Kamis, 26 Maret 2015

teori budaya.. tugas Budaya Dan Teologi



1.   Semiotika
Semiotika berasal dari kata Yunani : semeion, yang berarti tanda. Semiotika adalah ilmu yang mempelajari tentang tanda. Tanda-tanda tersebut menyampaikan suatu informasi sehingga bersifat komunikatif. la mampu menggantikan sesuatu yang lain yang dapat dipikirkan atau dibayangkan Cabang ilmu ini semula berkembang dalam bidang bahasa, kemudian berkembang pula dalam bidang seni rupa dan desain komunikasi visual ada juga yang berpendapat bahwa  semiotika adalah cabang ilmu yang berurusan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistem tanda dan proses yang berlaku bagi penggunaan tanda.
Dalam teori semiotika ini barthes mamakai kata SEMIOLOGI dalam kaitan dengan mitos. Barthes memandang mitos sebagai satu tipe untuk berkata ( a Type of Speech). Speech, seperti akan dibahas lebih lanjut dalam konsep semiologi, bagi Barthes, tidak terbatas dalam bentuk oral saja melainkan juga gambar, film, seni, olaraga, pertunjukan dll. Mitos akan menyentuh kita melalui media yang tersedia. Apapun bgi Barthes di dunia ini bisa jadi mitos, asalkan dia dapat dibahasakan. Oleh karena itu, mitos merupakan salah satu bidang yang dikaji melaui semiologi. Ditambah bahwa bahasa stuktuktur bahasa hanyalah model bagi tanda selain bahasa.”[1]
Teori ini dikemukakan oleh Roland Barthes (1915-1980), dalam teorinya tersebut Barthes mengembangkan semiotika menjadi 2 tingkatan pertandaan, yaitu tingkat denotasi dan konotasi. Denotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda pada realitas, menghasilkan makna eksplisit, langsung, dan pasti. Konotasi adalah tingkat pertandaan yang menjelaskan hubungan penanda dan petanda yang di dalamnya beroperasi makna yang tidak eksplisit, tidak langsung, dan tidak pasti.    
Roland Barthes adalah penerus pemikiran Saussure. Saussure tertarik pada cara kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja menyampaikan makna yang berbeda pada orang yang berbeda situasinya.                                  
Roland Barthes meneruskan pemikiran tersebut dengan menekankan interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya, interaksi antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya. Gagasan Barthes ini dikenal dengan  mencakup denotasi (makna sebenarnya sesuai kamus) dan konotasi (makna ganda yang lahir dari pengalaman kultural dan personal). Di sinilah titik perbedaan Saussure dan Barthes meskipun Barthes tetap mempergunakan istilah signifier-signified yang diusung Saussure. Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu “mitos” yang menandai suatu masyarakat. “Mitos” menurut Barthes terletak pada tingkat kedua penandaan, jadi setelah terbentuk sistem sign-signifier-signified, tanda tersebut akan menjadi penanda baru yang kemudian memiliki petanda kedua dan membentuk tanda baru. Jadi, ketika suatu tanda yang memiliki makna konotasi kemudian berkembang menjadi makna denotasi, maka makna denotasi tersebut akan menjadi mitos.                
2.   Komodifikasi”[2]
Komodifikasi merupakan istilah baru yang mulai muncul dan dikenal oleh para  ilmuwan  sosial.  Komodifikasi  mendeskripsikan cara  kapitalisme melancarkan tujuannya dengan mengakumulasi kapital, atau, menyadari transformasi nilai guna menjadi nilai tukar.  Komoditas dan komodifikasi adalah dua hal yang memiliki hubungan objek dan proses,  dan menjadi salah satu indikator kapitalisme global yang kini tengah terjadi. Dalam ekonomi politik media komodifikasi adalah salah satu bentuk penguasaan media selain strukturasi dan spasialisasi. Komodifikasi merupakan bentuk transformasi dari hubungan, yang awalnya terbebas dari hal-hal yang sifatnya diperdagangkan, menjadi hubungan yang sifatnya komersil.
Komodifikasi  menurut  Vincent  Mosco  digambarkan  sebagai  cara kapitalisme  dengan  membawa  akumulasi  tujuan  kapitalnya  atau mudahnya dapat digambarkan sebagai sebuah perubahan nilai fungsi atau guna menjadi sebuah nilai tukar. Dan sekarang ini telah sangat banyak sekali bentuk komodifikasi yang muncul dalam perkembangan kehidupan manusia.  Karena  mulai  banyak  juga  yang  dijadikan  komoditas  oleh manusia.
Komodifikasi intrinsic atau komodifikasi isi merupakan proses perubahan pesan dari kumpulan informasi ke dalam system makna dalam wujud produk yang dapat dipasarkan. Atau dalam penjelasan lainnya disebut sebagai proses mengubah pesan da sekumpulan data ke dalam system makna sedemikian rupa sehingga menjadi produk yang bisa dipasarkan
Komodifikasi ekstrinsik atau komodifikasi khalayak merupakan proses modifikasi peran pembaca/khalayak oleh perusahaan media dan pengiklan, dari fungsi awal sebagai konsumen media menjadi konsumen khalayak selain media. Hal inilah dari yang dijual kepada pengiklan. Pada proses ini, perusahaan media memproduksi khalayak melalui sesuatu program/tayangan untuk selanjutnya dijual kepada pengiklan. Terjadi proses kerja sama yang saling menguntungkan antara perusahaan media dan pengiklan, dimana peusahaan media digunakan sebagai sarana untuk menarik khalayak, yang selanjutnya di jual kepada pengiklan
Komodifikasi sibernetik terkait dengan proses mengatasi kendali dan ruang. Instrinsik komodifikasi merupakan proses media melakukan pertukaran dengan rating, sedangkan untuk extrinsic komodifikasi menjangkau seluruh kelembagaan sosial sehingga akses hanya dimiliki media.
Dalam proses komodifikasi ini, sesuatu diproduksi bukan terutama atas dasar nilai guna, tetapi lebih pada nilai tukar. Artinya sesuatu di produksi bukan semata-mata memiliki kegunaan bagi khalayak, tetapi lebih karena sesuatu itu bisa dipertukarakan di pasar. Dengan demikian orientasi produksi bukan untuk memenuhi kebutuhan objektif masyarakat tetapi lebih mendorong akumulasi modal.
3.   Mazhab Frankrfurt [3]
Selain melahirkan Teori Kritis, sesungguhnya masih banyak hal lain yang diupayakan Mazhab Frankfurt. Di antaranya adalah pengawinan Marxisme dengan psikoanalisis, studi tentang otoritarianisme dan kritik budaya massa. Ini semua mereka lakukan dalam rentang waktu 1925 sampai 1950, sebagaimana yang terekam dalam buku ini. Sebagai buku sejarah, buku Sejarah Mazhab Frankfurt ini mencoba memotret dinamika yang terjadi di dalam Mazhab Frankfurt, proses yang harus dilewatinya dalam melahirkan karya-karya brilian yang hingga saat ini masih diperhitungkan di kancah ilmu-ilmu sosial, sampai perbenturan pemikiran dan kepentingan dengan pihak kawan maupun lawan.  Mazhab Frankfurt beranggotakan cendekiawan-cendekiawan senasib-sepenanggungan yang mengalami remuk redamnya peradaban umat manusia di Eropa pada paruh pertama abad XX. Mereka gelisah, mereka cemas dan oleh karena itu merasa harus bertindak dengan cara mereka sendiri demi mempertanggungjawabkan karunia kecerdasan dan hati nurani yang mereka miliki. Latar belakang inilah yang menyatukan mereka ke dalam satu visi dan misi sekaligus aksi yang kemudian mengkristal menjadi sebuah mazhab.   Max Horkheimer dikenal sebagai peletak pertama Teori kritis yang dikenal dan makin ramai diperbincangkan saat ini, tokoh ini dikenal sebagai Direktur pada Institut fur Sozialforschung (institute Penelitian Sosial) di Frankfurt yang didirikan pada tahun 1923. Proyek teori kritis ini adalah pengembangan dari filsafat kritis yang telah dirintis sejak zaman si Hegel dan Karl Marx.
Marxisme yang dikenal oreh para penggemar ilmu sosial sebagai pemantik ide-ide kritis tentu saja mempengaruhi pikiran-pikiran Horkheimer, namun ia mendekati Marxisme (ortodoks) dengan perdekatan akademis-filosofis yang diharap dapat berkontribusi secara jelas dalam kehidupan masyarakat. Dia berusaha mengembalikan Marxisme kepada filsafat kritis dengan memadukannya dengan pemikiran kritisisme Kant,Hegel,dan juga metode psikoanalisis Freud. Dalam mengembangkan teori kritis, dia bersama dua kawan lainnya, yaitu Theodor Adorno dan Herbert Marcuse mulai melontarkan kritik-kritik tajam terhadap masyarakat industri maju pada tahun 1960-an. Ketiga tokoh termsyur inilah yang kemudian dikenal sebagai pelopor Mazhab Frankfurt (die Frankfurter Schule). Setidaknya, ada enam tema yang menjadi fokus perhatian mereka dalam pengembangan teori kritis sebagaimana dirumuskan oleh Habermas, salah satu tokoh mazhab Frankfurt yang brilian, yaitu: bentuk-bentuk integrasi sosial masyarakat postliberal, sosialisasi dan perkembangan ego, media massa dan kebudayaan massa, psikologi sosial protes, teori seni dan kritik atas positivesme. Dengan tema ini, teori kritis kemudian menjadi popular, apalagi di golongan gerakan mahasiswa yang memang terinspirasi oleh pemikiran-pemikiran kritis mazhab Frankfurt, popularitas teori ini di ranah gerakan mahasiswa inilah sehingga istilah “The New Left Movement” (gerakan kiri baru) juga numpang popular.
yang mencolok dari mazhab Frankfurt bahwa teori kritis yang dilandasi rasio kritis itu sendiri berubah menjadi mitos atau ideologi dalam bentuk baru. Emansipasi masyarakat (memerangi proses mekanisasi masyarakat dalam bentuk sistem ekonomi dan administrasi birokratis), yang menjadi keprihatinan mereka, dilukiskan sebagai gerakan sia-sia dalam mitos demi mitos yang tak kunjung habis. Kritik senada dilontarkan Marcuse dalam One-Dimensional Man. Dalam karya ini, situasi masyarakat industri maju dilukiskan sebagai masyarakat berdimensi tunggal. Dengan hilangnya dimensi kedua, negasi atau perlawanan terhadap sistem masyarakat hanya mengadaptasi dominasi total teknokratisme.
4. Teori kritis”[4]
Teori kritis adalah sebuah aliran pemikiran yang menekankan penilaian reflektif dan kritik dari masyarakat dan budaya dengan menerapkan pengetahuan dari ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Sebagai istilah, teori kritis memiliki dua makna dengan asal-usul dan sejarah yang berbeda: pertama berasal dari sosiologi dan yang kedua berasal dari kritik sastra, dimana digunakan dan diterapkan sebagai istilah umum yang dapat menggambarkan teori yang didasarkan atas kritik; dengan demikian, teori Max Horkheimer menggambarkan teori kritis adalah, sejauh berusaha "untuk membebaskan manusia dari keadaan yang memperbudak mereka.
Dalam filsafat, istilah teori kritis menggambarkan filosofi neo-Marxis dari Frankfurt School, yang dikembangkan di Jerman pada 1930-an. Teori Frankfurt menarik tentang metode kritis Karl Marx dan Sigmund Freud. Teori Kritis menyatakan bahwa ideologi adalah kendala utama untuk pembebasan manusia. Teori Kritis didirikan sebagai sebuah sekolah pemikiran terutama oleh lima tokoh teori Mazhab Frankfurt: Herbert Marcuse, Theodor Adorno, Max Horkheimer, Walter Benjamin, dan Erich Fromm. Teori kritis modern telah bertambah dipengaruhi oleh György Lukacs dan Antonio Gramsci, serta generasi kedua sarjana Mazhab Frankfurt, terutama Jürgen Habermas. Dalam karya Habermas, teori kritis melampaui akar teoritis dalam idealisme Jerman, dan berkembang lebih dekat dengan pragmatisme Amerika. Kepedulian terhadap "dasar dan suprastruktur" sosial adalah salah satu yang tersisa dari konsep filsafat Marxis di banyak teori kritis kontemporer.
Sementara teori kritis telah sering kali didefinisikan sebagai intelektual Marxis,[  kecenderungan mereka untuk mengecam beberapa konsep Marxis dan untuk menggabungkan analisis Marxian dengan tradisi sosiologis dan filosofis lainnya telah menimbulkan tuduhan revisionisme oleh para Klasik, Ortodoks, dan Analisis Marxis, dan oleh filsuf Marxis Leninis. Martin Jay telah menyatakan bahwa generasi pertama teori kritis paling baik dipahami dengan tidak mempromosikan agenda filosofis tertentu atau ideologi tertentu, tetapi sebagai "pengganggu dari sistem lain.


5.       Teori Postkolonial”[5]
Secara Etimologis, postkolonial berasal dari kata post dan kolonial, sedangkan kata kolonial itu sendiri berasal dari akar kata Colonia, bahasa romawi yang berarti tanah pertanian atau pemukiman.jadi,secara etimologie kolonial tidak mengandung arti penjajahan,penguasaan,pendudukan,dan konotasi eksploitasai lainnya. Dikaitkan dengan pengertian kolonial terakhir maka negara-negara eropa modern bukanlah kolonias yang pertama.
menurut Shelley walia proyek postkolonialisme pertama kali dikemukakan oleh frantz fanon denga bukunya yang berjudul Black skin,White mask and wretched of the earth(1967). Fanon menyimpulkan bahwa melalui dikotomi kolonial, penjajah-penjajah,wacan oriental telah melahirkan alienasi dan marginalisasi psikologis yang sangat dahsyat. Gayatri Chakravorty spivak, homi k. Bhabha, jaques Derrida, dan tzvetan todorov. Mengatakan bahwa yang dimaksud dengan teori postkolonial adalah teori yang digunakan untuk menganalisis berbagai gejala  cultural, seperti:sejarah, politik, ekonomi, sastra dan sebainya. Pada umumnya gejala-gejala kultural tersebur terkandung dalam berbagai teks studi mengenai dunia timur. Visi postkolonial tidak ada kaitan dengan masalah-masalah sosial politis secara praktis. Dalam analisis, khususnya karya sastra, tidak mesti dikaitkan dengan intensi pengarang. Kebesaran, demikian juga kegagalan sebuah karya tidak di sebabkan oleh adanya unsur-unsur oriental. Melainkan bagaimana unsur-unsur tersebut ditampilkan secara estetis.Visi postkolonial menelusuri pola-pola pemikiran kelompok orientalis  dalam rangka membangun superioritas barat.dengan konsekuensi logis terjadinya inferioritas timur.
Ciri khas postkoloniallisme dibangdingkan dengan teori-teori postmodernis yang lain adalah kenyataan bahwa objeknya adalah teks-teks yang berkaitan dengan wilayah bekas jajahan imperium eropa.khususnya indonesia.dengan masa kolonisasi yang cukup lama,sekitar tiga setengah abad.sangat mudah untuk dibayangkan bahwa berbagai kajian telah tersebar luas,baik dieropa maupun indonesia.teks yanmg dimaksud perlu dikaji kembali menurut kaidah-kaidah postkolonialis,sehingga melahirkan pemahaman yang berbeda sesuai dengan kepentingan nasional.
6.       Post-Strukturalisme
         Bila strukturalis melihat keteraturan dan stabilitas dalam sistem bahasa, maka Jacques Derrida, tokoh utama pendekatan post-strukturalisme melihat bahasa tak teratur dan tak stabil. Derrida menurunkan peran bahasa yang menurutnya hanya sekedar “tulisan” yang tidak memaksa penggunanya, dia juga melihat bahwa lembaga sosial tak lain hanya sebagai tulisan, karena itu tak mampu memaksa orang. Konteks yang berlainan memberikan kata-kata dengan arti yang berlainan pula. Akibatnya sistem bahasa tak mempunyai kekuatan memaksa terhadap orang, yang menurut pandangan teoritisi strukturalis justru memaksa. Karena itu menurut Derrida mustahil bagi ilmuwan untuk menemukan hukum umum yang mendasari bahasa. Ia mengkritik masyarakat pada umumnya yang diperbudak oleh logosentrisme (pencarian sistem berpikir universal yang mengungkapkan apa yang benar, tepat, indah dan seterusnya).

         Post-strukturalisme mengandung pengertian kritik maupun penyerapan. Menyerap berbagai aspek linguistik struktural sambil menjadikannya sebagai kritik yang dianggap mampu melampaui strukturalisme. Sigkatnya, post-strukturalisme menolak ide tentang struktur stabil yang melandasi makna melalui pasanan biner (hitam-putih, baik-buruk). Makna adalah sesuatu yang tidak stabil, yang selelu tergelincir dalam prosesnya, tidak hanya dibatasi pada kata, kalimat atau teks tertentuyang bersifat tunggal, namun hasil hubungan antar teks. Sama seperti pendahulunya, bersifat antihumanis dalam upayanya meminggirkan subjek manusia yang terpadu dan koheren sebagai asal muasal makna stabil.

          Michael Foucoult adalah ahli sosiologi tubuh dan sekaligus ahli teori post-strukturalisme. Karya-karyanya yang berkaitan erat dengan teori-teori post-strukturalime untuk menjelaskan bahwa faktor sosial budaya berpengaruh dalam mendefinisikan tubuh dengan karakter ilmiah, universal, yang tergantung pada waktu dan tempat. Bahwa ciri-ciri alamiah tubuh (laki-laki dan perempuan) bisa bermakna berbeda dalam tataran kebudayaan yang berbeda. Sebagai seorang post-strukturalis Foucoult tertarik pada cara dimana berbagai bentuk ilmu pengetahuan menghasilkan cara-cara hidup. Menurutnya, aspek masyarakat yang paling signifikan untuk menjadi modern bukanlah fakta bahwa masyarakat itu ekonomi kapitalis (Marx),  atau suatu bentuk baru solidaritas (Weber) atau bersikap rasional (Weber), melainkan cara dimana bentuk-bentuk baru pengetahuan yang tidak dikenal pada masa pramodernitas itu muncul yang dapat mendefinisikan kehidupan modern.

7.       Ideologi
Istilah ideologi berasal dari bahasa yunani, terdiri dari dua kata, yaitu idea dan logi. Ideaberarti melihat(idean), sedangkan logi berasal dari kata logos yang berarti pengetahuan atau teori. Jadi, ideologi dapat diartikan hasil penemuan dalam pikiran yang berupa pengetahuan atau teori. Ideologi dapat juga diartikan suatu kumpulan konsep bersistem yang dijadikan asas, pendapat (kejadian) yang memberikan arah tujuan untuk kelangsungan hidup.ideologi terbagi mencadi dua,yaitu ideologi terbuka dan ideolgi tertutp,perbedaan ideologi terbuka dan tertutup ini sangat mencolok,sehingga dapat dengan mudah dikelompokkan.
Indonesia adalah negara yang menganggap Pancasila sebagai Ideologi Terbuka dan pancasila sebagai sumber nilai .Namun sebenarnya,Ideologi sering dipahami secara berbeda-beda. Hal ini menimbulkan berbagai pendapat mengenai pengertian ideologi dari berbagai ahli, diantaranya:
a.Karl Marx
Karl Marx memahami ideologi berlawanan dengan pengertian ideologi menurut Destutt de Tracy. Menurut Karl Marx, ideologi adalah kesadaran palsu. Mengapa disebut kesadaran palsu? Karena ideologi merupakan hasil pemikiran yang diciptakan oleh pemikirnya, padahal kesadaran para pemikir tersebut pada dasarnya ditentukan oleh kepentingannya.Jadi ideologi menurut Karl Marx adalah pengandalan-pengandalan spekulatif yang berupa agama moralitas, atau keyakinan politik .Meskipun spekulatif ideologi tersebut dianggap sebagai kenyataan untuk menyembunyikan atau melindungi kepentingan kelas sosial pemikir tersebut.
b.Louis Althuser
Louis Althuser adalah murid Karl Marx. Meskipun begitu, ia tidak setuju dengan gagasan Karl Marx mengenai Ideologi.Menurutnya, Ideologi adalah gagasan spekulatif tetapi ideologi bukan gagasan palsu karena gagasan spekulatif tersebut bukan dimaksudkan untuk menggambarkan realitas melainkan untuk memberikan gambaran tentang bagaimana semestinya manusia menjalani hidupnya. Sesungguhnya setiap orang membutuhkan ideologi, karena setiap orang perlu memiliki keyakinan tentang bagaimana semestinya ia menjalankan kehidupannya.
c. Dr. Alfian
Ideologi adalah suatu pandangan atau sistem nilai yang menyeluruh dan mendalam tentang bagaimana cara yang tepat, yaitu secara moral dianggap benar dan adil, mengatur tingkah laku bersama dalam berbagai segi kehidupan.
d.Soerjanto Poespowardoyo
Ideologi sebagai kompleks pengetahuan dan macam-macam nilai, yang secara keseluruhan menjadi landasan bagi seseorang atau masyarakat untuk memahami jagat raya dan bumi seisinya serta menentukan sikap dasar untuk mengolahnya. Berdasarkan pemahaman yang dihayatinya itu, seseorang menangkap apa yang dilihat baik dan tidak baik.
e.Machiavelli
ideologi adalah sistem perlindungan kekuasaan yang dimiliki oleh penguasa.
f.  M.Sastra Prateja
Ideologi sebagai seperangkat gagasan atau pemikiran yang berorientasi pada tindakan yang diorganisir menjadi suatu sistem yang teratur. Dalam hal ini, ideologi mengandung beberapa unsur, yaitu :
·        Adanya suatu penafsiran atau pemahaman terhadap kenyataan.
·        Setiap Ideologi memuat seperangkat nilai atau suatu persepsi moral.
·        Ideologi merupakan suatu pedoman kegiatan untuk mewujudkan nilai-nilai di dalamnya.
g.Thomas H
Ideologi adalah suatu cara untuk melindungi kekuasan pemerintah agar dapat bertahan dan mengatur rakyatnya.
h.Napoleon
Ideologi merupakan keseluruhan pemikiran politik dan rival-rivalnya.
Dari berbagai pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan, yaitu: Ideologi dapat menjadi sesuatu yang baik ketika ideologi menjadi pendoman hidup menuju lebih baik. [6]Ideologi dapat menjadi hal yang tidak baik ketika ideologi dijadikan alat untuk menyembunyikan kepentingan penguasa.
8.       Postmoderen, Postmodernitas, Postmodernisme”[7]
Postmodernisme adalah faham yang berkembang setelah era modern dengan modernisme-nya. Postmodernisme bukanlah faham tunggal sebuat teori, namun justru menghargai teori-teori yang bertebaran dan sulit dicari titik temu yang tunggal. Banyak tokoh-tokoh yang memberikan arti postmodernisme sebagai kelanjutan dari modernisme. Namun kelanjutan itu menjadi sangat beragam. Bagi Lyotard dan Geldner, modernisme adalah pemutusan secara total dari modernisme. Bagi Derrida, Foucault dan Baudrillard, bentuk radikal dari kemodernan yang akhirnya bunuh diri karena sulit menyeragamkan teori-teori.
Bagi David Graffin, Postmodernisme adalah koreksi beberapa aspek dari moderinisme. Lalu bagi Giddens, itu adalah bentuk modernisme yang sudah sadar diri dan menjadi bijak. Yang terakhir, bagi Habermas, merupakan satu tahap dari modernisme yang belum selesai.
Berdasarkan asal usul kata, Post-modern-isme, berasal dari bahasa Inggris yang artinya faham (isme), yang berkembang setelah (post) modern. Istilah ini muncul pertama kali pada tahun 1930 pada bidang seni oleh Federico de Onis untuk menunjukkan reaksi dari moderninsme. Kemudian pada bidang Sejarah oleh Toyn Bee dalam bukunya Study of History pada tahun 1947. Setelah itu berkembanga dalam bidang-bidang lain dan mengusung kritik atas modernisme pada bidang-bidangnya sendiri-sendiri.
Postmodernisme dibedakan dengan postmodernitas, jika postmodernisme lebih menunjuk pada konsep berpikir. Sedangkan postmodernitas lebih menunjuk pada situasi dan tata sosial sosial produk teknologi informasi, globalisasi, fragmentasi gaya hidup, konsumerisme yang berlebihan, deregulasi pasar uang dan sarana publik, usangnya negara dan bangsa serta penggalian kembali inspirasi-inspirasi tradisi. Hal ini secara singkat sebenarnya ingin menghargai faktor lain (tradisi, spiritualitas) yang dihilangkan oleh rasionalisme, strukturalisme dan sekularisme.
Setidaknya kita melihat dalam bidang kebudayaan yang diajukan Frederic Jameson, bahwa postmodernisme bukan kritik satu bidang saja, namun semua bidang yang termasuk dalam budaya. Ciri pemikiran di era postmodern ini adalah pluralitas berpikir dihargai, setiap orang boleh berbicara dengan bebas sesuai pemikirannya. Postmodernisme menolak arogansi dari setiap teori, sebab setiap teori punya tolak pikir masing-masing dan hal itu berguna.
Menurut Pauline Rosenau (1992) mendefinisikan Postmodern secara gamblang dalam istilah yang berlawanan antara lain: Pertama, postmodernisme merupakan kritik atas masyarakat modern dan kegagalannya memenuhi janji-janjinya. Juga postmodern cenderung mengkritik segala sesuatu yang diasosiasikan dengan modernitas.Yaitu pada akumulasi pengalaman peradaban Barat adalah industrialisasi, urbanisasi, kemajuan teknologi, negara bangsa, kehidupan dalam jalur cepat. Namun mereka meragukan prioritas-prioritas modern seperti karier, jabatan, tanggung jawab personal, birokrasi, demokrasi liberal, toleransi, humanisme, egalitarianisme, penelitian objektif, kriteria evaluasi, prosedur netral, peraturan impersonal dan rasionalitas. Kedua, teoritisi postmodern cenderung menolak apa yang biasanya dikenal dengan pandangan dunia (world view), metanarasi, totalitas, dan sebagainya. Seperti Baudrillard (1990:72) yang memahami gerakan atau impulsi yang besar, dengan kekuatan positif, efektif dan atraktif mereka (modernis) telah sirna. Postmodernis biasanya mengisi kehidupan dengan penjelasan yang sangat terbatas atau sama sekali tidak ada penjelasan. Namun, hal ini menunjukkan bahwa selalu ada celah antara perkataan postmodernis dan apa yang mereka terapkan. Sebagaimana yang akan kita lihat, setidaknya beberapa postmodernis menciptakan narasi besar sendiri.
Banyak postmodernis merupakan pembentuk teoritis Marxian, dan akibatnya mereka selalu berusaha mengambil jarak dari narasi besar yang menyifatkan posisi tersebut. Ketiga, pemikir postmodern cenderung menggembor-gemborkan fenomena besar pramodern seperti emosi, perasaan, intuisi, refleksi, spekulasi, pengalaman personal, kebiasaan, kekerasan, metafisika, tradisi, kosmologi, magis, mitos, sentimen keagamaan, dan pengalaman mistik. Seperti yang terlihat, dalam hal ini Jean Baudrillard (1988) benar, terutama pemikirannya tentang pertukaran simbolis (symbolic exchange). Keempat, teoritisi postmodern menolak kecenderungan modern yang meletakkan batas-batas antara hal-hal tertentu seperti disiplin akademis, budaya dan kehidupan, fiksi dan teori, image dan realitas. Kajian sebagian besar pemikir postmodern cenderung mengembangkan satu atau lebih batas tersebut dan menyarankan bahwa yang lain mungkin melakukan hal yang sama. Contohnya Baudrillard (1988) menguraikan teori sosial dalam bentuk fiksi, fiksi sains, puisi dan sebagainya. Kelima, banyak postmodernis menolak gaya diskursus akademis modern yang teliti dan bernalar (Nuyen, 1992:6). Tujuan pengarang postmodern acapkali mengejutkan dan mengagetkan pembaca alih-alih membantu pembaca dengan suatu logika dan alasan argumentatif. Hal itu juga cenderung lebih literal daripada gaya akademis.
1.   Menurut Lyotard :  Mendefinisikan postmodern sebagai ketidakpercayaan pada narasi besar modernisme.Terdapat dua narasi besar yang cukup berpengaruh dan dipakai untuk melegitimasi ilmu pengetahuan.

2.   Menurut Antoni Giddens :   Postmodernisme adalah sebuah estetika, sastra, politik atau filsafat sosial, yang merupakan dasar dari upaya untuk menggambarkan suatu kondisi, atau suatu keadaan, atau sesuatu yang berkaitan dengan perubahan pada lembaga-lembaga dan kondisi-kondisi sebagai postmodernita. postmodernisme adalah "fenomena budaya dan intelektual".
3.   Menurut Josh McDowell & Bob Hostetler :   Menawarkan definisi berikut postmodernisme: "Suatu pandangan dunia yang ditandai dengan keyakinan bahwa tidak ada kebenaran dalam pengertian objektif tetapi diciptakan bukan ditemukan.". Kebenaran adalah "yang diciptakan oleh budaya spesifik dan hanya ada di budaya"
4.   Menurut Marvin Harris :   Postmodernisme merupakan gerakan intelektual yang (sedikit) bertentangan dengan modernisme. Istilah ini lebih menitikberatkan pemahaman budaya dalam konteks khusus. Postmodernisme juga tidak memiliki paradig­ma penelitian yang lebih istimewa.
5.   Menurut Michael Foucault :Postmodernisme akan menghubungkan antara ilmu dan alasan. IImu akan mencari “best answer”. Namun, jawaban yang hadir dalam pandangan post modernisme akan menolak generalisasi. Kebenaran, lebih mengandal kan pada kemampuan fiksi persuasif, relativitas, lokal, plural, tak menentu, dan penafsiran.
6.   Menurut Habermas :   Postmodernisme itu sebagai langkah “counter culture”, artinya kebudayaan elit atau kebudayaan massa pada masa modernisme justru dihancurkan.
7.   Menurut Pauline Rosenau :  Mendefinisikan Postmodern secara gamblang dalam istilah yang berlawanan antara lain: Pertama, postmodernisme merupakan kritik atas masyarakat modern dan kegagalannya memenuhi janji-janjinya. Juga postmodern cenderung mengkritik segala sesuatu yang diasosiasikan dengan modernitas
8.   Pemikiran Eagleton : Bahwa postmodernisme memang mengambil ide dari modernisme dan avant-garde, dan kemudian diramu yang lebih masak dengan disiplin lain. Dari modernisme, postmodernisme mencoba mewarisi tentang kritik yang mengambil jarak, sedangkan dari avant-garde, postmoder nisme ingin mencoba memecahkan masalah kehidupan sosial budaya, menolak tradisi, dan sebagai oposisi “high” culture

9.       Marxisme”[8]
Marxisme adalah sebuah paham yang mengikuti pandangan-pandangan dari Karl Marx. Marx menyusun sebuah teori besar yang berkaitan dengan sistem ekonomi, sistem sosial, dan sistem politik.  Pengikut teori ini disebut sebagai Marxis. Marxisme mencakup materialisme dialektis dan materialisme historis serta penerapannya pada kehidupan sosial.
Secara historis, filsafat Marxisme adalah filsafat perjuangan kelas buruh untuk menumbangkan kapitalisme dan membawa sosialisme ke bumi manusia. Sejak filsafat ini dirumuskan oleh Karl Marx dan Friedrich Engels 150 tahun yang lalu dan terus berkembang, filsafat ini telah mendominasi perjuangan buruh secara langsung maupun tidak langsung. Kendati usaha-usaha para akademisi borjuis untuk menghapus ataupun menelikung Marxisme, filsafat ini terus hadir di dalam sendi-sendi perjuangan kelas buruh.
Oleh karenanya filsafat ini adalah miliknya buruh dan bukan hanya milik kaum intelektual. Marx menuangkan pemikirannya bukan untuk kaum intelektual dan para filsuf terpelajar, tetapi untuk digunakan kaum buruh dalam perjuangannya. Dalih bahwa buruh terlalu bodoh untuk bisa memahami dasar-dasar filsafat Marxisme adalah tidak lain usaha kaum borjuasi untuk memisahkan buruh dari filsafat perjuangannya. Tidak ada yang bisa memisahkan buruh dari filsafatnya karena dalam kesehari-hariannya buruh menghidupi filsafat ini di dalam aktivitasnya di pabrik. Alhasil, buruhlah yang pada akhirnya mampu merenggut filsafat ini untuk digunakan dalam perjuangan melawan kapitalisme. Sejarah telah menunjukkan bahwa pasukan kaum intelektual bersenjatakan Marxisme tidak pernah mencapai sejauh pasukan kaum buruh dengan senjata yang sama.
Marxisme adalah kata lain untuk sebuah filsafat yang bernama dialektika materialisme. Dialektika dan materialisme adalah dua filsafat yang dikembangkan oleh filsuf-filsuf Barat -- dan juga Timur, yang kemudian disatukan, disintesakan, oleh Marx menjadi dialektika materialisme.
Untuk memahami pokok-pokok Marxisme, kita bisa memecahkannya menjadi tiga bagian, seperti yang dipaparkan oleh Lenin, yakni:
  1. Materialisme Dialektis
  2. Materialisme Historis
  3. Ekonomi Marxis
Tiga bagian ini yang biasanya menjadi bagian utama dari Marxisme. Namun pada dasarnya, Materialisme Historis adalah pemahaman sejarah dengan metode materialisme dialektis, dan Ekonomi Marxis adalah pemahaman ekonomi dengan metode materialisme dialektis. Semua aspek kehidupan bisa ditelaah dengan materialisme dialektis. Kebudayaan, kesenian, ilmu sains, dll., semua ini bisa dipelajari dengan metode materialisme dialektis, dan hanya dengan metode ini kita bisa memahami bidang-bidang tersebut dengan sepenuh-penuhnya.
Jadi, pada dasarnya, pokok dari Marxisme adalah materialisme dialektis. Oleh karenanya kita akan memulai dari pemahaman materialisme dialektis. Tanpa pemahaman dialektika materialisme, maka kita tidak akan bisa memahami Materialisme Historis dan Ekonomi Marxis.
10.   Dekonstruksi
          Dekonstruksi sering di anggap sebagai ide sentralnya J. Derrida. Dekonstruksi mengguncang kategori-kategori tempat pemikiran kita didasarkan dan yang fundamental dengan bahasa. Dekonstruksi adalah sebuah bentuk kritik yang didasarkan pada pembacaan secara hati-hati.”[9]
          Dengan dekonstruksi berarti postmodernisme meragukan dan bahkan membongkar segalah kepastian ilmu pengetahuan serta membuka kemungkinan pengetahuan-pengetahuan yang semula tidak dianggap masuk akal, mustahil, atau tabu. Maka, prinsip dekonstruksi adalah membongkar, menganalisis struktur, memperhatikan system, mengamati bagaimana membangunnya, mencari inti kekuatan yang menyangga bangunan itu kemudian menggeser sehungga terbebas dari otoritas system.
          Dri hal itu maka istilah khas Jacques Derrida (1930) ini menyiratkan dua makna :
1.   Sikap curiga terhadap rasionalisme yang menjadi promadona dalam dunia modern. Rasionalitas dicurigai karena disinyalir mengandung unsure kekuasaan. Maka bagi Derrida dekonstruksi berarti membongkar kontradiksi-kontradiksi yang ada dalam sebuah hasil yang rasional. Dekonstruksi  berarti membongkar pemikiran-pemikiran yang dianggap dominan dan benar sejauh pemikiran-pemikiran itu tidak menampakan hal-hal yang menjanjikan atau bahkan tidak membahagiakan manusia.
2.   Sikap mau mendengar kambali semua pemikiran marginal yang oleh ilmu rasional dianggap tidak logis dan tidak memiliki nilai ilmiah. Dengan ini, dekonstruksi memungkinkan postmodernisme manjadi sangat demokratis: mendengarkan hal-hal yang dulu dianggap non-sense, yang jangan-jangan disana terkubur kebenaran sejati.”[10]











PUSTAKA :
http://nieamo.blogspot.com/2010/04/komodifikasi-dalam-ekonomi-politik.html
Hardiman. F. Budi Menuju Masyarakat Komunikatif, , Yogyakarta :Kanisius, 1993.. http://chengxplore.blogspot.com/2011/10/ringkasan-teori-kritis-mazhab-frankfurt.html
sahwathy wathy . http://whatylinguist.blogspot.com/2013/10/teori-postkolonial.html
http://softilmu.blogspot.com/2013/12/pengertian-dan-fungsi-ideologi.html..
http://www.militanindonesia.org/teori/sosialisme/8186-mengenal-dasar-dasar-filsafat-marxisme-bagian-i-dialektika-materialisme.html
Jenny Edkins-Nick Vaughan Williams. Teori-Teori Kristis (Menentang Pandangan Utama Sduti Politik Internasianal.Yogyakarta: Puastaka Pelajar. 2013. Hlm 185.
Hipolitus K. Kewuel. Allah Dalam Dunia Postmodern. Malang : Dioma. 2004. Hlm. 89-90


[1] Roland Barthes, Mythologies (New York:Hill & Wang, 1972). 
[2] http://nieamo.blogspot.com/2010/04/komodifikasi-dalam-ekonomi-politik.html

[3] F. Budi Hardiman. Menuju Masyarakat Komunikatif, , Yogyakarta :Kanisius, 1993.. http://chengxplore.blogspot.com/2011/10/ringkasan-teori-kritis-mazhab-frankfurt.html
[4] http://id.wikipedia.org/wiki/Teori_kritis#cite_note-Martin_Jay-5
[5] sahwathy wathy . http://whatylinguist.blogspot.com/2013/10/teori-postkolonial.html

[6] http://softilmu.blogspot.com/2013/12/pengertian-dan-fungsi-ideologi.html..
[8] http://www.militanindonesia.org/teori/sosialisme/8186-mengenal-dasar-dasar-filsafat-marxisme-bagian-i-dialektika-materialisme.html

[9] Jenny Edkins-Nick Vaughan Williams. Teori-Teori Kristis (Menentang Pandangan Utama Sduti Politik Internasianal.Yogyakarta: Puastaka Pelajar. 2013. Hlm 185.
[10] Hipolitus K. Kewuel. Allah Dalam Dunia Postmodern. Malang : Dioma. 2004. Hlm. 89-90

Tidak ada komentar:

Posting Komentar