuju ataukah
tidak bisa dilihat dari hasil komentar mereka, lewat pandangan atau pemikiran
para pendeta yang lebih memilih melayani jemaat dan juga pandangan pendeta
sebagai akedemisi . Dengan itu kita akan melihat apakah tanggapan beberapa
ilmuan tentang pendeta dan partai politik.
BAB III
PENDETA
DAN PARTAI POLITIK
(KAJIAN
TEORITIS)
A.
Pendeta.
Pendeta adalah pemimpin jemaat atau umat yang studi
formalnya ditempuh melalui jalur pendidikan teologi. Pendeta berasal dari
bahasa sansekerta yaitu pandhita, sebuah
gelar bahkan status yang diberikan kepada orang-orang khusus pada zaman
kerajaan Jawa.
Pandhita bertugas kurang lebih sebagai
cendikiawan kerajaan yang nantinya memberi masukan, ide dan saran bagi jalannya
sebuah pemerintahan kerajaan.
Untuk
menjadi pandhita, idealnya dipenuhi dahulu syarat : pertama, mempunyai sifat
pengabdian, kedua, mempunyai kewibawaan (termasuk kharisma), ketiga, memiliki
spiritualitas (taat hukum, suci, dan pengetahuan), keempat, mempunyai pengetahuan dan berpengaruh
(teladan, penengah, penegak keadilan dan penjaga ketertiban) dan kelima, punya kebijaksanaan.
Berdasarkan
apa yang telah dijelaskan di atas, pandhita merupakan gelar bahkan status
terpandang dalam masyarakat saat itu, sebab dalam kehidupan bermasyarakat sosok
pandhita juga menjadi penuntun, terpandang dan sangat dihormati.
Istilah
ini masih dipegang teguh oleh agama Hindu dan diambil alihkan oleh agama
Kristen Protestan. Di Protestan istilah ini dikenal dengan nama atau sebutan
pendeta.
Pendeta
sendiri dalam GMIH adalah gelar dan jabatan yang diberikan kepada seseorang
setelah menempuh studi teologi dan lulus menjalani masa orientasi jemaat atau
menjadi Vikariatan. Maksimal dalam Studi teologi ditempuh selama lima tahun dengan muatan
ilmu teologi untuk terjun kejemaat.[33]
Pendeta
hanya diberikan kepada orang-orang tertentu saja karena pada dasarnya. Jabatan
pendeta diberikan langsung oleh Yesus Kristus, yang sebelumnya dimiliki oleh oknum
tersebut. Dengan begitu juga berarti bahwa jabatan pendeta adalah jabatan yang
diberikan langsung oleh Allah di dalam diri Yesus Kristus melalui atau dipentarai
oleh jemaat. [34]
Pendeta
adalah pemimpin jemaat yang selalu menjadi figur atau panutan dalam jemaat,
sehingga keluarga pendeta dalam hal ini istri atau suami anak-anak jika pendeta
sudah berkeluarga. Maka hal itu juga turut memepengaruhi bahkan harus mendukung
pendeta secara langsung dalam memimpin jemaat.
Ada beberapa pengertian
tentang pendeta yang coba diangkat dalam keputusan sidang sinode ke XXVI yaitu
:
a.
Pendeta
adalah anggota sidi jemaat yang di
panggil oleh Yesus Kristus melalui pendidikan teologi dan di teguhkan secara
khusus dalam jabatan penatua penuh waktu/pendeta untuk memikirkan dan
mengembangkan teologi serta mempunyai kemampuan berpikir secara teologis dalam
kehidupan kepemimpinan pelayanan gereja bersama-sama dengan pelayan khusus
lainnya.
b.
Pada
prinsipnya status kependetaan GMIH adalah yang berbasis jemaat.
c.
Pendeta
GMIH terdiri dari pendeta Jemaat, pendeta tugas khusus, pendeta konsulen dan
pendeta emeritus.
d.
Pendeta
sebagai pelayan khusus penuh waktu memperoleh jaminan hidup Pegawai Organik
GMIH yang ditetapkan oleh BPHS.”[35]
1.
Tugas dan kewenangan
pendeta:
Pendeta
adalah seorang hamba Tuhan yang bekerja kepada Tuhan di dalam jemaat dengan
melakukan tugas-tugasnya yaitu sebagai pendamping pastoral kepada jemaat, dan
juga sebagai pengkhotbah dengan tujuan untuk membangun imam warga jemaat.[36]
Sedangkan dalam tradisi atau aturan GMIH, seorang pendeta yang berada di jemaat
adalah sebagai penatua yang berfungsi sebagai ketua BPHMJ (Badan Pengurus
Harian Majelis Jemaat). dengan fungsinya sebagai ketua jemaat maka selain
manjalankan tugas pastoralnya ia harus mengurus bersama sama dengan majelis
untuk mengatur berbagai hal menyangkut dengan kebutuhan jemaat.
Tugas
dan kewenangan pendeta di dalam jemaat yaitu tidak bisa keluar dari, oleh, dan
untuk pembanguanan jemaat. Oleh karena itu tugas dan kewenangan pendeta antara
lain :
a.
Tugas
dan kewenangan pendeta sangat terkait dengan fungsinya sebagai gembala, guru, dan
pemimpin dalam rangka membangun
jemaat.
b.
Malayankan
sakramen-sakramen.
c.
Menyampaikan
berkat Tuhan dengan penumpangan tangan.
d.
Melayani
Ibadah.
- Menahbiskan/meneguhkan pendeta dengan penumpangan tangan.
f.
Meneguhkan
penatua dengan penumpangan tangan.
g.
Melaksanakan
pengembalaan untuk menangani masalah masalah khusus.
h.
Melaksanakan
pengembalaan sebagai upaya pendampingan dalam memberdayakan warga jemaat secara
ekonomi, budaya, dan politik.
i.
Melakukan
kunjungan pastoral terhadap warga jemaat.
j.
Melaksanakan
pendidikan terhadap warga jemaat dalam bentuk kegiatan pembelajaran pendewasaan
iman dan sikap sosial-kemasyarakatan.
k.
Malaksanakan
kegiatan-kegiatan lainnya untuk membantu, mendukung, memberikan inspirasi, dan
menfasilitasi kesadaran hidup mengereja yang emansipatoris dan memberdayakan.”[37]
2.
syarat-syarat pendeta.
Ada beberapa syarat
jika seseorang ingin menjadi pelayan khusus penuh waktu antara lain :
1.
“Memiliki
kualifikasi pendidikan teologi minimal pada jenjang S-1 pada perguruan tinggi
teologi yang didukung oleh GMIH atau perguruan tinggi teologi yang ditetapkan
oleh Mejelis Sinode.
2.
Menyatakan
diri bersedia untuk tidak bekerja dalam bidang lain yang tidak ada hubungannya
dengan pelayanan gerejawi yang tidak berhubungan dengan tugas-tugas
kependetaan.
3.
Memiliki
kemampuan untuk melaksanakan pelayanan kependetaan.
4.
Tidak
menjadi anggota atau pengurus partai politik dan/atau tidak partisipan”.[38]
3.
Panggilan Pendeta
Pendeta merupakan panggilan dari
Allah melalui jemaat dan dalam memahami panggilan Allah tersebut maka dapat
dilihat dalam dua aspek. Pertama, penggilan pribadi dalam arti bahwa seseorang
harus merasa bahwa di dalam hatinya ada motivasi untuk melayani bukan untuk
menguasai. Namun keinginan ini bukanlah sesuatu yang mutlak karena bisa berarti
tidak berasal dari Allah karena bersifat subjektif. Sebab jabatan pendeta
bukanlah hal pribadi saja. Kedua, panggilan yang disahkan oleh gereja (jemaat).
Tuhan memanggilnya lewat gereja, dan hanya mereka yang telah terpanggil oleh
gereja yang mempunyai hak secara resmi untuk berkhotbah dan melayani sakramen.
Berkaitan dengan itu maka bukan
berarti tugas dan panggilan pendeta hanyalah untuk berkhotbah dan melayani
sakramen tetapi masih ada juga tugas yang lain dan secara umum dapat disebutkan
:
- Melayani pemberitaan Firman dan sakramen-sakramen.
- Memimpin katekisasi.
- Meneguhkan anggota sidi.
- Menahbiskan pelayan-pelayan khusus dalam jabatan mereka.
- Memberkati dan meneguhkan nikah.
- Memimpin pemakaman orang meninggal.
- Mengembalakan anggota-anggota jemaat.
- Memimpin sidang-sidang jabatan.
- Bersama-sama dengan para mejelis memimpin dan melayani jemaat dan menjalankan disiplin gereja.[39]
4.
Penahbisan pendeta
Dalam lingkungan Gereja Reformasi
kita mengenal adanya upacara pentahbisan seorang warga gereja menjadi pendeta.
Di lingkungan Protestan arus utama, pentahbisan seseorang menjadi pendeta
dilakukan setelah sesorang memperoleh pendidikan teologi dan memenuhi syarat
gerejani, antara lain setelah menjalankan suatu masa persiapan menjadi pendeta,
yang biasanya dikenal sebagai masa Vikariat pendeta. Dengan syarat itu maka
seseorang diharapkan telah memenuhi apa yang dimaksud dalam Imamat 20 :7 “kamu harus menguduskan dirimu, dan kuduslah
kamu, sebab Akulah TUHAN, Allahmu”.
Dengan
demikian seseorang menempatkan dirinya di luar lingkungan yang jahat dan
berbalik kepada Tuhan, dipersiapkan untuk dipakai oleh Tuhan Allah menjadi alat
di tangan-Nya. Oleh karena itu pentahbisan seorang menjadi pendeta memegang
peranan penting dalam pertumbuhannya ke arah kehidupan bersama Tuhan. Ada dua hal yang perlu diperhatikan
dalam hal ini yaitu:
- memisahkan diri dari kehidupan dosa.
- tumbuhkanlah kesadaran bahwa Tuhan Allah sendiri menyiapkan kita dengan menguduskan diri kita. Dia juga mempersiapkan kita melaksanakan pelayanan.
Tuhan
Allah merancang hidup kita agar kita hanya memperoleh minuman dari Dia.
Karya-karya yang dilakukan dalam kesalehan manjadi jalan ke dalam pengenalan
yang lebih mendalam akan apa yang merupakan kehidupan yang tidak benar yang
perlu dihilangkan dari kehidupan kita. Dalam hal ini kita perlu memberi diri
kita dibentuk oleh Tuhan Allah.[40]
Hal yang paling sentral dalam
penahbisan pendeta adalah penumpangan tangan. Penumpangan tangan adalah suatu
lambang yang nyata bahwa Allah yang sendiri menahbiskan orang tersebut dan memisahkannya
untuk pelayanan Firman dan sakramen. Penumpangan tangan juga merupakan suatu penyerahan
kepada Allah dalam doa.
Menurut Elfira F.A. Mozes. Yang
mengutip David N. Power. Bahwa penahbisan dengan gerak penumpangan tangan
menandakan adanya penyerahan terhadap semua pelayanan melalui Roh Kudus, untuk
menandakan ketaatan orang yang ditahbiskan kepada Firman dan keputusan Allah.
Pendeta ditahbiskan sebagai seorang
hamba Tuhan dibawah terang Firman yang diberitakannya. Maka dari itu, dikatakan
bahwa kuasa dan jabatan tersebut bukanlah terletak pada diri pendeta, melinkan
dalam Firman dan sakramen. Dan jika seorang pendeta berpaling dari Firman dan
sakramen jelaslah bahwa ia tidak mempunyai hak untuk melayani sebagai pendeta.
Paling penting untuk dicatat pula
bahwa penabihsan pendeta dilakukan bukan untuk memperoleh status atau tingkat
yang lebih tinggi. Melainkan untuk melayani gereja, melayani Jemaat. Andaikata
seorang pendeta memandang dirinya lebih dari yang lain, pastilah dia tidak
layak disebut pendeta.[41]
B.
Partai Politik.
B.1.
Defenisi
Secara umum dapat dirumuskan bahwa
partai politik adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya
mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Adapun tujuan
dibentuknya sebuah partai politik adalah untuk memperoleh kekuasaan politik dan
merebut kedudukan politik dengan cara konstitusional dimana melalui kekuasaan
tersebut partai politik dapat melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka.[42]
Sigmun
Neumann sebagaimana dikutip oleh Eddi Wibowo partai politik adalah organisasi yang terdiri
dari aktifis-aktifis politik, yang berusaha untuk menguasai kekuasaan
pemerintah, serta merebut dukungan rakyat atas dasar persaingan dengan suatu
golongan atau golongan-golongan lain yang mempunyai pandangan yang berbeda.”[43]
Bagi Giovanni
Sartori yang dikutip oleh Miriam Budiardjo
yaitu partai politik adalah suatu kelompok yang mengikuti pemilihan umum
dan, melalui pemulihan umum itu, mampu menempatkan calon-calon untuk meduduki
jabatan-jabatan publik.”[44]
“Partai
politik adalah sarana untuk merebut kekuasaan politik dan uang. Karena itu,
sebaiknya seorang pendeta tidak melibatkan diri dalam partai politik sebagai
sarana untuk merebut kekuasaan politik dan uang. Sebab, bagi seorang masih
dalam jabatan sebagai pendeta, haram hukumnya merebut kekuasaan, baik kekuasaan
politik maupun ekonomi karena akan dengan sendirinya melehmakan kewibawaannya
sebagai seorang gembala.”[45]
B.2.
Tujuan dan Fungsi Partai Politik.
Undang-undang
Republik Indonesia
no 2 tahun 2008 tentang partai politik. Bab V tentang tujuan dan fungsi partai politik
Pasal 10. ayat 2 tujuan khusus partai politik adalah. Pertama, meningkatkan
partisipasi politik anggota dan masyarakat dalam rangka penyelenggaraan
kegiatan politik dan pemerintah. Kedua, memperjuangkan cita-cita partai politik
dalam kehidupan bermasyrakat, berbangsa dan bernegara dan. Ketiga, membangun
etika dan budaya politik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.
Pasal 11
ayat 1 tentang fungsi partai politik sebagai sarana : Pertama, pendidikan
politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi warga Negara Indonesia
yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa,
dan bernegara; Kedua, penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan
kesatuan bengsa Indonesia untuk
kesejahteraan masyarakat; Ketiga, penyerap penghimpun, dan penyalur aspirasi
politik masyarakat dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan Negara; Keempat,
partipasi politik warga Negara Indonesia; Dan kelima, rekrutmen politik dalam
proses pengisihan jabatan politik memalui mekanisme demokrasi dengan
memperhatikan kesetaraan dan keadilan gender.[46]
Fungsi
utama partai politik adalah mencari dan mempertahankan kekuasaan guna
mewujudkan program-program yang disusun berdasarkan ideology tertentu. Dan cara
yang digunakan untuk mempertahankan kekuasaan ialah ikut dalam pemilihan umum.[47]
“Kehadiran
partai politik dalam Negara demokrasi adalah sebuah keharusan yang tidak bisa
dihindari. Dalam Negara demokrasi pertain politik menyelenggarakan beberapa
fungsi :[48]
- Partai politik sebagai sarana komunikasi politik. Salah satu tugas dari partai politik adalah menyalurkan aneka ragam pendapat dan aspirasi masyarakat bisa diminimalkan. Juga berfungsi untuk memperbincangkan dan menyebarluaskan rencana-rencana kebijakan-kebijakan pemerintah. Berfungsi juga dimana partai politik memainkan peranan sebagai penghubung antara yang memerintah dan yang diperintah, antara pemerintah dan dan warga masyarakat.
- Partai politik sebagai sarana sosialisasi politik. Diartikan sebagai proses memalui mana sesorang memperoleh sikap dan orientasi terhadap fenomena politik, yang umumnya berlaku dalam masyarakat di mana ia berada.
- Partai politik sebagai sarana rekrutmen politik. Adalah mencari dan mengajak orang yang berbakat untuk turut aktif dalam kegiatan politik sebagai anggota partai.
- Partai politik sebagai sarana pengatur konflik. Dalam daerah demokrasi perbedaan pendapat selalu terjadi merupakan soal yang wajar. Jika terjadi konflik, partai politik semestinya ikut berusaha untuk mengatasi dan memikirkan solusi penyelesaiannya.
- Partai politik sebagai sarana partisipasi politik. Yaitu selain rekrutmen politik partai politik juga melakukan fungsi yang parallel dengan fungsi rekrutmen politik yaitu sebagai sarana partisapasi politik. Dalam kehidupannya, partai politik harus selalu aktif mempromosikan dirinya untuk menarik perhatian dan minat warga Negara agar bersedia masuk dan aktif sebagai anggota partai politik tersebut.
- Partai politik sebagai sarana pembuatan kebijakan. Adalah hanya akan efektif jika partai politik memegang kekuasaan pemerintah dan mendominasi lembaga perwakilan rakyat.”[49]
- “politik sebagai pemandu kepentingan. Yaitu untuk menampung dan memadukan berbagai kepentingan yang berbeda bahkan bertentangan, maka partai politik dibentuk, kegiatan menampung, menganalisis dan memadukan berbagai kepentingan yang berbeda bahkan bertentangan menjadi berbagai alternatif kebijakan umum, kemudian diperjuangkan dalam proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan politik.
- “partai politik sebagai kontrol politik yaitu kegiatan untuk menunjukan kesalahan, kelemahan dan penyimpangan dalam isi suatu kebijakan atau dalam pelaksanaan kebijakan yang dibuat dan dilaksanakan oleh pemerintah.”[50]
Dengan
demikian maka dapat dirumuskan bahwa partai politik merupakan kelompok anggota
yang terorganisasi secara rapi dan stabil yang dipersatukan dan dimotivasi
dengan ideologi tertentu, dan yang berusaha mencari dan mempertahankan
kekuasaan dalam pemerintahan melalui pemilihan umum guna melaksanakan
alternatif kebijakan umum yang disusun. Alternatif kebijakan umum yang disusun
ini merupakan hasil pemaduan berbagai kepentingan yang hidup dalam masyarakat.[51]
C. Keterlibatan Pendeta dalam Partai Politik.
Dalam
Tata Gereja pada keputusan Sidang Sinode ke-XXV GMIH serta keputusan Rakerta 1,
maka akhir agustus 2003 di keluarkan peraturan yakni “Surat Keputusan Nomor :
370/Kpts/XXV/A-2/2003. tentang peraturan pelayan khusus dalam bidang politik”[52]
Pada
pembukaannya ditulis tentang tugas dan tanggungjawab gereja yaitu :
“Gereja diutus ke dalam
dunia untuk menyampaikan kabar baik (kabar sukacita), menjadi garam dan terang
dunia dalam pelbagai aspek kehidupan duniawi. Dalam terminologi Kristen dikenal
sebagai panggilan untuk membawa keadilan, kebenaran dan kasih di berbagai aspek
kehidupan duniawi, termasuk aspek kehidupan politik. bahwa setiap pelayan
khusus gereja, di samping mempunyai status sebagai warga gereja, juga sekaligus
sebagai warga Negara kesatuan RI yang memiliki hak, kewajiban dan panggilan
yang sama dengan warga Negara lainnya, untuk ikut berperan dan bertanggungjawab
dalam menata kehidupan berbangsa dan bernegara berdasarkan asas demokrasi, UU
dan peraturan yang berlaku dalam NKRI. Bahwa atas dasar kesadaran akan hak,
kewajiban dan panggilan tersebut, maka gereja memberikan kesempatan kepada
pelayan khusus (selaku warga negara) untuk melaksanakan hak, kewajiban dan
panggilan Negara menurut asas demokrasi melalui organisasi partai politik yang
telah diakaui sah dan resmi, dan yang dipandang dapat menyalurkan aspirasinya
atau menjadi pengurus organisasi partai politik dan atau dapat secara langsung
menjadi penyalur dan pembawa aspirasi politik dalam proses dinamika politik
praktis.”[53]
Dengan
landasan itu maka berlaku ketentuan khusus dalam Bab III pasal 4, dan 5 yaitu :
Pasal 4.
- setiap pelayan khusus gereja dapat diperkenankan sesuai haknya untuk :
- Menjadi pengurus partai politik.
- Dicalonkan atau mencalonkan diri menjadi anggota legislatif.
- Menjadi juru kampanye dari suatu partai politik dimana yang bersangkutan bergabung.
- Mencalonkan diri sebagai anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan dalam komisi pemilihan umum (KPU).
- bahwa butir b,c dan d, diperlukan krodensi dari MPS.
Pasal 5.
- untuk menjadi pengurus partai politik sebagai bagian dari tanggungjawab warga Negara, tidak memerlukan ijin khusus dari MPS, dengan ketentuan :
- Menyampaikan pemberitahuan kepada MPS, disertai SK kepengurusan dari partai politik dimana bersangkutan bergabung.
- Mendahulukan atau mengutamakan kepentingan pelayanan gereja di atas kepentingan partai politik dimana yang bersangkutan bergabung.
- Tidak melakukan kegiatan paratai politik pada waktu yang bersamaan dengan penugasan untuk pelayanan gereja.
- Tidak menggunakan fasilitas gereja atau yayasan GMIH, termasuk kendaraan dan fasilitas perkantoran milik GMIH.
- untuk manjadi calon wakil rakyat diperlukan ijin khusus dari MPS.
Mengacu
dari paraturan 370 maka pendeta sebagai pelayan khusus diberikan hak, dan kewajibannya sebagai warga
Negara. Dan dalam hal untuk menjadi anggota wakil rakyat telah diatur dengan
ketentuan sebagai berikut:
Pasal 8
1.
jika
seseorang terpilih sebagai wakil rakyat maka kepada yang bersangkutan diberikan
surat
pembebasan tugas selama masa jabatannya.
2.
selama
menjalankan tugas sebagai wakil rakyat, jaminan hidupnya sebagai pegawai gereja
dihentikan untuk sementara waktu.
3.
bila
mana yang bersangkutan tidak lagi menjalankan tugas sebagai wakil rakyat, maka
atas permohonannya yang bersangkutan dapat dipekerjakan kembali.
4.
bahwa
dalam rangka pengangkatan kembali, masa kerja di luar gereja diperhitungkan
sebagai masa kerja aktif di gereja.
5.
apabila
yang bersangkutan diangkat kembali, maka jaminan hidupnya diperhitungkan
sebagaimana biasanya sesuai peraturan pokok kepegawaian.
Pasal 9
- Setiap pelayan khusus yang telah diberi ijin sebagaimana dimaksud pada pasal 5 ayat 2 s/d 5 mempunyai kewajiban dan tanggung jawab menjaga citra sebagai pelayan khusus.
- Tidak menggunakan jabatan gerejawi dan atau nama dan tokoh gereja untuk kepentingan kampanye.
- Melalui kampanye menyadarkan dan memberi pendidikan politik secara benar dan jujur bagi masyarakat.
- Selama masa kampanye, tidak diperkenankan melayani mimbar gereja.
Pasal 10
- dalam hal seorang pelayan khusus terpilih menjadi wakil rakyat maka yang bersangkutan mempunyai kewajiban untuk :
a.
Memperjuangkan
hak-hak rakyat dan umat.
b.
Mengedepankan
kepentingan umum di atas kepentingan lainnya.
c.
Taat
dan tunduk pada peraturan gereja.
d.
Menjadi
garam dan terang dalam paradigma “cerdik seperti ular dan tulus seperti
merpati”. Dan
e.
Menyisihkan
persembahan khusus tetap bulanan dan penghasilan tetap sebagai persembahan
persepuluhan.
- Sebelum diangkat sebagai wakil rakyat setiap pelayan khusus berkewajuban untuk mengikuti pembekalan dan pastoral dari MPS.
- Mengikuti ibadah pengutusan yang diatur oleh MPS GMIH.
- Metap melayani pemberitaan Firman.
Menurut Pdt. A.
Puasa M.Th.”[54]
Bahwa dengan diutusnya pelayan khusus (pendeta) dalam area partai politik maka
diharapkan dapat menyuarakan suara kenabian yakni : keadilan, kebenaran, dan
kasih. Dasar panggilan gereja (garam dan terang dunia) ini dijadikan sebagai
dasar teologis dari para pendeta dalam rangka membenarkan keterlibatannya dalam
partai politik maupun sebagai caleg. Dengan itu maka ada beberapa hal yang coba
disampaikan dari peraturan 370 yaitu : pertama,
secara etis teologis, titik tolak keterlibatan pendeta dalam partai politik
adalah sebagai garam dan terang dunia. Oleh karena itu pendeta terpanggil untuk
menggarami dan menerangi dunia lewat partai politik atau di legislatif. Kedua, secara normatif, pendeta adalah
warga Negara oleh karena itu ia mempunyai hak dan kewajiban serta penggilan
yang sama seperti semua warga Negara
RI, dan hendaknya tanggungjawab
itu dilaksanakan. Ketiga, secara
praksis, kepada pendeta yang duduk sebagai wakil rakyat, hendak tetap menjaga
citra sebagai pelayan Tuhan dan harus memperjuangkan keadilan, kebenaran dan
kasih bagi rakyat dan umat.
Dalam
kaitan dengan keterlibatan pendeta dalam partai politik ada hal yang sangat
kontradiktif dengan pemikiran di atas yang coba di kemukakan oleh Pdt. DR. J.
Mojau.”[55] Yaitu
bahwa,
Keterlibatan pelayan
khusus (pendeta) dalam politik praktis Yes, tetapi melibatkan diri dalam partai
politik No. karena itu jika seorang pendeta ingin terlibat dalam politik
praktis melalui jalur partai politik, sebaiknya dia mengundurkan diri dari
jabatan kependetaan. Karena, jabatan kependetaan tidaklah kekal pada dirinya
sendiri. Sebaiknya, kekekalan jabatan pendeta sangat terkait dengan fungsi
kepelayanan dalam jemaat dan fungsi pastoral sosial kemasyarakatan.
Dalam
agenda pemilu banyak orang bertanya-tanya apakah pemilu ini akan berlangsung
dengan aman, tertib, adil, dan demokrasi. Atau dengan kata lain dapat dikatakan
bahwa apakah rakyat sebagai penentu apakah mereka dapat bekerja untuk menjadi
wakil rakyat dapat dipastikan tidak dimanupulasi oleh janji-janji politik
murahan? Pernyataan seperti ini bukanlah alasan tetapi pengalaman ini telah
menjadi pergumulan rakyat selama ini, yang mana pengaruh kekuasaan uang dalam
betuk “politik uang” (Money Politics) dalam bentuk serangan fajar dan janji
manis yang berubah pahit itu dalam menjelang harinya pemilu entah itu pemilihan
Eksekutif maupun legislatif. Dalam konteks kegelisahan seperti inilah gereja
sebagai komunitas yang signifikan. Tanggung jawab politis secara moral ini
adalah sebuah keharusan bagi gereja. Hal itu terkait langsung dengan kesetiaan
gereja dalam menghayati imannya kepada Allah dalam Yesus Kristus.[56]
Namun
sayang sekali kebanyakan pemimpin gereja (pendeta) tidak melihat tanggung jawab
politis ini sebagai sebuah panggilan pelayanan secara moral. Dalihnya, gereja
sebagai lembaga keagamaan tidak boleh memihak alias harus netral. Akibatnya,
gereja sebagai komunitas moral kehilangan makna kehadirannya dalam
masalah-masalah sosial yang bersifat politis. Ini merupakan kesadaran hidup menggereja
yang palsu yang perlu untuk ditinggalkan. Kesadaran seperti itu merupakan salah
satu betuk penghianatan kepada sifat hakiki semangat iman kristiani, yaitu
semangat iman yang lahir dari semangat spiritual Yesus yakni semangat yang
memperdayakan mereka yang lemah dan miskin serta yang ditindas oleh berbagai
kekuasaan. Maka dari itu, gereja sebagai komunitas iman para murid Yesus
seharusnya menjadi komunitas iman politis yang memperdayakan rakyat dalam
proses-proses seperti pemilu.
Sebenarnya tujuan politisi dan Pendeta
(rohaniawan) mempunyai tugas dan tujuan yang sama, yaitu sama-sama merebut hati
masyarakat untuk mengikuti kemauan dari yang memimpinnya, tetapi terkadang
cenderung salah arah karena kebanyakan hanya untuk mementingkan kepentingan
pemimpin saja bukan untuk masyarakat yang mereka pimpin. Yang anehnya, yaitu
bahwa pendeta juga mempunyai watak dan cara berpikir yang sama dengan politisi
busuk yaitu ketidakmampuan melihat suatu perbedaan dalam masyarakat. Oleh
karena itu, pendeta juga bisa disebut anti kemanusiaan.
Dalam tubuh gereja juga tidak kalahnya
dengan tubuh politik dalam arti dapat mengkurop martabat manusia, tetapi kita
tidak perlu memisahkan antara politik dan agama karena sama-sama diperlukan
oleh manusia untuk menuju ke hal yang lebih manusiawi dan mencerminkan harkat
dan martabatnya sebagai Imago Dei dalam praktik hidupnya.
Dalam kaitannya dengan itu maka, seharusnya
keduanya menjadi suatu kekuasaan yang
membebaskan manusia dari berbagai bentuk ikatan perbudakan yang merendahkan
harkat dan marabat manusia. Oleh karena itu, maka keduanya harus dilihat
sebagai karunia dari Allah.[57]
Dengan
adanya partai politik yang berlatar belakang ideologi agama khususnya Kristen
salah satunya yaitu PDS, menambah jumlah pendeta untuk masuk dalam daftar calon
legislatif. Dengan begitu maka jumlah jemaat yang diterlantarkan semakin
menambah.
C.
Etika Politik
Kristen.
“Etika politik dalam
Kristen adalah nilai-nilai etika dan panduan moral yang berkaitan dengan
perilaku politik, yang diimplementasikan dalam mengelola kehidupan individu
maupun kelompok secara bersama yang bermasayrakat dan bernegara.”[58]
Mengapah Etika Kristen perlu
dalam Politik :
- “Allah melalui Firman-Nya selalu mengajarkan dan menghendaki yang baik dan yang benar dalam kehidupan manusia, termasuk kehidupan bermasyarakat dan bernegara, supaya ada kedamainan dan kesejahteraan lahir dan batin.
- Politik adalah kegiatan yang bertujuan untuk kebaikan dan kebenaran dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Politik tidak bertujuan
untuk mencapai kepentingan sendiri atau kelompok saja, melainkan dan terutama
kepentingan bersama sebagai bangsa.
- Para pelaku politik (politisi) adalah orang-orang yang menerima kekuasaan dan wibawa mereka dari Tuhan untuk menegakan kebaikan dan kebenaran di dalam masyarakat. Maka kedaulatan Tuhan seharusnya menjadi arahan para politisi dalam menjalankan tugasnya.
- Para politisi adalah manusia “berdosa”, penuh kekurangan bahkan cenderung pada kejahatan (destruktif) sehingga memerlukan panduan, arahan dan norma dari agama supaya mereka dapat menjalankan tugasnya dengan penuh tanggung jawab sesuai dengan kekusaan yang ia terima dari Tuhan.
- Kegiatan politik adalah juga misi Allah (Misio Dei) yang bertujuan mewujudkan kekuasaan dankedaulatan Allah di dunia.”[59]
Yang
perlu diketahui bersama bahwa Kekuasaan adalah alat, sasaran dan tujuan suatu
perjuangan politik. Yang perlu diketahui juga bahwa permainan politik adalah
permainan kekuasaan. Dan etika politik adalah etika kekuasaan. Kekuasaan
bukanlah suatu yang netral; terutama jika digunakan secara sosial, politis atau
religius, maka kekuasaan itu menjadi hidup. Karena tidak ada kekuasaan yang
tidak ditujukan pada suatu maksud tertentu. Oleh karena itu, seseorang akan
secara refleks beruba menjadi yang lain dari yang semulah. Kerena itu perlu
kita kembali menganalisis konsep kekuasaan itu dengan cara etis.[60]
Keterlibatan
para pendeta dalam dunia politik merupakan salah satu upaya untuk menjalin
kerja sama antara gereja dengan pemerintah, dosa ini terus berlanjut dari abad
ke abad yang mana gereja hanya berusaha untuk menjalin hubungan dengan
pemerintah secara baik dan tanpa cacat tetapi gereja lupa dengan satu yang seharusnya
untuk dijaga dan terus berusaha agar terjalin yaitu hubungan dengan masyarakat.
Mengapah
hal ini tidak terjadi, mungkin karena rakyat bersala dari ekonomi bawah
sedangkan pendeta berasal dari ekonomi menengah ke atas. Atau mungkin karena
agamanya, dan kerena itu takut pada mereka yang beragama lain. Mungkin juga
pemahaman teologis tertentu, yang membedakan antara “umat” dan “rakyat” (people
of God and People). Semua faktor ini tentunya perlu dikaji ulang secara matang
tentunya ini menjadi tugas oleh para pendeta, bukannya untuk caleg. Dalam hal
ini bukan berarti untuk menghentikan gereja untuk berhubungan dengan
pemerintah, kemitraan dengan berbagai lembaga politik termasuk pemerintah merupakan
bagian dari etika politik.[61]
Dengan itu maka nilai-nilai etis dan moral yang perlu bagi
politik, khususnya politisi yaitu:
- Hati Nurani/kata hati yaitu bertindak menurut hati nurani, yaitu suatu instansi dalam hidup manusia yang di ciptakan Tuhan untuk memperingatkan manusia tidak salah langkah dan untuk menegor agar manusia menyesal dan melakukan koleksi kalau ia membuat keputusan atau tindakan yang salah.
- Adil, yaitu mengusahakan tegaknya keadilan di tengah masyarakat (justice for all) sehingga kebaikan dan kebenaran Tuhan terwujud dalam kehidupan seluruh rakyat.
- Jujur, yaitu tidak melakukan pembohongan, mangumbar janji palsu dan mengelabui rakyat.
- Rendah hati, yaitu politik berurusan dengan kekuasan dan kekuasaan dapat membuat orang menjadi takabur, arogan, sombong dan menyalagunakan kekuasaan untuk menindas rakyat.
- Keberanian, yaitu politik berurusan dengan kepentingan rakyat secara keseluruhan yang seringkali dirugikan oleh pihak tertentu, maka para politisi perlu memiliki keberanian untuk membela hak-hak rakyat. Allah selalu berpihak pada rakyat lemah dan yang selalu menjadi korban. Itu maka : “vox populi, vox Dei” (suara rakyat adalah suara Allah).[62]
D. Politisi
Kristen dan Keadaan politik di Indonesia.
Kecenderungan
terburuk dalam perkembangan politik di Indonesia, terutama setelah tahun
1998, adalah politik dimonopoli oleh kaum elite secara habis-habisan. Ada dua indikasi. Pertama,
isu politik didominasi oleh konflik elitis. Kedua, nasip rakyat tidak berubah
secara positif. Implikasi jauh dari monopoli elit adalah ruang politik yang
adalah ruang public direkayasa menjadi ruang privat. Politik mengalami
privatisasi secara radikal. Politik pun berubah rupa menjadi barang mahal yang
tertutup, jauh dari rakyat, dan manjadi mewah.[63]
Di dalam
masa atau era yang mana Indonesia saat ini mengalami transisi demokrasi yang
telah diperhadapkan dengan berbagai masalah seperti “budaya politik” yang sarat
dengan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN), situasi ekonomi yang belum pulih,
lemahnya penegakan hukum dan hak asasi manusia (HAM), berdirinya otonomi daerah
yang lebih mengarah ke sentiment etnis dan golongan, yang pada akhirnya
melehmahkan semangat kebangsaan diantara segenap elemen bangsa.
Berkaitan
dengan korupsi, kolusi dan nepotisme yang telah menjadi budaya politik selama
ini, hal ini perlunya juga untuk di pertanyakan apakah benar? ternyata tidak
karena yang sebenarnya kita alami selama ini adalah politik dalam pengertian
yang sebenarnya yaitu membangun masyarakat yang berkeadaban, yang telah digantikan
oleh kegiatan anti-politik. Dengan demikian bahwa selama ini yang dapat kita
saksikan bahwa perpolitikan yang ada di Indonesia bukanlah kegiatan
politik. Karena yang kita saksikan selama ini hanyalah kegiatan transaksi
perebutan kekuasaan yang telah tersusun dari sejumlah gerombolan yang haus
kekuasaan dan bersifat diktator. Oleh karena itu, budaya politik apakah yang
kita harapkan dari perpolitikan di Indonesia ini ? tidak lain hanyalah
budaya politik kematian.[64]
Dalam
keadaan perpolitikan di Indonesia
yang seperti ini maka yang seharusnya politisi Kristen yang peka terhadap denyut nadi kehidupan
masyarakat Indonesia
harus memiliki “kegelisahan-etis-kemanusiaan”[65]
. Itu berarti pula setiap politisi Kristen memiliki nurani kemanusiaan yang
tidak akan perna tentram di tengah-tengah budaya politik kematian yang sedang
berkembang di tengah-tengah transaksi politik yang berlangsung di Indonesia.
Politisi
Kristen tidak akan bisa tidur nyenyak dengan keadaan politik seperti ini. dalam
hal ini bukannya berarti para pendeta tidak turut dalam menyuarakannya tetapi
dalam hal menyuarakan bukan berarti harus melepaskan diri sebagai ketua jemaat
atau pendeta jemaat dan mencalonkan diri ke DPRD atau yang lainnya masuk dalam
partai politik, dan mengutamakan rasa aman sendiri. Oleh karena itu, hidup
politisi Kristen bukannya untuk enak tetapi harus hidup dalam resiko harus
seperti Yesus Kristus yang terus berjuang. Politisi Kristen berani
memperjuangkan dan mampu mengahsilkan sesuatu yang baru dalam berbagai bentuk
produk hukum dan undang-undang serta peraturan pemerintah. Maka dari itu,
seorang politisi Kristen denga kegelisaan-etis-kemanusiaan itu akan selalu
mendorong lahirnya sejumlah produk dan undang-undang serta peraturan pemerintah yang memproteksi
hak-hak dasar warga masyarakat Indonesia
, tampa
memandang latarbelakang.
Dalam
diri setiap politisi krisaten harus selalu mengandung aspirasi rakyat Indonesia
yang selalu merindukan seorang bayi keadilan berupa keadilan politik dan
ekonomi yang menjamin harkat dan martabat untuk hidup wajar dan manusiawi.
Politisi
kristen dengan kegelisaan-etis-kemanusiaan harus banyak berguru kepada sang
politisi sejati yakni Yesus Kristus, seperti di kisahkan oleh Kitab-Kitab Injil
sinoptik, Yesus memulai karier politikNya pertama-tama dengan menajali uji
kematangan psikis dan mental selama empat puluh hari empat puluh malam di
padang gurun (Lihat, Matius 4:1-11 dan lain-lain). Setelah lulus uji kematangan
psikis dan mental atau uji apakah Yesus kuat atau tidak itulah yang membuat
Yesus menjadi seorang politisi sejati dalam pengertian politik yang sebenarnya,
yaitu “membangun masyarakat yang berkeadaban dan sejahtera”.[66]
Namun
sayang sekali peranan politis Yesus ini selama ini kurang diberi perhatian banyak
penafsir Kitab Suci. Pada hal Yesus sendiri melakukan tindakan-tindakan yang
bersifat politis. Pelayanan Yesus terhadap mereka yang miskin, lapar, mengalami
diskriminasi baik etnis maupun agama dalam tindakan politis. Pilihan politik
Yesus itulah yang membuat Ia disalibkan. Hanya saja pewartakan tindakan politik
Yesus itu berbeda dengan pewartakan tindakan tindakan politik para politisi
pada Zaman-Nya.
BAB IV
REFLEKSI
TEOLOGIS
Mengapa
semakin banyak saja pendeta GMIH (Jailolo – Sahu) yang mencalonkan diri sebagai anggota
legislatif ?.[67]
Dari
pertanyaan di atas saya melihat hal ini sebagai satu kesatuan bahwa dari
penelitian yang dilakukan lewat wawancara dan penelitian buku yaitu pada
hakekatnya pendeta yang masuk dalam partai politik atau yang mencalonkan diri
menjadi anggota wakil rakyat, pendeta tersebut belum dewasa dalam hal
menjalankan tugas yang ia pilih dan belum siap. Oleh karena ketidaksiapan itu
dipengaruhi oleh beberapa faktor yang menyebabkan pendeta masuk dalam partai
politik Yaitu :
1.
Pendeta
tersebut merasa terpanggil untuk membawa garam dan terang bagi daerah ini.
2.
Adanya
motivasi pribadi dalam arti hanya untuk memperkaya diri dan keluarganya.
3.
Pendeta kurang menghayati makna panggilan dan
pilihan hidupnya. Dalam hal ini kita kembali melihat akan makna tahbisan
seseorang menjadi pendeta dalam arti bahwa segalah sesuatu telah berubah dengan
sendirinya lewat pentahbisan itu yang mana hal itu harus digumuli dan dihayati
secara baik.
4.
Kesejahteraan
pendeta yang kurang diperhatikan oleh jemaat. Masalah kesejahteraan bagi saya
hanyalah sebuah alasan belaka yang coba
disampaikan oleh para pendeta dengan tujuan melemparkan kesalahan kepada orang
lain dalam hal ini jemaat.
5.
Aturan
yang dikeluarkan oleh Gereja atau Sinode tidak tegas dan hanya atas dasar
kepentingan. Ketidaktegasan sinode dalam mengeluarkan aturan khususnya
peraturan tentang pelayan khusus penuh waktu selama ini ridak konsisten karena
disebabkan dari gantinya pemimpin maka ganti pula sebuah aturan yang dikenal
dengan Tata Gereja. Bagi saya hal ini setelah dicermati maka semuanya bukan
atas dasar pelayanan tetapi atas dasar kepentingan.
Jika
seorang pendeta menjadi caleg itu merupakan sebuah kegagalan besar, maka itu berarti
kegagalan bagi gereja khusus GMIH. Para
pendeta (hamba Tuhan) yang notabene seharusnya mendidik umatnya untuk menjadi
sebuah pribadi yang lengkap, justru maju bersaing dengan jemaatnya dalam
memperebutkan kursi dewan. Bukankah ini sebuah fenomena yang menyedihkan
terjadi di GMIH? Bukankah ini menunjukan kegagalan gereja, kegagalan pola
pelayanan dan pembinaan umat?.
Yang
seharusnya gereja adalah tempat mempersiapkan orang-orang Kristen yang siap
pakai, orang-orang yang menjadi garam dan terang, orang-orang yang bisa menunjukan
kehidupan Kristus dalam diri mereka, dan tentunya orang-orang yang menjadi
caleg untuk membawa suara profetis bagi daerah ini.
Tetapi
apa yang kita lihat sekarang ini, seharusnya pendeta-pendeta bertugas di ranah
mempersiapkan pemimpin-pemimpin (caleg), bukan justru malah terjun langsung
menjadi caleg. Asumsinya bahwa ketika seorang anak buah tidak mampu melakukan
suatu tugas, maka pemimpinnya (pendeta) yang akan turun tangan. Tetapi jika
anak buahnya (jemaat) selama tidak mampu melakukan tugasnya , berarti ada
kesalahan, entah itu kesalahan pada anak buahnya atau lebih besar kemungkinan
pemimpinnya yang tidak mau disaingi.
Dalam
arti bahwa pendeta yang ikut dalam kancah politik praktis lebih merasa bahwa
jemaatnya tidak mampu membawa perubahan, ataukah ada juga motivasi lain. Tetapi
jika demikian bahwa pendeta masuk menjadi caleg karena merasa jemaatnya tidak
mempu membawa perubahan itu berarti bahwa gereja kita khususnya GMIH sedang
mengalami krisis kepemimpinan. Ini berarti ada yang salah dalam pembinaan di
jemaat.
Dari hal
di atas ini maka kita akan melihat
perbandingan antara latar belakang pengtahuan Pendeta dan fungsi anggota badan
legislatif.
1.
Dasar dan latar belakang pengetahuan Pendeta.
Dasar
dan latarbelakang pengetahuan pendeta khususnya S1 teologi tidak terlepas dari
pengetahuan teologi yang mereka dapat di kursi-kursi perkuliahan yang ada di
sekolah tinggi teologi maupun universitas yang di dalamnya ada fakultas
teologi, tetapi khususnya yang ada di GMIH yaitu hanya mengakui dan menerima
lulusan sarjana teologi yang telah diakui oleh PERSETIA. Oleh karena itu, ilmu teologi yang diakui oleh PERSETIA itu dibagikan
menjadi tiga rumpun Yaitu :
Menurut
: B.F. Drewes, dan Pdt. J. Mojau.[68]
1. Rumpun I yaitu
rumpun umum dan mata kuliah yang ada di dalamnya yaitu :
a.
Pendidikan Pancasila.
b.
Pendidikan Kewarga Negaraan/Kewiraan
c.
Ilmu Sosial Dasar.
d.
Ilmu Alamiah Dasar.
e.
Pengantar Filsafat Timur.
f. Pengantar Filasafat Barat.
Mata kuliah itu merupakan
tuntutan formal dari pihak pemerintah.
2. Rumpun II yaitu rumpun
teologi. Mata kuliahnya yaitu :
- Pengantar ilmu teologi.
- Pengantar Hermeneutika Perjanjian lama.
- Pengantar Hermeneutika Perjanjian Baru
- Hermeneutika Perjanjian lama I
- Hermeneutika Perjanjian Baru I
- Hermeneutika Perjanjian lama II
- Hermeneutika Perjanjian Baru II.
- Sejarah Agama Kristen.
- Kristologi
- Eklesiologi.
- Etika Kristen
- Teologi Patoral.
- PAK
- Liturgika
- Homelitika
Mata
kuliah dalam rumpun ini adalah mata kuliah yang harus di ajarkan oleh suatu
lembaga pendidikan teologi. Dengannya diharapkan para mahasiswa teologi dapat
dilatih untuk memiliki kompetensi teologis yang mendasar sebagai bekal untuk
mengembangkan diri lebih lanjut dalam panggilan pelayanannya.
3. Rumpun III yaitu:
- Metodologi Penelitian Sosial.
- Metodologi Penelitian Teologi.
- Agama dan Iptek
- Sejarah Gereja Indonesia.
- Agama dan Masyarakat.
- Agama Hindu dan Buddha.
- Agama Islam
- Agama Suku dan Kebatinan.
- Teologi dan Komunikasi.
- Teologi dan Manejemen.
- Teologi Agama-Agama.
- Teologi Kontekstual.
- Teologi Sosial.
- Missiologi.
Matakuliah-matakuliah
ini diharapkan agar mahasiswa memiliki keterampilan metodologi baik umum maupun
teologi dan mempunyai deskripsi yang baik tentang bagaimana berteologi.
Dari rumpun-rumpun di atas ada juga
pengelompokan mata kuliah menurut kosentrasi study yang ada di sekolah-sekolah
tinggi teologi maupun Fakultas Teologi. khususnya STT GMIH Tobelo dalam
Kurikulum tahun 1997 berupaya menghasilkan lulusan “(pastor desa)”[69]
yang mampu berteologi sesuai konteks khususnya pada bidang studi ilmu teologi
yang menjadi pilihan kosentrasi studinya serta memiliki kepribadian kristiani
yang kuat dan tebal semangat kebangsaan.
Dengan
itu maka, pengembangan tujuan pendidikan ini dikaitkan dengan ciri khas STT
GMIH Tobelo orentasi pedesaan (rulal Oriented). Masyarakat pedesaan ini sesuai
dengan konteks Halmahera dan Maluku Utara pada
umumnya yang dominan masyarakatnya bersifat pedesaan.
Dari hal
yang diangkat di atas yang mau dikatakan yaitu bahwa ilmu pengetahuan yang
didapat oleh pendeta dalam konteks Halmahera
tidak akan terlepas dari matakuliah yang ada dalam kurikulun ini. dan dengan
kurikulum ini bisa membuktikan bahwa sebenarnya yang ada dalam pikiran para
pendeta itu untuk pembangunan masyarkat desa khususnya warga jemaat tidak yang
lain.
Ketika diadakan
debat kandidat pada daerah pemilahan II kabupaten Halmahera Barat yaitu daerah
Sahu, Ibu dan Loloda dengan tema
“Halmahera Barat menuju perubahan paskah pemilu 2009” yang dilaksanakan oleh
GMKI Cab. Jailolo di Desa Gamnyial tanggal 28 maret 2009 yang dihadiri 9 Caleg
dengan 9 partai yang di dalamnya ada seorang pendeta yakni dari partai karya
perjuangan bapak Herland Hady. Yang dibuka dengan sambutan ketua GMKI Cab.
Jailolo mengatakan bahwa DPRD Hal - Bar yang ada sekarang ini tidak mampu untuk melaksanakan semua Tugas utama mereka.
Keberlangsungan debat kandidat itu dan ketika dipertanyakan oleh panelis kepada
Pendeta Herland Hady dengan pertanyaan yaitu bahwa hal apa yang terjadi ketika
seorang Caleg tidak memiliki disiplin ilmu penting terkait dengan tiga tugas
fungsi Caleg yakni bajeting (penganggaran) pengawasan, dan legislasi? dengan
jujur pendeta Herland Hady menjawab bahwa jika mengawasi semua orang, pasti
bisa tetapi dalam hal penganggaran dan membuat PERDA tidak semua bisa, termasuk
saya karena saya tidak belajar kesitu, namun di tambahkannya dan dengan percaya
diri, yaitu bagi saya itu mudah saja karena saya duduk tidak sendirian dan akan
bersama dengan seorang pakar penganggaran yaitu dari partai kedaulatan Bpk
Arnol Boki yang juga ada pada saat itu[70]
2.
Fungsi Anggota Badan Legislatif.
Diantara
fungsi badan legislatif yang terpenting ialah :
1.
Menentukan
kebijakan dan membuat undang-undang. Untuk itu badan ini diberi hak inisiatif,
hak untuk mengadakan amandemen terhadap rancangan undang-undang yang disusun
oleh pemerintah, dan terutama di bidang anggaran.
2.
Mengontrol
badan eksekutif dalam arti menjaga agar semua tindakan badan eksekutif sesuai
dengan kebijakan-kebijakan yang telah ditetapkan. Untuk menyelenggarakan tugas
ini. badan perwakilan rakyat ini diberi hak-hak control khusus.
2.1.
Fungsi Legislasi
Baginya Menurut
teori yang berlaku tugas utama legislatif terletak di bidang
perundang-undangan. Tetapi hal ini telah bergeser ke eksekutif. Mayoritas
undang-undang dirumuskan oleh badan eksekutif, sedangkan legislatif tinggal
membahas dan mengamandemennya. Keadaan ini tidak mengherankan karena Negara
modern badan eksekutif bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyat. Dan juga
dalam hal tugas ini eksekutif telah didukung oleh staf-staf ahli yang
berkualitas tinggi.
2.2.
Fungsi Bajeting.
Dalam
hal keuangan, pengaruh badan legislatif lebih besar dari pada bidang legislasi
umum. Rancangan anggaran belanja diajukan ke badan legislatif oleh badan
eksekutif, akan tetapi badan legislatif mempunyai hak untuk mengadakan
amandemen, dan dalam hal ini menentukan seberapa anggaran pemerintah dapat disetujui.
Jadi, badan legislatiflah yang pada akhirnya menentukan berapa dan dengan cara
bagaimana uang rakyat dipergunakan.
2.3.
Fungsi Kontrol.
Bidang
legislatif berkewajiban untuk mengawasi aktivitas badan eksekutif, agar sesuai
dengan kebijakan yang telah ditetapkannya. Pengawasan dilakukan melalui sidang
panitia-panitia lagislatif dan melalui hak-hak control yang khusus, seperti hak
bertanya, interpelasi, dan sebagainya. Anggota legislatif berhak untuk
mengajukan pertanyaan kepada pemerintah mengenai suatu masalah, dengan pertanyaan
lisan di dalam sidang dan dijawab langsung dengan lisan (pertanyaan
parlementer). Anggota legislatif mempunyai hak untuk meminta keterangan kepada
pemerintah mengenai kebijakan di suatu bidang (interpelasi). Hak angket adalah
hak anggota legislatif untuk melaksanakan penyelidikan sendiri. Dan mosi yang
merupakan hak control yang paling ampuh, jika badan legislatif menerima suatu
mosi tidak percaya maka dalam sistem parlementer jajaran kabinet harus
mengundurkan diri dan terjadi suatu krisis kabinet. Di samping itu ada peran
edukatifnya yaitu badan legislative dianggap sebagai forum kerja sama antara
berbagai golongan serta partai dengan pemerintah, dimana beraneka ragam
dibicarakan di muka umum. Bagi anggota legislative ini membuka kesempatan untuk
bertindak sebagai pembawa suatu rakyat dan mengajukan beraneka ragam pandangan
yang berkembang dalam masyarakat. [71]
Ada tiga
tugas pokok yang dilakukakan oleh anggota legislatif dalam masa periodenya
yaitu pengawasan, legislasi, dan bajeting atau penganggaran namun menurut
penelitian yang lakukan sangat disayangkan yaitu bahwa ternyata banyak anggota
DPRD termasuk di dalamnya pandeta tidak mampu membuat atau melaksanakan dua
tugas utama yaitu bajeting dan legislasi, yang mampu mereka lakukan hanyalah
pengawasan atau kontrol.
Perbandingan
antara fungsi anggota legislatif dan latarbelakang Pengetahuan atau ilmu yang di
miliki oleh pendeta yang coba diangkat oleh penulis yaitu bermaksuk untuk
mengarahkan bahwa ketidaksenambungan antara ilmu pengetahuan dan kineja yang
ingin di capai
Berkaitan
dengan hal di atas ada bukti yang akurat yang telah cobah ditanyakan oleh
wartawan Percis kepada Wakil Bupati Halmahera Barat tentang mendorong kemajuan
dan peningkatan kesejateraan Rakyat, dan bagaimana dukungan dari Pihak DPRD
Halmahera Barat dalam menyiapkan perangkat Hukum berupa PERDA (peraturan
daerah) untuk menopang penyelenggaraan pemerintah dalam memajukan dan
meningkatkan kesejateraan rakyat.
Baginya
(wakil Bupati) secara prinsip anggota wakil Rakyat atau DPRD Halmahera barat
sangat mendukung untuk memajukan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat
Hal-Bar karena DPRD adalah mitra pemerintahan. Namun baginya (wakil Bupati)
belumlah maksimal, misalnya dari 14 RANPERDA yang diajukan tahun 2007 untuk
menopang secara hukum percepatan pembangunan daerah satupun belum disahkan.
Dan
ketika ditanya oleh wartawan pércis di mana kendalahnya? “hal itu sangat
terkait dengan kapasitas atau kemampuan anggota dewan yang belum maksimal.
Banyak anggota dewan di Halmahera barat
menjadi anggota dewan hanya karena ketokohan saja tanpa dibarengi oleh
kemampuan yang memadai untuk menjadi wakil rakyat yang bisa berpikir luas dan
antisipatif terhadap kemajuan ke depan. Hanya sebagian kecil saja (mungkin lima orang dari dua puluh
orang) yang bisa diajak berbicara untuk masa depan Halmahera Barat. Ketika hal
ini dikonfirmasi dengan Ketua DPRD Halmahera Barat, ia pun membenarkan apa yang
telah dikatakan oleh Wakil Bupati. Itulah sebabnya, demikian lanjut katanya
(Ketua DPRD Hal-Bar) ke depan sebaiknya partai-partai politik harus mengusung
orang-orang yang masuk kedalam rumah rakyat adalah orang-orang yang tidak hanya
dapat diterima oleh masyarakat, tetapi juga memiliki kapasitas/kemampuan yang
cerdas, berpikir luas dan ke depan, dan memiliki pertanggung jawab moral.
Dan
baginya dalam pihak pemerintahan baik legislatif maupun eksekutif perlu
membenahi diri paling tidak ada lima
hal yaitu : ilmu pemerintahan, akutansi, kebijakan ekonomi, teknik pengawasan
dan teknik ke-Dewan-an. [72]
Dengan
masalah di atas ini maka siapa yang patut kita persalahkan?. Dengan tujuan agar
para pendeta jangan lagi masuk dalam partai politik dan hidup dan matinya hanya
untuk pembangunan jemaat bukan yang lain. Ini merupakan pergumulan besar
khususnya GMIH. Oleh karena itu, yang harus dilakukan oleh GMIH adalah
memperhatikan tiga hal yaitu : Pertama,
harus memperhatikan segalah macam aturan dan penegasannya dan jangan jadikan
aturan itu sebagai sebuah kepentingan semata dan bukan atas dasar pelayanan. Kedua, dengan kasus yang telah terjadi
ini, khususnya bagi pendeta yang terlibat ini merupakan perkara besar bagi
gereja oleh karena itu perlu lagi dipertanyakan cara atau liturgi penahbisan
pendeta apakah harus digantikan untuk mencari makna baru ataukah tergantung
pada pendeta yang kurang memaknai itu ?. Ketiga,
perlu adanya sosialisasi terhadap warga jemaat untuk sadar memberi dan selalu
memperhatikan keperluan pendeta yang bertugas, dan dengan tegas dan bijaksana.
Menurut
Eka Darmaputra”[73]
Bahwa berkaitan dengan hal ini semakin banyak warga jemaat yang mengeluh
tentang pendetanya, bukan oleh kerena pendeta-pendeta mereka malas, kurang
kesibukan, kurang pandai. Melainkan sebaliknya yakni pendeta-pendeta mereka
terlalu sibuk tetapi bukan sibuk dalam hal pelayanan gereja tetapi sibuk mengamati
politik bahkan menjadi politisi.
Dengan ini maka Pendeta-pedeta semakin
kehilangan karekter kependetaannya. Semakin pudar citra dan diri mereka sebagai
seorang pemimpin rohani umat, bagi banyak pendeta sekarang ini hampir tidak
bisa menolak untuk duduk di kursi legislatif.
Hal ini
bisa saja orang mengatakan bahwa zaman telah berubah, ini bisa diakui benar.
Namun demikian, ada satu hal yang tidak bisa berubah dan tidak boleh kita
biarkan berubah. Sampai kapan pun dan dalam situasi apa pun gereja harus tetap
mempertahankan dirinya sabagai sebuah persekutuan rohani, dan oleh karena itu,
juga harus dipimpin oleh suatu kepemimpinan yang rohani yang tidak gampang
meninggalkan jabatan rohani itu.
Ketika
pemimpin-pemimpin (pendeta-pendeta) umat telah kehilangan moral dan kerakternya
sebagai pemimpin-pemimpin spiritual, maka mereka harus berlaga dengan “senjata
Pinjaman”, yaitu senjata kekuasaan. Ibarat kesatria yang kehilangan ajimat atau
senjata pusakanya. Maka ia pasti akan kalah.
“Dalam kaitan dengan
pendeta maka dapat di gambarkan yaitu : Pertama, Pendeta adalah orang berdosa
dan bisa berdosa. Kedua, menjadi manusia berarti menjadi gambar Allah. Karena
itu tidak boleh hanya menyerah kepada keadaan. Dan karena ia adalah gambar
Allah, maka kehidupannya harus disesuaikan dengan kehendak Allah, kebenaran
Allah, kebaikan Allah dan kasih Allah sendiri. Ketiga, pendeta adalah manusia
biasa, yang berarti pendeta pun ada keterbatasan diri.”[74]
Citra
pendeta sedang mengalami krisis penyebab utamanya yaitu: “harapan yang tidak bertemu”[75]
jadi persoalan yang paling mendasar adalah bagaimana
seharusnya kita memahami jabatan pendeta itu ? apakah pendeta itu panggilan atau profesi ? memang pendeta adalah
manusia biasa tetapi warga jemaat beraharap kita harus lebih dari pada mereka.
Oleh kerena itu, pendeta harus melakukan apa yang hanya bisa dia dapat
melakukannya dengan paling baik, dan menyerahkan yang lain kepada warga jemaat
yang pasti akan dapat melakukannya dengan jauh lebih baik.
Lalu apa
yang disebut dengan dasar bagi jabatan pendeta ? baginya ada tiga hal yaitu :
1.
Verbi
divini minister yaitu pelayan Firman Tuhan (Kis. 6:4). Dosa besar bila pendeta karena tugas-tugasnya
yang lain, karena tidak punya waktu untuk menyusun dan mempersiapkan sebuah
khotbah (pelayanan) Firman. (…) Memang benar berkhotbah bukan satu-satunya
tugas pendeta, tetapi khotbah punya fungsi besar sentral dan strategis. Tetapi
sayangnya pendeta sekarang terlalu keenakan sehingga hanya mengulangi bahan
khotbah yang telah perna dipakai.
2.
Pendeta
bukanlah seorang bos, bukan menejer, atau bukan direktur tetapi seorang
gembalah (Yohanes 10 : 1-21).
3.
Pendeta
adalah pemimpin umat yang harus ditekankan olehnya adalah menjalankan fungsi
kepemimpinan moral dan spiritual.[76]
Oleh karena itu
seorang pelayan Tuhan atau pendeta harus mengikuti etika melayani yaitu :
- “Iman dan ketaatan sebagai dasar.
- Kebutuhan orang lain sebagai tujuan.
- Kebersamaan dengan orang lain sebagai motivasi.
- Soladaritas sebagai metode.
- Kesungguhan sebagai sikap.
- Tulus tanpa pamrih sebagai batu uji keabsahan pelayanan kita.”[77]
Menurut
Pdt. J. Mojau[78]
bahwa Gereja adalah tubuh Kristus dan umat Allah dalam dunia ini. Karena itu,
dalam hubungan dengan dunia yang ada merupakan suatu keharusan termasuk di
dalamnya dunia politik adalah keharusan teologis sendiri. Hal ini bukannya kita
suka atau tidak suka melainkan mempunyai hubungan iman kita kepada Allah dalam
diri Yesus Kristus. Karena Allah di dalam Yesus Kristus adalah Allah yang politis,
oleh sebab itu jika gereja mengabdi pada Allah dalam Yesus Kristus maka gereja
harus mempunyai sifat politis. sebaliknya gereja yang a-politis adalah gereja
yang tidak setia kepada Allah dalam diri Yesus Kristus. Dalam hal ini gereja
tidak boleh bersifat eksklusif hegemonis. Karena gereja sebagai komunitas iman
para murid Yesus adalah komunitas iman politis yang memberdayakan.
Jelas
yang terungkap dalam bab 1 bahwa tidak semua orang tahu tentang apa sebenarnya
politik itu ?. Oleh karena itu, dalam bagian ini penulis memakai kata politik
dengan kata yang sederhana yang dengan tujuan untuk kita mengertinya yaitu upaya
untuk mensejahterakan rakyat.
Dalam
mengupayakan kesejahteraan rakyat ada berbagai pandangan yang berbeda tergantung
dengan asas negaranya masing-masing contohnya Indonesia dengan Negara yang
berasas demokrasi memakai politik atau dalam berupaya mensejahterakan rakyat
melalaui partai politik (“perkumpulan orang-orang yang seasas, sehaluan, atau
setujuan terutama dalam bidang politik)”[79].
Karena bagi Negara demokrasi, hal itu memiliki nilai demokrasi yang sangat
tingggi karena rakyat yang memilih langsung siapa pemimpin rakyat yang akan
duduk untuk mempedulikan rakyat, yang walaupun sering terjadi berbagai
kecurangan yang ada di daerah sampai pada pusat sekalipun. Barbagai kecurangan
itu antara lain :
1.
Memanipulasi
rakyat dengan uang agar memilihnya (politik uang yaitu : gaya politik yang ketika dalam kampanye atau
situasi mencari masa di mana memberikan uang dan menjanjikan segalah sesuatu) [80]
2.
Tidak
terjadi sportifitas (bersaing dengan sehat) pada setiap Caleg yang mana saling
menjelekan dan menjatuhkan.
Dalam
situasi seperti itu pendeta berusaha masuk dan berhasil dengan keterwakilan
dalam partai-partai. Dan juga dengan adanya partai berasas agama khususnya
Kristen bisa membawa dan bertujuan menyuarakan suara kekristenan yang konon
selama ini tidak didengar oleh pemerintah. Namun dalam hal ini ada juga
berbagai aturan kekristenan menyangkut dengan etika Kristen tentang hal politik
mengapa perlu jelas yang telah ada di dalam bab III yang mana bertujuan agar
para politisi Kristen sadar tentang apa yang sebenarnya menjadi tugas dan tanggung
jawabnya dan dengan tujuan untuk tidak mengarah ke hal-hal yang buruk dalam
arti diantara tidak memanipulasi, diskriminasi, memandang golongan.
Namun sayangnya dari
generasi ke generasi dalam setiap pencalonan selalu ada yang disebutkan dengan
nama pimpinan jemaat (khusunya pendeta) tugas yang mulia itu ikut-ikutan dalam
dunia politik.
Keterlibatan
pendeta dalam partai politik bukan untuk memperbaiki dunia politik tetapi untuk
menambah keburukan dalam dunia politik. oleh sebab itu, sebaiknya pendeta
jangan memaksakan diri untuk ke partai politik. Walaupun begitu banyak
pemikiran yang datang dengan tujuan agar para pendeta untuk tidak lagi ikut
serta dalam partai politik, tetapi para pendeta selalu memaksakan diri demi
memnuhi kepentingan pribadi dengan bersembunyi dibalik kepentingan umum, untuk
rakyat dan atau jemaat.
Hal
ini telah terbuktikan dalam penelitian bahwa pendeta yang telah terjun dalam
dunia politik hanya memperkaya diri saja dan bukan untuk rakyat, bisa kita
lihat dari hasil para pendeta berkesempatan untuk memperkaya diri sediri itu
dari rumah yang mewah, motor dan mobil yang pada awalnya mereka tidak memilki
semuanya itu. Setelah mereka lolos atau menjadi anggota DPRD maka apa yang
sudah dijanjikan kepada masyarakat, semuanya itu dilupakan begitu saja.
Menurut
Pdt. J. Mojau.[81]
Semua politisi baik pendeta maupun bukan pendeta bertujuannya sama saja yaitu
bagai mana dapat merebut jiwa rakyat untuk menjadi anggota kelompok demi
keuntungan mereka atau diri sendiri. Sehingga terbukti bukan hanya kekuasaan
politik yang dapat mengkorup martabat manusia tetapi juga kekuasaan agama,
sebenarnya orang seperti ini adalah anti-kemanusiaan yang telah membunuh
jiwa-jiwa kreatif dalam masyarakat. Pada hal baik agama maupun politik
sama-sama diperlukan manusia untuk bertumbuh kearah kehidupan yang lebih
menusiawi untuk mencerminkan harkat dan martabatnya sebagai imago Dei dalam praktik hidupnya.
Hal ini
menimbulkan berbagai pertanyaan yang sebenarnya bagi saya suatu hal yang sangat
memalukan dan membuat nama Agama Kristen menjadi buruk. dalam melakukan
penelitian saya mendapatkan jawaban baik yang ada direverensi maupun yang
didapat langsung dari hasil wawancara terhadap pendeta yang terlibat maupun
yang tidak terlibat dan masyarakat (dalam arti jemaat).
pertama bahwa
para pendeta masuk dalam dunia politik (partai politik) karena ketidakpuasan
ekonomi yang dimiliki dan bermimpi untuk hidup dalam kemewahan dan kekayaan di
atas penderitaan rakyat yang memilihnya. Dalam hal ini para pendeta sebenarnya
tidak layak karena dengan tugas yang mulia itu yang biasanya menyampaikan
firman untuk kehidupan warga jemaat berubah serentak menjadi orang yang membawa
dosa bagi warga jemaat.
Karena
bagi warga jemaat menyangkut dengan masalah dosa bukan hanya para pendeta yang
masuk dalam partai politik bahkan juga orang yang menjadi tim sukses darinya
juga turut memikul dosa pendeta tersebut. Dan bagi warga jemaat dengan satu
permintaan kepada para pendeta yang masuk dalam partai politik yaitu
sejahterakan jemaat dahulu baru ke partai politik.
Kedua, dari sebagian pendeta jemaat (pendeta pelayan
dan ketua jemaat) yaitu bahwa sebenarnya tugas dan tanggung jawab seorang yang
disebut pendeta yaitu berpolitik dalam hal hanya untuk membangun iman warga
jemaat dengan tujuan agar tetap setia dan taat pada ajaran Allah di dalam Yesus
Kristus, bagaimana mungkin masih banyak masalah yang terjadi di jemaat, contoh
salah satu masalah yang sering terjadi akhir-akhir ini di Jailolo yang pindah
ke agama lain (Kristen masuk Islam) dan juga terjadi perpecahan dalam jemaat.
Lalu bagaimana mungkin seorang pendeta yang tugas pastoralnya yakni membimbing,
menolong, berjalan bersama, kini meninggalkan warga jemaat demi dirinya
sendiri. Dan meninggalkan warganya yang sedang susah dan bermasalah apakah ini
yang diajarkan dalam kekristenan ?.
Oleh kerena itu yang seharus menjadi tujuan dari
keterlibatan pendeta dalam Partai Politik yaitu :
1.
Tujuan
Pelayanan/pembebasan. Politik penuh dengan kecenderungan destruktif yang
kemudian melahirkan penindasan dan belenggu bagi banyak orang. Dalam konteks
itu, gereja terpanggil untuk ikut serta dalam usaha pelayanan/pembebasan yang
dilakukan Allah (Lukas 4, Matius 25). Gereja perlu melayani mereka yang menjadi
korban permainan politik. Itu arti pertama pembebasan. Pembebasan yang kedua
adalah mewujudkan kekbebasan dan hak-hak asasi manusia dalam segala lepangan
kehidupan: agama, pendidikan, pekerjaan dst.
2.
Tujuan
missioner. Allah terpanggil untuk memberitakan kabar baik bagi dunia. Kabar
baik itu, antar lain diwujudkan dalam bidang politik. Gereja perlu berbicara
dan bersaksi tentang kebaikan Allah bagi semua manusia. Gereja perlu berbicara
tentang kerajaan Allah, pemerintahan Allah, yang mengatasi kekusaan dan
pemerintahan manusia.
3.
Tujuan
korektif. Para nabi dalam perjanjian Lama dan
Yesus Krsitus dalam perjanjian Baru
selalu melakukan koreksi terhadap dosa para pemimpin politik. Tugas
koreksi ini dapat dilakukan kalau gereja sendiri mampu memperlihatkan hidup
yang baik dan benar. Maka tujuan korektif ini dapat diartikan pula sebagai
tujuan pastoral atau tujuan pengembalaan. Tujuan pastoral adalah menimbulkan
kesadaran akan kasih Allah bagi mereka yang ingin berubah dan menyesali
kesalahannya.
4.
Tujuan
Normatif, yaitu untuk menegakan kebenaran di tengah kehidupan politik yaitu
menegakan keadilan dan mewujudkan kasih. Iman Kristen mengakui bahwa segala
kuasa ditangan Kristus , maka kuasa apapun di dunia ini harusnya mengacu pada
kekusaan Kristus. Kristus adalah wujud keadilan dan cintah kasih Allah. Maka
kekuasaan politik harus diarahkan untuk mewujudkan keadilan dan cinta kasih.
Dengan kata lain , tujuan keterlibatan gereja dalam politik agar “manusia lebih
taat kepada Allah, dari kepada manusia” (Kisah Para
Rasul 5:29).
5.
Tujuan
Eduktif, yaitu untuk mendidik warga gereja supaya peduli dan paham mengenai tugas
panggilannya di dunia. Gereja ada di dalam dunia dan diutus ke dalam dunia
(Yohanes 17). Gereja terpanggil untuk menjadi garam dan terang dunia (matius
5:13-16). Gereja dan warga gereja adalah warga kerajaan Sorga yang ada dan
hadir di dunia untuk mewujudkan tanda-tanda kerajaan Allah. Keterlibatan dalam
politik sekaligus berfungsi sebagai pendidikan politik bagi warga gereja.”[82]
Oleh
karena itu, jika kita berpolitik belajarlah dari gaya politik Tuhan dan
Juruselamat kita yakni Yesus Kristus yaitu politik Salib dan gaya politik Yohanes Pembaptis yang dengan
berani mengkritik Herodes Antipas yang walaupun tidak masuk dalam jajaran
pemerintahan (Lukas 3 :19). Dari kedua gaya
politik inilah yang harus dipelajari secara benar oleh para pendeta. Politik
Yesus dengan gaya
politik salib adalah politik rakyat bukan politik pemerintah atau penguasa.
Di dalam
politik salib ada dua gaya
yaitu etika merpati dan politik ular. Hal ini Seperti Yesus berkata kepada
Murid-murid-Nya supaya “tulus seperti merpati” (Matius 10:16). Yang lebih baik
berkorban dari pada mengorbankan orang lain. Dengan hal itu Yesus menganjurkan
sebuah ajaran yaitu jika ditampar berikanlah pipi yang sebelah lagi, juga
berikanlah baju serta jubah jika mereka memintah bajumu. Dan berjalanlah dua mil
jika mereka memintah berjalan satu mil (Matius 5:38-42). Ini adalah sebuah etika merpati yang luar
biasa. Tetapi Yesus juga tahu bahwa sebenarnya dunia ini diperintah bukan oleh
merpati-merpati tetapi oleh serigala-serigala. Seperti kata Yesus “Aku mengutus
kamu seperti domba ke tengah-tengah serigala” (Matius 10 :16).
Tetapi
Yesus tidak menginginkan murid-murid-Nya menjadi lugu dan tidak berdaya. Sehingga Ia
menasihati mereka supaya mereka “cerdik seperti ular” (matius 10 :16). Ular dalam
perintah Yesus adalah lambang kecerdikan, kewaspadaan, dan kearifan. Bukanlah
lambang kelicikan, tipu muslihat dan pengaruh jahat.
Ular
disini berarti kebijaksanaan politik dan bahkan strategi politik dalam
penggenapan misi di antara serigala-serigala untuk melaksanakan tugas diantara para pemimpin
agama dan politik yang bermain politik kekuasaan. Ketika etika merpati ditambahkan
dengan politik ular, maka dengan ajaran-ajaran Yesus seperti, jika ditampar dan
memberikan sebelah lagi, maka kita harus tahu apa yang kita perbuat dan lain
sebagainya.
Etika
merpati dan politik ular adalah suatu kesatuan yang tidak bisa dipisakan.
Karena etika merpati tampa
politik ular merupakan etika yang konyol, etika yang bodoh, dan sebaliknya
politik ular tanpa etika merpati adalah politik yang menyesatkan, yang
menindas, yang berbahaya, dan menghancurkan. [83]
Dengan
politik salib yang di dalamnya ada etika merpati dan politik ular yang di ajarkan
oleh Yesus adalah sebuah ajaran yang baik khususnya para aktivis Kristen atau
pada khususnya para pendeta dalam hal membangun dan menjaga jemaat agar tetap
utuh.
Dan yang
paling terutama yang perlu untuk diketahui oleh para pendeta yaitu bahwa ketika
kita berbuat sesuatu kita harus tahu mengapa kita berbuat demikian jangan hanya
mengambil sebuah keputusan tanpa memikirkan dengan matang. Bahwa para pendeta
yang masuk dalam partai politik adalah pendeta yang belum dewasa dan pendeta
yang tidak bertanggung jawab dalam tugas dan tangung jawabnya selaku pendeta.
Jika ingin menjadi anggota DPRD jangan dulu menjadi pendeta. Agar jangan
menjadikan jemaat sebagai tempat “persinggahan sementara.”[84]
Bagi penulis hal ini akan berlangsung terus menerus jika peraturan gereja tidak
ketat, dan jika pendeta tidak menghayati makna panggilannya.
Politik
Yesus adalah Politik Hati Nurani. Politik Yesus ini dinyatakan dengan melayani
mereka yang lemah dan tidak berdaya. Politik Yesus adalah politik pelayanan,
politik yang melayani mereka yang membutuhkan untuk dipulihkan harkat dan martabatnya
karena kemiskinan dan ketidakadilan sosial dan politik.
Politik
Yesus bukanlah politik manipulatif, yang tidak untuk memanipulasi kelemahan dan
kepentingan orang banyak demi kepentingan diriNya atau kelompokNya. Politik
Yesus adalah politik pengabdian dan pelayanan bagi kemanusiaan, bukan dalam
bentuk retorika belaka, tetapi dalam bentuk tindakan yang konkrit, Ia justrus
mengorbankan diri-Nya sendiri bagi
mereka dengan jalan rela disalibkan. Itulah sebabnya kematian Yesus adalah
sebuah kematian yang besifat politik. Bagi Yesus yang perlu untuk kita ketahui
adalah lebih baik berkorban dari pada mengorbankan orang lain, inilah politik
Salib.
Disini
jelas bahwa Yesus adalah seorang politisi yang berhati nurani, politisi yang
mengutamakan kepentingan, kebutuhan banyak orang atau kebutuhan bagi mereka
yang lebih membutuhkan perlindungan.
Namun
sayang sekali tafsiran pietis selalu memandang bahwa kematian Yesus hanya
secara rohani. Padahal kematian Yesus mempunyai alasan-alasan politik.
Yesus
dalam pelayanan dan pengabdian-Nya bagi kemanusiaan harus berhadapan dengan
kekuatan-kekuatan sosial, ekonomi, dan politik yang tidak manusiawi saat itu.
Memang tindakan politik Yesus hanyalah sebuah cerita dan apa yang dilakukan
oleh Yesus dalam cerita itu adalah sebuah
gaya
politik yang menghidupkan yang membangun
orang banyak.
Oleh
karena itu, para politisi Kristen harus belajar dari tindakan politik Yesus
yang bersifat menghidupkan itu. Hal itu akan mendorong peran seorang politisi
Kristen untuk selalu memiliki
kegelisahan-etis-kemanusiaan dengan selalu mengusahakan berbagai produk hukum
dan undang-undang serta peraturan pemerintah yang berfokus kepada usaha
civil-society atau masyarakat berkeadaban.
Peran
politik seperti inilah yang akan memperkuat rasa solidaritas antar elemen sosial bangsa yang memungkinkan
terciptanya habitus sosial politik yang baru tanpa perbedaan agama dan etnis
hanya dapat dirasakan sebagai anugerah Tuhan yang membuat kehidupan sosial ini
menjadi kehidupan sosial yang berbudaya.
Dalam bagian terakhir dari refleksi
atau analisis ini yang penulis mau katakan bahwa Kematian Yesus Kristus di
salib bukanlah karena Yesus Kristus kalah dalam pemerintahan atau dalam
parlemen tetapi kematian Yesus Kristus di kayu Salib adalah sebagai “kematian sang raja yang revolusioner” [85]
yang berhasil membawah perubahan politik dalam kehidupan orang Yahudi maupun
kerajaan Romawi pada saat itu sekaligus kematiannya Yesus Kristus di kayu salib
dengan iman bahwa itu merupakan penebusan atas dosa-dosa manusia.
BAB V
PENUTUP
Dalam bagian penutup ini merupakan
bagian terakhir dalam proses penulisan skripsi yang penulis angkat terkait
dengan mengkur latar belakang ilmu pengetahuan dan dari sisi etika tentang
pendeta yang masuk mencalonkan diri dalam partai politik yang terdiri dari
kesimpulan dan ditambah dengan pikiran rekomendatif atau saran yang coba
penulis ajukan. Maka dari itu bertolak dari bab I hingga bab IV maka yang dapat
penulis tarik sebagai kesimpulan dan saran yaitu :
A.
Kesimpulan.
Pendeta
adalah sebuah jabatan yang sakral dan sangat mulia karena diberikan langsung oleh Allah di dalam
Yesus Kristus lewat jemaat. dengan jabatan yang dipikulnya itu ditambah dengan
tugas dan tanggung jawabnya untuk mengupayakan kesejahteraan dan pertumbuhan
iman pada jemaat yang ia pimpin. Namun dalam perjalan sebagai seorang pendeta
bukanlah perjalanan tanpa bahaya atau tampa
cobaan, Ada
berbagai bahaya dan cobaan yang dihadapi oleh pendeta tergantung dari pandangan
para pendeta itu sendiri ada yang memahami pencobaan itu sebagai bahaya ataupun
sebagai berkat. Dan kaitan dengan cobaan
itu ada yang mempertahankan tugasnya sebagai pendeta dalam arti sebagai ketua
jemaat atau juga pendeta pelayan namun ada juga yang meninggalkan tugas dan
tanggung jawab sebagai pendeta untuk melayani di jemaat. Memang benar pendeta
juga adalah manusia yang terkadang bisa cenderung salah dalam mengambil sebuah
keputusan. Dan kesalahan dari pendeta tersebut bisa berakibat fatal bagi
pendeta itu sendiri, bagi jemaat dan juga bagi Gereja.
Tugas dan tanggung jawab para
pendeta hanyalah untuk jemaat karena sesuai dengan kompetensi ilmu yang
dimiliki bukan yang lain, khususnya pendeta GMIH dengan ilmu pengatahuan yang
dimiliki itu mempunyai tujuan khususnya pada masyarakat pedesaan atau
pembangunan masyarakat pedesaan bukan untuk menyusun PERDA dan menganggarkan
anggaran pembelanjaan daerah.
Dalam kaitan dengan ini ada sebagian
pendeta yang dengan ilmu berlatar belakang teologi itu berusaha masuk dalam
partai politik (Caleg) sehingga hal ini menjadi masalah, sekaligus pergumulan
besar untuk perjalanan kehidupan menggereja. Dan yang menjadi penyebab para
pendeta terjun ke dunia politik (partai politik) yaitu : Pertama, tidak
memahami, menghayati, dan bertanggung jawab dalam panggilan hidup sebagai
seorang pendeta. Kedua, jemaat sebagai tempat hidup pendeta kurang
memperhatikan kesejahteraan pendeta. Ketiga, Sinode sebagai pengontrol
perjalanan hidup menggereja tidak tegas dalam hal mengambil keputusan. Keempat,
menurut pandangan masyarakat bahwa yang menyebabkannya semuanya itu terjadi
karena keinginan atau ketidakpuasan ekonomi yang dimiliki oleh pendeta
tersebut. Namun ada juga yang turut setujuh dengan masuknya pendeta dalam
partai politik (Caleg) dengan alasan pendeta bisa membawa suara masyarakat yang
tertindas khususnya Kristen.
Dengan ilmu yang dimiliki oleh
pendeta itu sebagai seorang teolog maka penempatan yang cocok, harus yang
sesuai dengan ilmu yang dimiliki yaitu di jemaat bukan untuk di DPRD karena
secara de fakto membuktikan bahwa dalam perjalan sebagai anggota wakil rakyat ternyata
pendeta tidak bisa berbuat apa-apa dalam arti bahwa tidak mampu melaksanakan
tugas-tugas ke-dewan-an yang ia tempati.
Dalam penelitian yang dilakukan yang
menjadi korban dari ulah para pendeta dengan memaksakan diri untuk masuk dalam
partai politik yaitu jemaat yang akan menerima semuanya itu, jemaat akan
mengalami krisis kepemimpinan oleh karena seseorang yang memimpin mereka lari
meninggalkan mereka karena beralasan berjuang untuk kepentingan rakyat. Lalu
apakah jemaat bukan rakyat ?.
Maka dari itu seperti yang telah
ditawarkan oleh Eka Darmaputra tentang pendeta seharusnya Bac To Basic yaitu bahwa pendeta seharusnya sadar dengan keadaan
dirinya untuk kembali menjadi seorang pelayan Tuhan di dalam jemaat dengan
tujuan untuk membantu menumbuhkan iman warga jemaat.
Dalam pengembangan selanjutnya
ternyata sebagian besar jemaat tidak lagi percaya ataukah mereka telah mengerti
tentang tugas dan panggilan seorang pendeta hal ini telah dibuktikan pada saat
pengumumann penetapan anggota legislatif yaitu dengan hanya lolosnya satu orang
pendeta ke kursi legislatif.
B.
Saran.
Dari hasil proses
penulisan ini maka yang coba disarankan oleh penulis adalah :
- Semua pendeta perlu untuk melihat kembali, memahami, mengahayati, dan sadar tentang panggilan atau pilihan hidupnya sebagai seorang pendeta dan juga harus benar-benar siap untuk melayani jemaat yang ia pimpin secara baik.
- Khususnya pendeta yang masuk dalam partai politik (caleg) (latar belakang pengetahuan S1) jangan memaksakan diri dengan ilmu yang dimiliki karena hanya akan membuat masalah bagi gereja dan khususnya bagi jemaat yang menjadi korban.
- Bagi Badan Pekerja Harian Sinode (BPHS) harus tegas dan bijaksana dalam melihat masalah yang terjadi di GMIH menyangkut keterlibatan pendeta dalam partai politik. Dan dalam hal mengeluarkan suatu keputusan harus tegas jangan atas dasar kepentingan.
- Sebaiknya BPHS mengeluarkan surat keputusan dengan ketegasan tentang pelepasan jabatan pendeta jika mencalonkan diri sebagai anggota lebgislatif.
- Bagi Badan Pekerja Harian Majelis Jemaat (BPHMJ) yang bertugas bersama-sama dengan pendeta dalam membangun bersama jemaat tersebut perlu adanya untuk memperhatikan kesejahteraan jemaat.
- Khususnya bagi jemaat haruslah dengan arif, bijaksana, dan berpendirian dalam melihat pemimpinnya di jemaat (pendeta). Berkaitan dengan pilihan hidup pendeta jika memilih untuk caleg ataukah untuk melayani.
DAFTAR PUSTAKA
KAMUS DAN ALKITAB
Salim Peter & Salim Yenny. Kamus Bahasa
Konten porer
Barry
Dahlan Al, Kamus Modern BI, Yogyakarta
: Arkola, 1994..
Alkitab. Jakarta. Lembaga Alkitab Indonesia. 2001
BUKU-BUKU KARANGAN :
Bidiardjo
Miriam, Dasar-dasar ilmu politik, Jakarta:
Gramedia pustaka utama, 2005.
Bidiardjo
Miriam. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta
: Gramedia Pustaka Utama, 2008
Borrong
Robert.B. Etika Politik Kristen, Jakarta
: SST Jakarta, 2006.
Darmaputera
Eka. Pergulatan kehadiran Kristen Di Indonesia. Jakarta : BPK-GM. 2001.
Hargens
Boni.10 Dosa Politik SBY-JK (kumpulan catatan penderitaan rakyat). Jakarta : Parrhesia Institute, 2007.
Jimung
Martin, Teori Pembangunan Politik di Indonesia dalam Praktek Yogyakarta : yayasan pustaka nusatama, 2006.
Kealy Sean P. Yesus
dan Politik. Yogyakarta : Pustakan
Nusatama, 2006.
Mojau.J
dan Drewes.B.F, Apa itu Teologi? “pengatar ke dalam ilmu teologi, Jakarta :BPK-GM, 2003.
Mojau.
J. Teologi Politik Pemberdayaan, Yogyakarta
: Kanisius, 2009.
Rohman
Arif. Politik Ideologi Pendidikan. Yogyakarta : LMJ (LaksBang Mediatama Yogyakarta, 2009
Sirait
Saut, Politik Kristen di Indonesia, Yogyakarta:
BPK-GM, 2001.
Surbakti
Ramlan. Memahami Ilmu Politik. Jakarta
: Grasindo, 1992.
Song.
C.S. Sebutkanlah nama-nama Kami, Jakarta:
BPK GM, 1993.
Singgih
E.G. Iman Politik dalam Era Reformas. Jakarta : BPK-GM, 2004.
Singgih.
E.G. Bergereja, Berteologi dan Bermasyarakat. Yogyakarta : Taman
Pustaka Kristen. 1997.
Wibowo
Eddi (ed), Ilmu Politik Kontemporer, Yogyakarta
: YPAPI, 2004
UU
RI No 2 Tahun 2008. Tentang Partai politik. Yogyakarta
: Pustaka Fahima, 2008.
KORAN/MAJALAH/TABLOID/DOKUMEN/SKRIPSI:
Hutabarat
M. Pahala. Umat Kristen Mengahadapi pemilu 2009. Berita Oikumene Maret
2009
Sumampouw
Jerry. Umat Kristen Mengahadapi pemilu 2009. Berita Oikumene. Maret 2009
Berita Oikoumene. Politik atau
Politisasi Agama. Edisi : Agustus 2008
Tabloit Percis edisi III tahun II. Legislator
dan kesejateraan Rakyat. Tobelo :2008.
Tabloit
Percis Halmahera: kemerdekaan berpolitik.
Edisi VI. Tobelo 2008
Dokumen
Sidang Sinode GMIH Ke XXVI.
Jemaat Tiga Saudara. IBU. Hal-Bar :2007
Harian
Umum. Ternate Pos. 01 November 2008
Tjaja
Broery. D.P. Skripsi, Peran Politis Pendeta GMIH Dalam pembangunan Jemaat.
Tahun : 2007
Elfira
F.A. Mozes. pendeta sebagai motivator . Skripsi , STT GMIH Tobelo.
WAWANCARA LANGSUNG
DAN TIDAK LANGSUNG :
Baura Yuliche Dolvina
(Caleg PDIP).
Eni Minggus (Caleg
PDS).
Flori Ester Caleg
(PDS Prov).
Gereja Adelberth (Caleg
PPD)
Hady Herland (Caleg
PKP).
HiorumLetti u (Ket. Jemaat Jati)
Hodja. A. (Caleg
PDS).
Kucame Grace (Ket. Jemaat Gamtala)
Kumihi Aknes ( Ket. Jemaat Idamdehe)
Leaua Anita (Ket. Jemaat Tacici
Lube-pinotoan Esra (Ket. Jemaat Tedeng)
Lulungan Herry
Mani Aprilo
Mara Ronald
Paramata Hermanus
Parmino Hofni (Ket. Jemaat Worat-worat).
Pattimukai Oktovianus (Ket. Jemaat Todowongi)
Pulo Simson (Ket Jemaat Hoku-hoku Kie)
Raffane Ausalmon
(Caleg PDIP).
Rajabaikole Julius (Ket. Jemaat Akelamo)
Salawangi Dortea (Ket. Jemaat Taboso)
Sale
Imanuel (Caleg PDS).
Sapa-Goliat Y. (Ket. Jemaat Balisoan).
Saya Ahmad (Caleg PDS).
Silinaung Lili
Sowo Kr. (Ket. Jemaat Porniti)
Vaitje Yarden (Ket Jemaat Gomomeng).
[1] Martin Jimung., Teori
Pembangunan Politik di Indonesia
dalam Praktek, Yogyakarta : Yayasan
Pustaka Nusatama, 2006, hlm.116.
[2] Saut Sirait., Politik Kristen di Indonesia, Yogyakarta :BPK GM, 2001. hlm. 22.
[3] Dahlan Al Barry, Kamus Modern BI, Yogyakarta
: Arkola, 1994. Hlm. 521.
[4] Boni Hargens. 10 Dosa Politik SBY-JK. Jakarta :Parrhesia Institute. 2007. Hlm.
152-153
[5] Arif Rohman. Politik Ideologi Pendidikan. Yogyakarta:
LMJ.. 2009. hlm : 25-26.
[6] Miriam Bidiardjo., Dasar-dasar
ilmu politik, Jakarta :Gramedia pustaka utama, 2005. hlm.
161
[7] Pendeta yang hanya menjadikan Jemaat sebagai sebuah tempat untuk
mencari masa atau pendukung dengan tujuan menjadi seorang anggota legislatif
(DPRD
[8] Robert.B. Borrong., Etika
Politik Kristen, Jakarta
: SST Jakarta, 2006. hlm. 3.
[9] M. Pahala Hutabarat., “Umat Kristen Mengahadapi pemilu 2009” Berita
Oikumene, Maret 2009. Hlm.10
[10] Jerry Sumampouw., , “Umat Kristen Mengahadapi pemilu 2009” Berita
Oikumene, Maret 2009. Hlm.25
[11] Jailolo dan Sahu Secara umum.
[12] Peraturan GMIH tentang keikutsertakan pelayan khusus dalam dunia
politik. Bulletin GMIH .Sangkakala, edisi ke-XX. Agustus-september :
2008. hlm : 24
[13] Peraturan GMIH. tentang
keikutsertakan…, hlm:25
[14] Pdt. Ahmad Saya (anggota DPRD). Pdt Minggus Eni (anggota DPRD).
Pdt Adelberth Gereja (Ket Jemaat Ngaon).
Pdt Ausalmon Raffane (Ket Jemaat Idam gamlamo). Pdt. Herland Hady (Ket Jemaat
Akediri) Pdt . A. Hodja (Ket. Jemaat Loce) Wawancara. Kamis, 23 april-Jumat , 24 April 2009
[15] Jailolo :Pdt Marthianus Wongi (RepublicaN).Pdt Nasum Mouw
(Pedulirakyat Nusantara).Pdt Imanuel Saleh (PDS). Pdt Ester Flori (PDS Prov).
Pdt Yosias (PDS). Pdt Yuliche Dolvina Baura (PDIP). Pdt .A. Hodja. Pdt
Ishak Tou (Caleg Kab. Halsel)
Sahu
: Pdt Minggus Eni (PDS). Ahmad Saya (PDS). Pdt Salmon Kaomaneng (PDS).
Pdt Ausalmon Raffane (PDIP). Herland Hady (PKP). Adelberth Gereja (PPD)
[16] Pdt Imanuel Sale (Ket jemaat Tetewang). Pdt Yuliche Dolvina Baura
(Ket Jemaat Soakonora). Wawancara. Senin, 30 maret 2009.
[17]Pdt. DR. J. Mojau.. Pendeta Dan Partai Politik. Berita
Oikoumene Edisi : Agustus 2008
[18] Politik praktis adalah usaha secara terbuka untuk membuat
masyarakat atau umat menjadi berdaya dan dapat dilakukan baik gereja maupun
pemerintah dan berbeda dengan partai politik adalah usaha untuk merebut
kekuasaan dalam pemerintahan.
[19] Pdt. Dortea Salawangi (Ket. Jemaat Taboso). Pdt Simson Pulo (Ket
Jemaat Hoku-hoku Kie) dan Pdt Anita Leaua (Ket. Jemaat Tacici).Pdt Kr. Sowo
(Ket. Jemaat Porniti). Wawancara. Minggu,
05 April dan kamis 23 April 2009
[20] .. Lili Silinaung. Wawancara. Minggu, 22 Maret 2009
[21]. Pdt Esra lube-pinotoan (Ket. Jemaat Tedeng). Wawancara .Kamis
19 maret 2009
[22] Pdt Grace Kucame (Ket. Jemaat Gamtala). Pdt Letti Hiorumu (Ket. Jemaat
Jati). Pdt Aknes Kumihi ( Ket. Jemaat Idamdehe). Pdt. Oktovianus Pattimukai
(Ket. Jemaat Todowongi). Pdt Hofni Parmino (Ket. Jemaat Worat-worat). Pdt
Julius Rajabaikole (Ket. Jemaat Akelamo) Pdt Yarden Vaitje (Ket Jemaat Gomomeng). Pdt. Y. Sapa-Goliat
(Ket. Jemaat Balisoan). Wawancara. Kamis, 23 april-Jumat , 24 April 2009
[23] Hermanus Paramata. Wawancara, Selasa, 24 Meret 2009
[24] Ronald Mara. Wawancara.Rabu, 22 April 2009
[26], Herry Lulungan. Wanwancara Senin , 6 April 2009.
[27] Anselmus Puasa. Kemerdekaan berpolitik. Tabloit Percis Halmahera: Edisi VI. Tobelo 2008. hlm :6
[28] Anselmus Puasa. Mth. Kemerdekaan…,
hlm :6
[29]Pdt. DR. J. Mojau : Pendeta…, Tabloit Percis Halmahera: Edisi VI. Tobelo 2008. hlm : 11
[30] Pdt. DR. J. Mojau. Pendeta …, hlm : 12
[31] Pdt. DR. J. Mojau. Pendeta …, hlm : 12
[32] Pdt. Demianus Ice. “Legislator dan kesejateraan rakyat”. Tabloit
Percis Halmahera: Edisi III. Tobelo 2008.
hlm. 12
[33] Broery. D. P. Djaja. Skripsi.
Peran Politis pendeta dalam pembangunan Jemaat.Yang dikutip dari
Agustinus Y. Dan Mianto N.A. dalam Majalah BINA DARMA no : 57 . hlm 24. Hal ini
jelas termuat dalam Prasasti Mataram mengenai Etika Ksatria atau Priyayi.
[34] Broery. D. P. Djaja. Skripsi. Peran Politis pendeta dalam pembangunan
Jemaat. Yang dikutip dari. Dieker Bekker, Pedoman dogmatika : Suatu
Kompedium Singkat, Jakarta
: BPK-GM. 2001. Hlm: 178
[35] Dokumen Sidang Sinode GMIH Ke XXVI. Jemaat Tiga Saudara. IBU.
Hal-Bar :2007. hlm.109
[36] Emanuel.G. Singgih., Bergereja, Berteologi dan Bermasyarakat,
Yogyakarta : TPK, 1997. Hlm. 31.
[37] Dokumen Sidang Sinode GMIH Ke XXVI. Jemaat Tiga Saudara. IBU.
Hal-Bar :2007. hlm.
109-110.
[38] Dokumen Sidang Sinode GMIH Ke XXVI. Jemaat Tiga Saudara. IBU.
Hal-Bar :2007. hlm. 110.
[39] Lihat. Tata Gereja. Dan Tata Rumah Tangga GMIH. Pasal 53 tentang
Tugas dan tanggung jawab pendeta atau ketua jemaat.
[40] A.F. Parengkuan. Makna Pentahbisan pendeta. (Meteri pada Saat
Konven GMIH) di Jemaat Betlehem WKO Wosia Tobelo. 2008.
[41]Elfira F.A. Mozes. “pendeta sebagai motivator” . Skripsi ,
Tobelo. Halaman : 37-39
[43] Eddi Wibowo. et.al., Ilmu Politik Kontemporer. Yogyakarta : YPAPI. 2004. Hlm. 67-68
[45] J. Mojau. “politik atau
politisasi Agama?”. Berita Oikumene Agustus.2008. Hlm :28
[46] UU RI No 2 Tahun 2008 tentang partai politik. Penerbit : Pustaka
Fahima. Yogyakarta : 2008. hlm : 11
[47] Ramlan Surbakti. Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Grasindo. 1992. Hlm : 116
[48] Lihat UU PARPOL No 2 Tahun 2008 tentang Fungsi partai politik.
[49] Eddi Wibowo et.al., Ilmu…, Hlm :70-76
[50]Ramlan Surbakti. Memahami…, Hlm: 119-121
[51]Ramlan Surbakti. Memahami…, Hlm : 116
[52] Lihat . Tata Gereja GMIH…
[53] Lihat, Peraturan 370 GMIH ...
[54]Pdt Amos Puasa.. “Pendeta dan partai politik”. Tesis. Yogyakarta:
UKDW. 2005. Hlm : 108
[57] J. Mojau. Teologi…, Hlm: 66-67.
[58]Robert P. Borrong. Etika …, hlm. 7
[59] Robert P. Borrong. Etika …, Hlm. 8
[60] C.S. Song. Sebutkanlah nama-nama Kami. Jakarta : BPK GM. 1993. Hal :217
[61] E.G. Singgih. Iman Politik dalam Era Reformasi. Jakarta :BPK-GM. 2004.
hlm.35-39.
[62] Robert.B. Borrong., Etika…, Hlm.9
[63] Boni Hargens. 10 Dosa …,Hlm : 158
[64] J. Mojau. Teologi…, Hlm: 124
[65] Kegelisaa- etis-kemnusiaan yaitu
peka atau peduli terhadap orang-orang yang menjadi korban kekuasaan atau korban
diskriminasi bangsa.
[66] J. Mojau. Teologi...,
Hlm: 125
[67] Tahun 2004 : 8 orang pendeta.
sedangkan pada Tahun 2009 : 14
pendeta.
[68] B.F. Drewes, dan J. Mojau. Apa itu Teologi? “pengatar ke dalam
ilmu teologi” . Jakarta :BPK-GM. 2003. hlm : 11-13
[69] Pastor desa/pendeta dan tidak di tambah dengan hal-hal yang lain
itu berarti bahwa ilmu yang di miliki itu barfokus pada pembangunan masyarakat
desa khususnya jemaat. Kurikulum STT GMIH TOBELO tahun 1997.
[70] Debat kandidat Caleg, Gamnyial, sabtu 28 Maret 2009
[71] Ramlan Surbakti. Memahami…, Hlm : 325-326
[72] “Legislator dan kesejateraan Rakyat”. Tabloit Percis edisi III tahun II. Tobelo
:2008. Hal : 13.
[73] Eka Darmaputera., Pergulatan Kehadiran Kristen Di Indonesia.
Jakarta :
BPK-GM.2001. hlm. 826-827
[74] Eka Darmaputera. Pergulatan…, hlm. 561
[75] pendeta mengharapkan pengertian jemaat bahwa ia adalah manusia
biasa; jemaat pada umumnya punya harapan lebih bahkan ada yang berbeda
pendepat, belum lagi persaingan antar pendeta
[76] Eka Darmaputera. Pergulatan…, hlm. 562-563
[77] Eka Darmaputera. Pergulatan…, hlm. 562
[78] J. Mojau. Teologi Politik pemberdayaan, teologi politik pasca
orde baru. Tobelo :2006. hlm :26
[79] Peter Salim & Yenny Salim. Kamus Bahasa Indonesia Konten
porer. Hlm : 1099
[80] Buku Panduan pemantau Pilkada. Jaringan pendidikan pemilih untuk
rakyat (JPPR). Hlm : 30
[81] J. Mojau. Teologi Politik…, Hlm.20.
[82] Robert P. Borrong. Etika Politik Kristen. Penerbit: UPI & PSE
STT Jakarta. Jakarta : 2006. hlm :5-6
[83] C.S. Song. Sebutkanlah…, Hlm. 234-235
[84] Pendeta hanya menjadikan jemaat sebagai tempat dimana bertujuan
mencari masa untuk mendukungnya ketika mencalonkan diri menjadi anggota
legislatif.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar