1. Semiotika
Semiotika
berasal dari kata Yunani : semeion,
yang berarti tanda. Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda.
Tanda-tanda tersebut menyampaikan suatu informasi sehingga bersifat
komunikatif. la mampu menggantikan sesuatu yang lain yang dapat dipikirkan atau
dibayangkan Cabang ilmu ini semula berkembang dalam bidang bahasa, kemudian
berkembang pula dalam bidang seni rupa dan desain komunikasi visual ada juga
yang berpendapat bahwa semiotika adalah
cabang ilmu yang berurusan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang
berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi
penggunaan tanda.
Dalam
teori semiotika ini barthes mamakai kata SEMIOLOGI dalam kaitan dengan mitos.
Barthes memandang mitos sebagai satu tipe untuk berkata ( a Type of Speech).
Speech, seperti akan dibahas lebih lanjut dalam konsep semiologi, bagi Barthes,
tidak terbatas dalam bentuk oral saja melainkan juga gambar, film, seni,
olaraga, pertunjukan dll. Mitos akan menyentuh kita melalui media yang
tersedia. Apapun bgi Barthes di dunia ini bisa jadi mitos, asalkan dia dapat
dibahasakan. Oleh karena itu, mitos merupakan salah satu bidang yang dikaji
melaui semiologi. Ditambah bahwa bahasa stuktuktur bahasa hanyalah model bagi
tanda selain bahasa.”[1]
Teori ini dikemukakan oleh Roland Barthes (1915-1980), dalam
teorinya tersebut Barthes mengembangkan semiotika menjadi 2 tingkatan
pertandaan, yaitu tingkat denotasi dan konotasi. Denotasi adalah tingkat
pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda pada realitas,
menghasilkan makna eksplisit, langsung, dan pasti. Konotasi adalah tingkat
pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda yang di dalamnya
beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti.
Roland Barthes adalah penerus
pemikiran Saussure. Saussure tertarik pada cara kompleks pembentukan kalimat
dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan makna, tetapi kurang tertarik pada
kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja menyampaikan makna yang berbeda pada
orang yang berbeda situasinya.
Roland
Barthes meneruskan pemikiran tersebut dengan menekankan interaksi antara teks
dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya, interaksi antara konvensi
dalam teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya.
Gagasan Barthes ini dikenal dengan
mencakup denotasi (makna sebenarnya sesuai kamus) dan konotasi (makna
ganda yang lahir dari pengalaman kultural dan personal). Di sinilah titik
perbedaan Saussure dan Barthes meskipun Barthes tetap mempergunakan istilah
signifier-signified yang diusung Saussure. Barthes juga melihat
aspek lain dari penandaan yaitu “mitos” yang menandai suatu masyarakat. “Mitos”
menurut Barthes terletak pada tingkat kedua penandaan, jadi setelah terbentuk
sistem sign-signifier-signified, tanda tersebut akan menjadi penanda baru yang
kemudian memiliki petanda kedua dan membentuk tanda baru. Jadi, ketika suatu
tanda yang memiliki makna konotasi kemudian berkembang menjadi makna denotasi,
maka makna denotasi tersebut akan menjadi mitos.
2. Komodifikasi”[2]
Komodifikasi
merupakan istilah baru yang mulai muncul dan dikenal oleh para ilmuwan
sosial. Komodifikasi mendeskripsikan cara kapitalisme melancarkan tujuannya dengan
mengakumulasi kapital, atau, menyadari transformasi nilai guna menjadi nilai
tukar. Komoditas dan komodifikasi adalah
dua hal yang memiliki hubungan objek dan proses, dan menjadi salah satu indikator kapitalisme
global yang kini tengah terjadi. Dalam ekonomi politik media komodifikasi
adalah salah satu bentuk penguasaan media selain strukturasi dan spasialisasi. Komodifikasi merupakan
bentuk transformasi dari hubungan, yang awalnya terbebas dari hal-hal yang
sifatnya diperdagangkan, menjadi hubungan yang sifatnya komersil.
Komodifikasi menurut
Vincent Mosco digambarkan
sebagai cara kapitalisme dengan
membawa akumulasi tujuan
kapitalnya atau mudahnya dapat
digambarkan sebagai sebuah perubahan nilai fungsi atau guna menjadi sebuah
nilai tukar. Dan sekarang ini telah sangat banyak sekali bentuk komodifikasi
yang muncul dalam perkembangan kehidupan manusia. Karena
mulai banyak juga
yang dijadikan komoditas
oleh manusia.
Komodifikasi
intrinsic atau komodifikasi isi merupakan proses perubahan pesan dari kumpulan
informasi ke dalam system makna dalam wujud produk yang dapat dipasarkan. Atau
dalam penjelasan lainnya disebut sebagai proses mengubah pesan da sekumpulan
data ke dalam system makna sedemikian rupa sehingga menjadi produk yang bisa
dipasarkan
Komodifikasi
ekstrinsik atau komodifikasi khalayak merupakan proses modifikasi peran
pembaca/khalayak oleh perusahaan media dan pengiklan, dari fungsi awal sebagai
konsumen media menjadi konsumen khalayak selain media. Hal inilah dari yang
dijual kepada pengiklan. Pada proses ini, perusahaan media memproduksi khalayak
melalui sesuatu program/tayangan untuk selanjutnya dijual kepada pengiklan.
Terjadi proses kerja sama yang saling menguntungkan antara perusahaan media dan
pengiklan, dimana peusahaan media digunakan sebagai sarana untuk menarik
khalayak, yang selanjutnya di jual kepada pengiklan
Komodifikasi
sibernetik terkait dengan proses mengatasi kendali dan ruang. Instrinsik
komodifikasi merupakan proses media melakukan pertukaran dengan rating,
sedangkan untuk extrinsic komodifikasi menjangkau seluruh kelembagaan sosial
sehingga akses hanya dimiliki media.
Dalam
proses komodifikasi ini, sesuatu diproduksi bukan terutama atas dasar nilai
guna, tetapi lebih pada nilai tukar. Artinya sesuatu di produksi bukan
semata-mata memiliki kegunaan bagi khalayak, tetapi lebih karena sesuatu itu
bisa dipertukarakan di pasar. Dengan demikian orientasi produksi bukan untuk
memenuhi kebutuhan objektif masyarakat tetapi lebih mendorong akumulasi modal.
Selain
melahirkan Teori Kritis, sesungguhnya masih banyak hal lain yang diupayakan
Mazhab Frankfurt. Di antaranya adalah pengawinan Marxisme dengan psikoanalisis,
studi tentang otoritarianisme dan kritik budaya massa. Ini semua mereka lakukan
dalam rentang waktu 1925 sampai 1950, sebagaimana yang terekam dalam buku ini.
Sebagai buku sejarah, buku Sejarah Mazhab Frankfurt ini mencoba memotret
dinamika yang terjadi di dalam Mazhab Frankfurt, proses yang harus dilewatinya
dalam melahirkan karya-karya brilian yang hingga saat ini masih diperhitungkan
di kancah ilmu-ilmu sosial, sampai perbenturan pemikiran dan kepentingan dengan
pihak kawan maupun lawan. Mazhab
Frankfurt beranggotakan cendekiawan-cendekiawan senasib-sepenanggungan yang
mengalami remuk redamnya peradaban umat manusia di Eropa pada paruh pertama
abad XX. Mereka gelisah, mereka cemas dan oleh karena itu merasa harus
bertindak dengan cara mereka sendiri demi mempertanggungjawabkan karunia
kecerdasan dan hati nurani yang mereka miliki. Latar belakang inilah yang
menyatukan mereka ke dalam satu visi dan misi sekaligus aksi yang kemudian
mengkristal menjadi sebuah mazhab. Max
Horkheimer dikenal sebagai peletak pertama Teori kritis yang dikenal dan
makin ramai diperbincangkan saat ini, tokoh ini dikenal sebagai Direktur pada
Institut fur Sozialforschung (institute Penelitian Sosial) di Frankfurt yang
didirikan pada tahun 1923. Proyek teori kritis ini adalah pengembangan dari
filsafat kritis yang telah dirintis sejak zaman si Hegel dan Karl Marx.
Marxisme yang
dikenal oreh para penggemar ilmu sosial sebagai pemantik ide-ide kritis tentu
saja mempengaruhi pikiran-pikiran Horkheimer, namun ia mendekati Marxisme
(ortodoks) dengan perdekatan akademis-filosofis yang diharap dapat
berkontribusi secara jelas dalam kehidupan masyarakat. Dia berusaha
mengembalikan Marxisme kepada filsafat kritis dengan memadukannya dengan
pemikiran kritisisme Kant,Hegel,dan juga metode psikoanalisis Freud. Dalam
mengembangkan teori kritis, dia bersama dua kawan lainnya, yaitu Theodor
Adorno dan Herbert Marcuse mulai melontarkan kritik-kritik tajam
terhadap masyarakat industri maju pada tahun 1960-an. Ketiga tokoh termsyur
inilah yang kemudian dikenal sebagai pelopor Mazhab Frankfurt (die Frankfurter
Schule). Setidaknya, ada enam tema yang menjadi fokus perhatian mereka dalam
pengembangan teori kritis sebagaimana dirumuskan oleh Habermas, salah satu
tokoh mazhab Frankfurt yang brilian, yaitu: bentuk-bentuk integrasi sosial
masyarakat postliberal, sosialisasi dan perkembangan ego, media massa dan
kebudayaan massa, psikologi sosial protes, teori seni dan kritik atas
positivesme. Dengan tema ini, teori kritis kemudian menjadi popular, apalagi di
golongan gerakan mahasiswa yang memang terinspirasi oleh pemikiran-pemikiran
kritis mazhab Frankfurt, popularitas teori ini di ranah gerakan mahasiswa
inilah sehingga istilah “The New Left Movement” (gerakan kiri baru) juga
numpang popular.
yang mencolok
dari mazhab Frankfurt bahwa teori kritis yang dilandasi rasio kritis itu
sendiri berubah menjadi mitos atau ideologi dalam bentuk baru. Emansipasi
masyarakat (memerangi proses mekanisasi masyarakat dalam bentuk sistem ekonomi
dan administrasi birokratis), yang menjadi keprihatinan mereka, dilukiskan
sebagai gerakan sia-sia dalam mitos demi mitos yang tak kunjung habis. Kritik
senada dilontarkan Marcuse dalam One-Dimensional Man. Dalam karya ini, situasi
masyarakat industri maju dilukiskan sebagai masyarakat berdimensi tunggal.
Dengan hilangnya dimensi kedua, negasi atau perlawanan terhadap sistem masyarakat
hanya mengadaptasi dominasi total teknokratisme.
4. Teori kritis”[4]
Teori kritis adalah sebuah aliran pemikiran yang menekankan
penilaian reflektif dan kritik dari masyarakat dan budaya dengan menerapkan
pengetahuan dari ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Sebagai istilah, teori kritis memiliki dua makna
dengan asal-usul dan sejarah yang berbeda: pertama berasal dari sosiologi dan yang kedua berasal dari kritik sastra, dimana digunakan dan diterapkan sebagai istilah umum
yang dapat menggambarkan teori yang didasarkan atas kritik; dengan demikian,
teori Max Horkheimer menggambarkan teori kritis adalah, sejauh berusaha
"untuk membebaskan manusia dari keadaan yang memperbudak mereka.
Dalam filsafat,
istilah teori kritis menggambarkan filosofi neo-Marxis dari Frankfurt School, yang dikembangkan di Jerman pada 1930-an. Teori Frankfurt menarik tentang
metode kritis Karl Marx dan Sigmund Freud. Teori Kritis menyatakan bahwa ideologi adalah kendala utama untuk pembebasan manusia. Teori
Kritis didirikan sebagai sebuah sekolah pemikiran terutama oleh lima tokoh
teori Mazhab Frankfurt: Herbert Marcuse, Theodor Adorno, Max Horkheimer, Walter Benjamin, dan Erich Fromm. Teori kritis modern telah bertambah dipengaruhi oleh
György Lukacs dan Antonio Gramsci, serta generasi kedua sarjana Mazhab Frankfurt,
terutama Jürgen Habermas. Dalam karya Habermas, teori kritis melampaui akar
teoritis dalam idealisme Jerman, dan berkembang lebih dekat dengan pragmatisme Amerika. Kepedulian terhadap "dasar dan suprastruktur" sosial adalah
salah satu yang tersisa dari konsep filsafat Marxis di banyak teori kritis
kontemporer.
Sementara teori
kritis telah sering kali didefinisikan sebagai intelektual Marxis,[ kecenderungan
mereka untuk mengecam beberapa konsep Marxis dan untuk menggabungkan analisis
Marxian dengan tradisi sosiologis dan filosofis lainnya telah menimbulkan
tuduhan revisionisme oleh para Klasik, Ortodoks, dan Analisis Marxis, dan oleh
filsuf Marxis Leninis. Martin Jay telah menyatakan bahwa generasi pertama teori kritis
paling baik dipahami dengan tidak mempromosikan agenda filosofis tertentu atau
ideologi tertentu, tetapi sebagai "pengganggu dari sistem lain.
5.
Teori
Postkolonial”[5]
Secara
Etimologis, postkolonial berasal dari kata post dan kolonial, sedangkan kata
kolonial itu sendiri berasal dari akar kata Colonia, bahasa romawi yang berarti
tanah pertanian atau pemukiman.jadi,secara etimologie kolonial tidak mengandung
arti penjajahan,penguasaan,pendudukan,dan konotasi eksploitasai lainnya. Dikaitkan
dengan pengertian kolonial terakhir maka negara-negara eropa modern bukanlah
kolonias yang pertama.
menurut
Shelley walia proyek postkolonialisme pertama kali dikemukakan oleh frantz
fanon denga bukunya yang berjudul Black skin,White mask and wretched of the
earth(1967). Fanon menyimpulkan bahwa melalui dikotomi kolonial, penjajah-penjajah,wacan
oriental telah melahirkan alienasi dan marginalisasi psikologis yang sangat
dahsyat. Gayatri Chakravorty spivak, homi k. Bhabha, jaques Derrida, dan
tzvetan todorov. Mengatakan bahwa yang dimaksud dengan teori postkolonial
adalah teori yang digunakan untuk menganalisis berbagai gejala cultural,
seperti:sejarah, politik, ekonomi, sastra dan sebainya. Pada umumnya
gejala-gejala kultural tersebur terkandung dalam berbagai teks studi mengenai
dunia timur. Visi postkolonial tidak ada kaitan dengan masalah-masalah sosial
politis secara praktis. Dalam analisis, khususnya karya sastra, tidak mesti
dikaitkan dengan intensi pengarang. Kebesaran, demikian juga kegagalan sebuah
karya tidak di sebabkan oleh adanya unsur-unsur oriental. Melainkan bagaimana
unsur-unsur tersebut ditampilkan secara estetis.Visi postkolonial menelusuri
pola-pola pemikiran kelompok orientalis dalam rangka membangun superioritas
barat.dengan konsekuensi logis terjadinya inferioritas timur.
Ciri
khas postkoloniallisme dibangdingkan dengan teori-teori postmodernis yang lain
adalah kenyataan bahwa objeknya adalah teks-teks yang berkaitan dengan wilayah
bekas jajahan imperium eropa.khususnya indonesia.dengan masa kolonisasi yang
cukup lama,sekitar tiga setengah abad.sangat mudah untuk dibayangkan bahwa
berbagai kajian telah tersebar luas,baik dieropa maupun indonesia.teks yanmg
dimaksud perlu dikaji kembali menurut kaidah-kaidah postkolonialis,sehingga
melahirkan pemahaman yang berbeda sesuai dengan kepentingan nasional.
6. Post-Strukturalisme
Bila strukturalis melihat keteraturan dan stabilitas dalam sistem bahasa, maka
Jacques Derrida, tokoh utama pendekatan post-strukturalisme melihat bahasa tak
teratur dan tak stabil. Derrida menurunkan peran bahasa yang menurutnya hanya sekedar “tulisan” yang tidak memaksa
penggunanya, dia juga melihat bahwa lembaga sosial tak lain hanya sebagai
tulisan, karena itu tak mampu memaksa orang. Konteks yang berlainan memberikan
kata-kata dengan arti yang berlainan pula. Akibatnya sistem bahasa tak
mempunyai kekuatan memaksa terhadap orang, yang menurut pandangan teoritisi
strukturalis justru memaksa. Karena itu menurut Derrida mustahil bagi ilmuwan
untuk menemukan hukum umum yang mendasari bahasa. Ia mengkritik masyarakat pada
umumnya yang diperbudak oleh logosentrisme (pencarian sistem berpikir universal
yang mengungkapkan apa yang benar, tepat, indah dan seterusnya).
Post-strukturalisme mengandung pengertian kritik maupun penyerapan. Menyerap
berbagai aspek linguistik struktural sambil menjadikannya sebagai kritik yang
dianggap mampu melampaui strukturalisme. Sigkatnya, post-strukturalisme menolak
ide tentang struktur stabil yang melandasi makna melalui pasanan biner
(hitam-putih, baik-buruk). Makna adalah sesuatu yang tidak stabil, yang selelu
tergelincir dalam prosesnya, tidak hanya dibatasi pada kata, kalimat atau teks
tertentuyang bersifat tunggal, namun hasil hubungan antar teks. Sama seperti
pendahulunya, bersifat antihumanis dalam upayanya meminggirkan subjek manusia
yang terpadu dan koheren sebagai asal muasal makna stabil.
Michael Foucoult adalah ahli sosiologi tubuh dan sekaligus ahli teori
post-strukturalisme. Karya-karyanya yang berkaitan erat dengan teori-teori
post-strukturalime untuk menjelaskan bahwa faktor sosial budaya berpengaruh dalam mendefinisikan tubuh dengan
karakter ilmiah, universal, yang tergantung pada waktu dan tempat. Bahwa
ciri-ciri alamiah tubuh (laki-laki dan perempuan) bisa bermakna berbeda dalam
tataran kebudayaan yang berbeda. Sebagai seorang post-strukturalis Foucoult
tertarik pada cara dimana berbagai bentuk ilmu pengetahuan menghasilkan
cara-cara hidup. Menurutnya, aspek masyarakat yang paling signifikan untuk
menjadi modern bukanlah fakta bahwa masyarakat itu ekonomi kapitalis
(Marx), atau suatu bentuk baru solidaritas (Weber) atau bersikap rasional
(Weber), melainkan cara dimana bentuk-bentuk baru pengetahuan yang tidak dikenal
pada masa pramodernitas itu muncul yang dapat mendefinisikan kehidupan modern.
7. Ideologi
Istilah ideologi berasal dari
bahasa yunani, terdiri dari dua kata, yaitu idea dan logi.
Ideaberarti melihat(idean), sedangkan logi berasal dari
kata logos yang berarti pengetahuan atau teori. Jadi, ideologi dapat
diartikan hasil penemuan dalam pikiran yang berupa pengetahuan atau teori.
Ideologi dapat juga diartikan suatu kumpulan konsep bersistem yang dijadikan
asas, pendapat (kejadian) yang memberikan arah tujuan untuk kelangsungan
hidup.ideologi terbagi mencadi dua,yaitu ideologi terbuka dan ideolgi
tertutp,perbedaan ideologi terbuka dan tertutup ini sangat
mencolok,sehingga dapat dengan mudah dikelompokkan.
Indonesia
adalah negara yang menganggap Pancasila sebagai Ideologi Terbuka dan
pancasila sebagai sumber nilai .Namun sebenarnya,Ideologi sering dipahami
secara berbeda-beda. Hal ini menimbulkan berbagai pendapat mengenai pengertian
ideologi dari berbagai ahli, diantaranya:
a.Karl Marx
Karl Marx
memahami ideologi berlawanan dengan pengertian ideologi menurut Destutt de
Tracy. Menurut Karl Marx, ideologi adalah kesadaran palsu. Mengapa disebut
kesadaran palsu? Karena ideologi merupakan hasil pemikiran yang diciptakan oleh
pemikirnya, padahal kesadaran para pemikir tersebut pada dasarnya ditentukan
oleh kepentingannya.Jadi ideologi menurut Karl Marx adalah
pengandalan-pengandalan spekulatif yang berupa agama moralitas, atau keyakinan
politik .Meskipun spekulatif ideologi tersebut dianggap sebagai kenyataan untuk
menyembunyikan atau melindungi kepentingan kelas sosial pemikir tersebut.
b.Louis Althuser
Louis Althuser
adalah murid Karl Marx. Meskipun begitu, ia tidak setuju dengan gagasan Karl
Marx mengenai Ideologi.Menurutnya, Ideologi adalah gagasan spekulatif tetapi ideologi
bukan gagasan palsu karena gagasan spekulatif tersebut bukan dimaksudkan untuk
menggambarkan realitas melainkan untuk memberikan gambaran tentang bagaimana
semestinya manusia menjalani hidupnya. Sesungguhnya setiap orang membutuhkan
ideologi, karena setiap orang perlu memiliki keyakinan tentang bagaimana
semestinya ia menjalankan kehidupannya.
c. Dr. Alfian
Ideologi adalah
suatu pandangan atau sistem nilai yang menyeluruh dan mendalam tentang
bagaimana cara yang tepat, yaitu secara moral dianggap benar dan adil, mengatur
tingkah laku bersama dalam berbagai segi kehidupan.
d.Soerjanto Poespowardoyo
Ideologi
sebagai kompleks pengetahuan dan macam-macam nilai, yang secara
keseluruhan menjadi landasan bagi seseorang atau masyarakat untuk memahami
jagat raya dan bumi seisinya serta menentukan sikap dasar untuk mengolahnya.
Berdasarkan pemahaman yang dihayatinya itu, seseorang menangkap apa yang
dilihat baik dan tidak baik.
e.Machiavelli
ideologi adalah
sistem perlindungan kekuasaan yang dimiliki oleh penguasa.
f. M.Sastra Prateja
Ideologi
sebagai seperangkat gagasan atau pemikiran yang berorientasi pada tindakan yang
diorganisir menjadi suatu sistem yang teratur. Dalam hal ini, ideologi
mengandung beberapa unsur, yaitu :
·
Adanya suatu penafsiran atau pemahaman terhadap kenyataan.
·
Setiap Ideologi memuat seperangkat nilai atau suatu persepsi moral.
·
Ideologi merupakan suatu pedoman kegiatan untuk mewujudkan nilai-nilai di
dalamnya.
g.Thomas H
Ideologi adalah
suatu cara untuk melindungi kekuasan pemerintah agar dapat bertahan dan
mengatur rakyatnya.
h.Napoleon
Ideologi
merupakan keseluruhan pemikiran politik dan rival-rivalnya.
Dari berbagai
pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan, yaitu: Ideologi dapat menjadi
sesuatu yang baik ketika ideologi menjadi pendoman hidup menuju lebih baik. [6]Ideologi
dapat menjadi hal yang tidak baik ketika ideologi dijadikan alat untuk
menyembunyikan kepentingan penguasa.
8. Postmoderen, Postmodernitas, Postmodernisme”[7]
Postmodernisme adalah faham yang berkembang
setelah era modern dengan modernisme-nya. Postmodernisme bukanlah faham tunggal
sebuat teori, namun justru menghargai teori-teori yang bertebaran dan sulit
dicari titik temu yang tunggal. Banyak tokoh-tokoh yang memberikan arti
postmodernisme sebagai kelanjutan dari modernisme. Namun kelanjutan itu menjadi
sangat beragam. Bagi Lyotard dan Geldner, modernisme adalah pemutusan secara
total dari modernisme. Bagi Derrida, Foucault dan Baudrillard, bentuk radikal
dari kemodernan yang akhirnya bunuh diri karena sulit menyeragamkan
teori-teori.
Bagi David Graffin, Postmodernisme adalah
koreksi beberapa aspek dari moderinisme. Lalu bagi Giddens, itu adalah bentuk
modernisme yang sudah sadar diri dan menjadi bijak. Yang terakhir, bagi
Habermas, merupakan satu tahap dari modernisme yang belum selesai.
Berdasarkan asal usul kata,
Post-modern-isme, berasal dari bahasa Inggris yang artinya faham (isme), yang
berkembang setelah (post) modern. Istilah ini muncul pertama kali pada tahun
1930 pada bidang seni oleh Federico de Onis untuk menunjukkan reaksi dari
moderninsme. Kemudian pada bidang Sejarah oleh Toyn Bee dalam bukunya Study of
History pada tahun 1947. Setelah itu berkembanga dalam bidang-bidang lain dan
mengusung kritik atas modernisme pada bidang-bidangnya sendiri-sendiri.
Postmodernisme dibedakan dengan
postmodernitas, jika postmodernisme lebih menunjuk pada konsep berpikir.
Sedangkan postmodernitas lebih menunjuk pada situasi dan tata sosial sosial
produk teknologi informasi, globalisasi, fragmentasi gaya hidup, konsumerisme
yang berlebihan, deregulasi pasar uang dan sarana publik, usangnya negara dan
bangsa serta penggalian kembali inspirasi-inspirasi tradisi. Hal ini secara
singkat sebenarnya ingin menghargai faktor lain (tradisi, spiritualitas) yang dihilangkan
oleh rasionalisme, strukturalisme dan sekularisme.
Setidaknya kita melihat dalam bidang
kebudayaan yang diajukan Frederic Jameson, bahwa postmodernisme bukan kritik
satu bidang saja, namun semua bidang yang termasuk dalam budaya. Ciri pemikiran
di era postmodern ini adalah pluralitas berpikir dihargai, setiap orang boleh
berbicara dengan bebas sesuai pemikirannya. Postmodernisme menolak arogansi
dari setiap teori, sebab setiap teori punya tolak pikir masing-masing dan hal
itu berguna.
Menurut Pauline Rosenau (1992)
mendefinisikan Postmodern secara gamblang dalam istilah yang berlawanan antara
lain: Pertama, postmodernisme
merupakan kritik atas masyarakat modern dan kegagalannya memenuhi
janji-janjinya. Juga postmodern cenderung mengkritik segala sesuatu yang
diasosiasikan dengan modernitas.Yaitu pada akumulasi pengalaman peradaban Barat
adalah industrialisasi, urbanisasi, kemajuan teknologi, negara bangsa,
kehidupan dalam jalur cepat. Namun mereka meragukan prioritas-prioritas modern
seperti karier, jabatan, tanggung jawab personal, birokrasi, demokrasi liberal,
toleransi, humanisme, egalitarianisme, penelitian objektif, kriteria evaluasi,
prosedur netral, peraturan impersonal dan rasionalitas. Kedua, teoritisi postmodern cenderung menolak apa yang biasanya
dikenal dengan pandangan dunia (world view), metanarasi, totalitas, dan
sebagainya. Seperti Baudrillard (1990:72) yang memahami gerakan atau impulsi
yang besar, dengan kekuatan positif, efektif dan atraktif mereka (modernis)
telah sirna. Postmodernis biasanya mengisi kehidupan dengan penjelasan yang
sangat terbatas atau sama sekali tidak ada penjelasan. Namun, hal ini
menunjukkan bahwa selalu ada celah antara perkataan postmodernis dan apa yang
mereka terapkan. Sebagaimana yang akan kita lihat, setidaknya beberapa
postmodernis menciptakan narasi besar sendiri.
Banyak postmodernis merupakan pembentuk
teoritis Marxian, dan akibatnya mereka selalu berusaha mengambil jarak dari
narasi besar yang menyifatkan posisi tersebut. Ketiga, pemikir postmodern cenderung menggembor-gemborkan fenomena
besar pramodern seperti emosi, perasaan, intuisi, refleksi, spekulasi,
pengalaman personal, kebiasaan, kekerasan, metafisika, tradisi, kosmologi,
magis, mitos, sentimen keagamaan, dan pengalaman mistik. Seperti yang terlihat,
dalam hal ini Jean Baudrillard (1988) benar, terutama pemikirannya tentang
pertukaran simbolis (symbolic exchange). Keempat,
teoritisi postmodern menolak kecenderungan modern yang meletakkan batas-batas
antara hal-hal tertentu seperti disiplin akademis, budaya dan kehidupan, fiksi
dan teori, image dan realitas. Kajian sebagian besar pemikir postmodern
cenderung mengembangkan satu atau lebih batas tersebut dan menyarankan bahwa
yang lain mungkin melakukan hal yang sama. Contohnya Baudrillard (1988)
menguraikan teori sosial dalam bentuk fiksi, fiksi sains, puisi dan sebagainya.
Kelima, banyak postmodernis menolak
gaya diskursus akademis modern yang teliti dan bernalar (Nuyen, 1992:6). Tujuan
pengarang postmodern acapkali mengejutkan dan mengagetkan pembaca alih-alih
membantu pembaca dengan suatu logika dan alasan argumentatif. Hal itu juga
cenderung lebih literal daripada gaya akademis.
1. Menurut Lyotard : Mendefinisikan postmodern sebagai
ketidakpercayaan pada narasi besar modernisme.Terdapat dua narasi besar yang
cukup berpengaruh dan dipakai untuk melegitimasi ilmu pengetahuan.
2. Menurut Antoni Giddens : Postmodernisme adalah
sebuah estetika, sastra, politik atau filsafat sosial, yang merupakan dasar
dari upaya untuk menggambarkan suatu kondisi, atau suatu keadaan, atau sesuatu
yang berkaitan dengan perubahan pada lembaga-lembaga dan kondisi-kondisi
sebagai postmodernita. postmodernisme adalah "fenomena budaya dan
intelektual".
3. Menurut Josh McDowell & Bob Hostetler : Menawarkan definisi berikut
postmodernisme: "Suatu pandangan dunia yang ditandai dengan keyakinan
bahwa tidak ada kebenaran dalam pengertian objektif tetapi diciptakan bukan
ditemukan.". Kebenaran adalah "yang diciptakan oleh budaya spesifik
dan hanya ada di budaya"
4. Menurut Marvin Harris : Postmodernisme merupakan gerakan
intelektual yang (sedikit) bertentangan dengan modernisme. Istilah ini lebih
menitikberatkan pemahaman budaya dalam konteks khusus. Postmodernisme juga
tidak memiliki paradigma penelitian yang lebih istimewa.
5. Menurut Michael Foucault :Postmodernisme akan menghubungkan antara
ilmu dan alasan. IImu akan mencari “best answer”. Namun, jawaban yang hadir
dalam pandangan post modernisme akan menolak generalisasi. Kebenaran, lebih
mengandal kan pada kemampuan fiksi persuasif, relativitas, lokal, plural, tak
menentu, dan penafsiran.
6. Menurut Habermas : Postmodernisme
itu sebagai langkah “counter culture”, artinya kebudayaan
elit atau kebudayaan massa pada masa modernisme justru dihancurkan.
7. Menurut Pauline Rosenau : Mendefinisikan Postmodern secara gamblang
dalam istilah yang berlawanan antara lain: Pertama, postmodernisme merupakan
kritik atas masyarakat modern dan kegagalannya memenuhi janji-janjinya. Juga
postmodern cenderung mengkritik segala sesuatu yang diasosiasikan dengan
modernitas
8. Pemikiran Eagleton : Bahwa postmodernisme memang mengambil ide
dari modernisme dan avant-garde, dan kemudian diramu yang lebih masak dengan
disiplin lain. Dari modernisme, postmodernisme mencoba mewarisi tentang kritik
yang mengambil jarak, sedangkan dari avant-garde, postmoder nisme ingin mencoba
memecahkan masalah kehidupan sosial budaya, menolak tradisi, dan sebagai
oposisi “high” culture
9. Marxisme”[8]
Marxisme adalah sebuah paham yang mengikuti
pandangan-pandangan dari Karl
Marx. Marx menyusun sebuah teori besar yang
berkaitan dengan sistem ekonomi, sistem sosial, dan sistem politik. Pengikut teori
ini disebut sebagai Marxis. Marxisme mencakup materialisme dialektis dan materialisme historis serta penerapannya
pada kehidupan sosial.
Secara
historis, filsafat Marxisme adalah filsafat perjuangan kelas buruh untuk
menumbangkan kapitalisme dan membawa sosialisme ke bumi manusia. Sejak filsafat
ini dirumuskan oleh Karl Marx dan Friedrich Engels 150 tahun yang lalu dan
terus berkembang, filsafat ini telah mendominasi perjuangan buruh secara
langsung maupun tidak langsung. Kendati usaha-usaha para akademisi borjuis
untuk menghapus ataupun menelikung Marxisme, filsafat ini terus hadir di dalam
sendi-sendi perjuangan kelas buruh.
Oleh karenanya
filsafat ini adalah miliknya buruh dan bukan hanya milik kaum intelektual. Marx
menuangkan pemikirannya bukan untuk kaum intelektual dan para filsuf
terpelajar, tetapi untuk digunakan kaum buruh dalam perjuangannya. Dalih bahwa
buruh terlalu bodoh untuk bisa memahami dasar-dasar filsafat Marxisme adalah
tidak lain usaha kaum borjuasi untuk memisahkan buruh dari filsafat
perjuangannya. Tidak ada yang bisa memisahkan buruh dari filsafatnya karena
dalam kesehari-hariannya buruh menghidupi filsafat ini di dalam aktivitasnya di
pabrik. Alhasil, buruhlah yang pada akhirnya mampu merenggut filsafat ini untuk
digunakan dalam perjuangan melawan kapitalisme. Sejarah telah menunjukkan bahwa
pasukan kaum intelektual bersenjatakan Marxisme tidak pernah mencapai sejauh
pasukan kaum buruh dengan senjata yang sama.
Marxisme adalah
kata lain untuk sebuah filsafat yang bernama dialektika materialisme.
Dialektika dan materialisme adalah dua filsafat yang dikembangkan oleh
filsuf-filsuf Barat -- dan juga Timur, yang kemudian disatukan, disintesakan,
oleh Marx menjadi dialektika materialisme.
Untuk memahami
pokok-pokok Marxisme, kita bisa memecahkannya menjadi tiga bagian, seperti yang
dipaparkan oleh Lenin, yakni:
- Materialisme Dialektis
- Materialisme Historis
- Ekonomi Marxis
Tiga bagian ini yang biasanya menjadi bagian utama
dari Marxisme. Namun pada dasarnya, Materialisme Historis adalah pemahaman
sejarah dengan metode materialisme dialektis, dan Ekonomi Marxis adalah
pemahaman ekonomi dengan metode materialisme dialektis. Semua aspek kehidupan
bisa ditelaah dengan materialisme dialektis. Kebudayaan, kesenian, ilmu sains,
dll., semua ini bisa dipelajari dengan metode materialisme dialektis, dan hanya
dengan metode ini kita bisa memahami bidang-bidang tersebut dengan
sepenuh-penuhnya.
Jadi, pada
dasarnya, pokok dari Marxisme adalah materialisme dialektis. Oleh karenanya kita
akan memulai dari pemahaman materialisme dialektis. Tanpa pemahaman dialektika
materialisme, maka kita tidak akan bisa memahami Materialisme Historis dan
Ekonomi Marxis.
10.
Dekonstruksi
Dekonstruksi sering di anggap sebagai
ide sentralnya J. Derrida. Dekonstruksi mengguncang kategori-kategori tempat
pemikiran kita didasarkan dan yang fundamental dengan bahasa. Dekonstruksi
adalah sebuah bentuk kritik yang didasarkan pada pembacaan secara hati-hati.”[9]
Dengan dekonstruksi berarti
postmodernisme meragukan dan bahkan membongkar segalah kepastian ilmu
pengetahuan serta membuka kemungkinan pengetahuan-pengetahuan yang semula tidak
dianggap masuk akal, mustahil, atau tabu. Maka, prinsip dekonstruksi adalah
membongkar, menganalisis struktur, memperhatikan system, mengamati bagaimana
membangunnya, mencari inti kekuatan yang menyangga bangunan itu kemudian
menggeser sehungga terbebas dari otoritas system.
Dri hal itu maka istilah khas Jacques
Derrida (1930) ini menyiratkan dua makna :
1.
Sikap curiga terhadap
rasionalisme yang menjadi promadona dalam dunia modern. Rasionalitas dicurigai
karena disinyalir mengandung unsure kekuasaan. Maka bagi Derrida dekonstruksi
berarti membongkar kontradiksi-kontradiksi yang ada dalam sebuah hasil yang
rasional. Dekonstruksi berarti
membongkar pemikiran-pemikiran yang dianggap dominan dan benar sejauh
pemikiran-pemikiran itu tidak menampakan hal-hal yang menjanjikan atau bahkan
tidak membahagiakan manusia.
2.
Sikap mau mendengar
kambali semua pemikiran marginal yang oleh ilmu rasional dianggap tidak logis
dan tidak memiliki nilai ilmiah. Dengan ini, dekonstruksi memungkinkan
postmodernisme manjadi sangat demokratis: mendengarkan hal-hal yang dulu
dianggap non-sense, yang jangan-jangan disana terkubur kebenaran sejati.”[10]
PUSTAKA :
http://nieamo.blogspot.com/2010/04/komodifikasi-dalam-ekonomi-politik.html
Hardiman. F. Budi Menuju
Masyarakat Komunikatif, , Yogyakarta :Kanisius, 1993.. http://chengxplore.blogspot.com/2011/10/ringkasan-teori-kritis-mazhab-frankfurt.html
sahwathy wathy .
http://whatylinguist.blogspot.com/2013/10/teori-postkolonial.html
http://softilmu.blogspot.com/2013/12/pengertian-dan-fungsi-ideologi.html..
Putra Angga Permana,.http://postmodernis.blogspot.com/2012/01/pengertian-post-modernisme.html
http://www.militanindonesia.org/teori/sosialisme/8186-mengenal-dasar-dasar-filsafat-marxisme-bagian-i-dialektika-materialisme.html
Jenny
Edkins-Nick Vaughan Williams. Teori-Teori
Kristis (Menentang Pandangan Utama Sduti Politik Internasianal.Yogyakarta:
Puastaka Pelajar. 2013. Hlm 185.
Hipolitus
K. Kewuel. Allah Dalam Dunia Postmodern. Malang : Dioma. 2004. Hlm. 89-90
[1] Roland Barthes, Mythologies (New York:Hill & Wang, 1972).
[2] http://nieamo.blogspot.com/2010/04/komodifikasi-dalam-ekonomi-politik.html
[3] F. Budi Hardiman. Menuju Masyarakat Komunikatif, , Yogyakarta :Kanisius,
1993..
http://chengxplore.blogspot.com/2011/10/ringkasan-teori-kritis-mazhab-frankfurt.html
[6]
http://softilmu.blogspot.com/2013/12/pengertian-dan-fungsi-ideologi.html..
[8] http://www.militanindonesia.org/teori/sosialisme/8186-mengenal-dasar-dasar-filsafat-marxisme-bagian-i-dialektika-materialisme.html
[9] Jenny Edkins-Nick Vaughan Williams. Teori-Teori Kristis (Menentang Pandangan Utama Sduti Politik
Internasianal.Yogyakarta: Puastaka Pelajar. 2013. Hlm 185.
[10] Hipolitus K. Kewuel. Allah Dalam Dunia Postmodern. Malang : Dioma.
2004. Hlm. 89-90
Tidak ada komentar:
Posting Komentar