





NAMA
: Robert
Wowor
MATA
KULIAH : Bioteknologi rekayasa genetika dan
berteologi
DOSEN : DR.Ir. Ardi Kapahang, M.si
HARI/WAKTU : Senin/15:00-17:00
UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA TOMOHON
YPTK GMIM
TOMOHON 2014
Pendahuluan.
Dari
awal kita telahtahuai bersama menyengkut dengan perkembangan dunia tentang
teknologi, dan ada berbagai macam bentuk dan kegunaan dari teknolgi tersebut.
Namun dri sekian banyak teknologi itu di saat ini kita di kususkan untuk
melihat teknologi di satu pihak di bidang kesehetan atau teknologi medis.
teknologi
medis dewasa ini yang membuat banyak hal menyangkut dengan kebaikan kepada
banyak umat manusia namun juga menakutkan bagi manusia. Di satu sisi teknologi
seringkali menyelamatkan, namun di sisi lain kadang kala memberikan cara-cara
yang menyebabakan banyak orang ketakutan.
Pembahasan
tentang Eutanasia memaksa kita untuk membuat keputusan-keputusan antara atau
mengenai pantas tidaknya kegunaan teknologi ini. Dan pada tahab yang lebih
mendalam, pembahasan tentang eutanasia juga memaksa kita berhadapan dengan
kelemahan keadaan manusia.
Banyak
orang akan mengalami berbagai macam penyakit yang serius dan semuanya mungkin
saja bisa mati, dan semua manusia pasti akan mati. Dalam pembahasan ini, oleh
karena itu secara harafiah kita sedang manghadapi berbagai macam pertanyaan
untuk hidup dan kematian. Maka , kiranya kan membantu kita jika kita memulai
dengan pemahaman Kristiani tentang Eksistensi manusia.”[1]
1.
TERMINOLOGI
DAN SEJARAH SINGKAT EUTANASIA
Eutanasia
(Bahasa Yunani: ευθανασία -ευ, eu yang artinya "baik", dan θάνατος,
thanatos yang berarti “kematian”) adalah praktik pencabutan kehidupan manusia
atau hewan melalui cara yang dianggap tidak menimbulkan rasa sakit atau
menimbulkan rasa sakit yang minimal, biasanya dilakukan dengan cara memberikan
suntikan yang mematikan. Dari dua kata ini, "eu" (= baik) and
"thanatos" (maut, kematian) apabila digabungkan berarti
"kematian yang baik". Sedangkan Oxford English Dictionary
mendefinisikan eutanasia adalah “kematian yang lembut dan nyaman, dilakukan
terutama dalam kasus penyakit yang penuh penderitaan dan yang tak tersembuhkan.
Seorang penulis Yunani bernama Suctonius dalam bukunya vita ceaserum menjelaskan arti euthanasia sebagai “mati cepat tanpa derita”. Dan juga ; “Euthanasia adalah dengan sengaja tidak melakukan sesuatu (nalaten) untuk memperpanjang hidup seseorang pasien atau sengaja melakukan sesuatu untuk memperpendek atau mengakhiri hidup seorang pasien dan semua dilakukan khusus untuk kebaikan dan kepentingan pasien itu sendiri. Atau dengan istilah lain, eutanasia dilakukan semata-mata karena kasih kepada pasien yang menderita. Namun dalam sejarah kata eutanasia sebenarnya digunakan secara eufemistik, untuk melukiskan praktek-praktek dan motif-motif yang tidak banyak berkaitan dengan belas kasih, misalnya pembunuhan bayi-bayi dari zaman dulu sampai sekarang,secara khusus terhadap bayi-bayi yang cacat. Hippokrates pertama kali menggunakan istilah "eutanasia" ini, dalam sumpah Hippokrates yang ditulis pada masa 400-300 SM. Sumpah tersebut berbunyi: "Saya tidak akan menyarankan dan atau memberikan obat yang mematikan kepada siapapun meskipun telah dimintakan untuk itu". Dalam sejarah hukum Inggris yaitu common law sejak tahun 1300 hingga saat ini "bunuh diri " ataupun " membantu pelaksanaan bunuh diri" tidak diperbolehkan, demikian juga dengan di Indonesia. Namun ada beberapa negara yang mengizinkan atau melehalkan euthanasia.”[2]
Seorang penulis Yunani bernama Suctonius dalam bukunya vita ceaserum menjelaskan arti euthanasia sebagai “mati cepat tanpa derita”. Dan juga ; “Euthanasia adalah dengan sengaja tidak melakukan sesuatu (nalaten) untuk memperpanjang hidup seseorang pasien atau sengaja melakukan sesuatu untuk memperpendek atau mengakhiri hidup seorang pasien dan semua dilakukan khusus untuk kebaikan dan kepentingan pasien itu sendiri. Atau dengan istilah lain, eutanasia dilakukan semata-mata karena kasih kepada pasien yang menderita. Namun dalam sejarah kata eutanasia sebenarnya digunakan secara eufemistik, untuk melukiskan praktek-praktek dan motif-motif yang tidak banyak berkaitan dengan belas kasih, misalnya pembunuhan bayi-bayi dari zaman dulu sampai sekarang,secara khusus terhadap bayi-bayi yang cacat. Hippokrates pertama kali menggunakan istilah "eutanasia" ini, dalam sumpah Hippokrates yang ditulis pada masa 400-300 SM. Sumpah tersebut berbunyi: "Saya tidak akan menyarankan dan atau memberikan obat yang mematikan kepada siapapun meskipun telah dimintakan untuk itu". Dalam sejarah hukum Inggris yaitu common law sejak tahun 1300 hingga saat ini "bunuh diri " ataupun " membantu pelaksanaan bunuh diri" tidak diperbolehkan, demikian juga dengan di Indonesia. Namun ada beberapa negara yang mengizinkan atau melehalkan euthanasia.”[2]
2.
Jenis
Eutanasia
Menurut jenisnya, euthanasia dapat ditinjau dari beberapa sudut. Dilihat dari cara dilaksanakannya, euthanasia
dapat dibedakan atas 2 bagian yakni:
1. Euthanasia
Pasif yaitu perbuatan yang menghentikan atau mencabut segala tindakan atau
pengobatan yang perlu untuk mempertahankan kehidupan manusia. Dalam hal ini, dokter atau tenaga medislainnya secara sengaja tidak lagi memberikan pengobatan
demi memperpanjang kehidupan pasien, misalnya: dengan mencabut alat-alat yang
digunakan untuk mempertahankan hidup, keluarga tidak lagi merawat pasien di
RS. Hal ini terjadi untuk pasien yang
benar-benars udah terminal, dalam arti tidak bias disembuhkan lagi, dan segala upaya
pengobatan sudah tidak berguna pula.Belakangan tidak lagi dianggap sebagai
euthanasia. Umumnya kalangan dokter dan agamawan setuju, karena pasien meninggal karena penyakitnya, bukan karena usaha-usaha yang
dilakukan manusia.
2. Euthanasia
Aktif yaitu perbuatan yang dilakukan secara medis melalui intervensi aktif oleh
seorang dokter dengan tujuan untuk mengakhiri hidup manusia. Euthanasia
aktifini dibedakan dalam dua bagian:
a. Euthanasia
aktif langsung adalah dilakukannya tindakan medis secara terarah yang
diperhitungkan akan mengakhiri hidup pasien, atau memperpendek hidup pasien
dengan caramisalnya di suntikmati. Jenis euthanasia ini dikenal juga sebagai mercy
killing.
b. Euthanasia
tidak langsung adalah dimana dokter atau tenaga kesehatan melakukan tindakan
medis untuk meringankan penderitaan pasien, namun mengetahui adanya resiko
tersebut dapat memperpendek atau mengakhiri hidup pasien. Dokter hanya membantu
pasien, misalnya dengan member resep obat yang mematikan dalam dosis besar. Euthanasia ini biasanya disebut “bunuh diri berbantuan”
atau “bunuh diri yang dibantu dokter” (tentu ini tidak berlaku bagi pasien yang
untuk bergerak pun tidak bisa).
Ditinjau
dari segi permintaan, euthanasia dapat dibedakan atas dua kategori:
1.
Euthanasia Voluntir atau euthanasia sukarela yaitu euthanasia yang
dilakukan atas permintaan pasien secara sadar dan diminta berulang-ulang.
2.
Euthanasia involuntir adalah euthanasia yang dilakukan pada pasien yang sudah tidak sadar, dan
biasanya keluarga pasien yang meminta.”
3.
Pandangan Masyarakat Terhadap Euthanasia
Geisler berkata bahwa perdebatan tentang
euthanasia pada dasarnya merupakan suatu perselisihan tentang
pandangan-pandangan dunia. Euthanasia memang merupakan tindakan yang masih
menjadi perdebatan umum dikalangan masyarakat. Beberapa pandangan dalam masyarakat
membuat perbedaan yang kontras akan masalah ini. Ada yang mendukung dan ada
juga yang sama sekali menentangnya.
Penganut utilitarianisme bisa jadi
merupakan pendukung praktek euthanasia sebagai satu praktek yang wajar bagi
mereka. Kaum utilitarian memegang Etika Teleologis yaitu suatu etika yang
berpusat pada tujuan, oleh karena itu jika euthanasia (kematian) dianggap
membawa kebahagiaan bagi orang tersebut, maka euthanasia adalah sesuatu yang
tidak melanggar moral dan boleh dilakukan.
Perbedaan pandangan yang terjadi di
dalam masyarakat menjadi sebuah perselisihan panjang yang tidak pernah menemui
ujungnya. Kaum pro euthanasia dan kaum sekuler ekstrim berpendapat bahwa
euthanasia itu masuk akal dilakukan oleh manusia sebab mereka berpendapat bahwa
manusia tidak diciptakan oleh Allah, manusia tidak memiliki nilai-nilai yang
diberikan oleh Allah sehingga manusia
memiliki hak-nya sendiri untuk menentukan hidup dan matinya. Sementara
itu di sisi bersebrangan ada kaum Kristen, Yahudi kristen, dan agama-agama
Theistik lainnya yang berpendapat bahwa euthanasia dalam bentuk apapun juga
merupakan tindakan yang tidak dapat diterima secara moral. Di pihak medis
ternyata juga mempunyai pandangan tersendiri terhadap euthanasia, para dokter serta
pihak medis yang lain menganggap bahwa
belas kasihan (compassion) terhadap manusia itu lebih diutamakan
sehingga Tujuan dalam pemakaian fasilitas euthanasia ialah untuk mencetuskan
belas kasihan secara praktis. Melihat penderitaan pasien yang semakin hari
menunjukan kesakitannya walaupun obat-obatan penahan sakit sudah diberikan,
sehingga membuat suatu rasa iba yang mendalam bagi pihak medis yang merawat dan
akhirnya membuat mereka memikirkan euthanasia secara serius demi alasan belas
kasihan.
Akan tetapi benarkah bahwa alasan belas
kasihan akan penderitaan, entah bagaimanapun parahnya dapat menghalalkan cara
atau metode apapun untuk dilakukan? Hal inilah yang menjadi permasalahan sampai
saat ini. Satu catatan penting di tuliskan oleh seorang ahli kedokteran bahwa
belas kasihan memang hal yang terpenting tetapi tidak perlu bahkan tidak bisa
mengesampingkan masalah hukum[9] sehingga menurut penulis, belas kasihan memang
hal yang penting, akan tetapi harus mempertimbangkan aspek-aspek penting lainnya
sehingga keputusan yang di ambil tidak bersifat afektif dan subjektif.”[3]
4.
Pandangan
Kristen Tentang Eutanasia.
Pembicaraan mengenai eutanasia pasti erat hubungannya
dengan hidup manusia. Permasalahannya ialah tidak hanya sekedar benar atau
salah dan diperbolehkan atau tidaknya tindakan eutanasia ini, karena tindakan
ini tidak mudah dicari solusinya. Apalagi dengan adanya pro dan kontra terhadap
euthanasia
Menurut pandangan Kristiani, hidup adalah anugerah Allah.
Oleh karena itu, hanya Allah Sang Sumber Hiduplah yang berkuasa atas hidup dan
matinya seseorang. Manusia tidak mempunyai hak secara sengaja dan langsung
menghentikan proses kehidupannya. Oleh karena itu, segala bentuk eutanasia
langsung, baik aktif maupun pasif tidak dapat dibenarkan.
a. Makna
Kehidupan
Dalam praksis kehidupan, kita dituntut memberikan
pelayanan rohani bagi orang sakit. Dukungan dan bantuan iman sangat berharga
bagi penderita karena dapat menguatkan mereka untuk menerima kenyataan yang
dihadapi dan mendukung mereka agar semakin mengalami karya keselamatan Allah.
Maka, pemahaman yang baik tentang eutanasia ini dapat membantu kita untuk
mengambil sikap yang tepat berdasarkan penilaian moral yang benar sesuai ajaran
Gereja Katolik mengenai permasalahan hidup dan matinya seseorang.
Hidup manusia sangat bernilai dan perlu diperjuangkan
terus-menerus demi keluhuran manusia itu sendiri. Hidup adalah milik Allah yang
melimpahkan kasih karunia-Nya kepada manusia. Demikian pula dengan kematian
manusia, sepenuhnya adalah milik Allah. Hidup manusia itu suci karena hidup
tidak hanya dipandang untuk saat ini saja tetapi juga untuk hidup kekal.
Lihatlah, betapa indahnya dan berharganya arti hidup ini apabila dikaitkan
dengan kelahiran dan penciptaan. Manusia sebagai ciptaan Allah dipanggil dan
dituntut memperjuangkan dan memelihara hidupnya, baik hidup sekarang maupun
hidup yang akan datang.
Ø Pandangan
Perjanjian Lama
Dalam Kejadian 7:21 dan Mazmur 69:35, para penulis kitab
melihat bahwa hidup manusia adalah pemberian Allah dan pemberian Allah itu
sungguh besar, karena Allah menciptakan manusia secitra atau segambar dengan
Allah sendiri (Kej 1:26). Selain itu, umat Perjanjian Lama mengakui bahwa Allah
itu adalah Allah yang hidup. Hal ini tampak dalam panggilan Musa. Allah
memperkenalkan diri-Nya sebagai Allah yang hidup, Allah Abraham, Ishak, dan
Allah Yakub (Kel 2:23-4:17, Bil 14:21.28, bandingkan dengan 1Sam 14:39).
Ø Pandangan
Perjanjian Baru
Hidup itu ada karena Allah memberikan Roh kehidupan.
Dalam Injil Lukas dikatakan bahwa Rohlah yang memberikan hidup dan bukan hanya
di dunia ini tetapi hingga akhir zaman (Luk 9:25). Roh yang memberikan hidup
tampak jelas dalam Injil mengenai kanak-kanak Yesus. Roh Kudus turun atas Maria
dan kuasa Allah Yang Mahatinggi akan menaunginya. (Luk 1:41; Mat 1:20; Yoh
1:1-18). Hidup juga mempunyai fungsi sosial, yaitu penyerahan hidup untuk
kepentingan bersama. Yesus mengajarkan, “Kasihanilah seorang akan yang lain”
(Yoh 15:17) dan Paulus menekankan hidup sebagai upaya hidup bersama (1Tim 2:2).
Sementara surat pertama Yohanes menguatkan pandangan yang sama. Perjanjian Baru
sungguh mau meneruskan Perjanjian Lama dengan sudut pandang yang baru bahwa
hidup manusia bergantung kepada Allah. Manusia tidak dapat memperpanjang atau
memperpendek hidupnya (Mat 6:25; Luk 12:25; Yoh 4:15), hidup juga berarti sehat
dan sembuh (Yoh 4:50), dan orang yang bersatu dengan Yesus memperoleh kehidupan
(Mrk 8:35; Yoh 12:25; 1Yoh 3:16; 2Kor 12:15; Flp 2:30; dan Why 12:11).”[4]
5.
Penutup
Tak ada orang yang mempunyai hak moral untuk membunuh manusia tak bersalah.
Kata Alkitab, “Jangan membunuh” (Kel. 20:30). “dan seorang pun tidak ada yang
dapat melepaskan dari tangan-Ku” (Ul. 32:29). Ayub mengatakan, ”Tuhan memberi,
Tuhan yang mengambil” (Ayb. 1:21) dan Dia saja yang berhak mengambilnya (Ibr
9:27). Kesalahan euthanasia aktif adalah memainkan peranan sebagai Allah dan
bukan manusia. Bahkan Alkitab mengatakan bahwa kita bukanlah pencipta hidup kita.
Jadi hidup kita bukanlah milik kita (Kis.14:17;17:24-25) Jika euthanasia adalah
memperbolehkan membunuh dengan tujuan yang baik, maka dengan membunuh pendukung
euthanasia jutaan nyawa bisa terselmatakan. Tetapi tidak akan ada pendukung euthanasia
yang memperbolehkannya.
Contoh
kasus untuk di kaji secara bersama :
Seorang
perempuan berumur 25 tahun menderita kanker otak yang tidak bisa di operasi dan
tidak bisa disembuhkan. Dia menderita rasa nyeri yang luar biasa meskipun sudah
mendapat obat pengurang rasa nyeri dengan dosis yang sangat tinggi. Dokter
telah mengenalnya sejak dia berumur belasan tahun, ketika ia aktif terlibat
mengikuti program olah raga di SMA. Dia menonjol di berbagai bidang olah raga
di perguruan tinggi. Setelah lulus , keterampilan pengendalian tubuhnya
menurun/berkurang dan didiagnosa mengidap kanker sejak berumur 23 tahun. Dia
memintah kepada dokter agar “merelahkannya pergi”. Dokternya member resep
berisis 50 tablet pengurang rasa sakit dan berkata “jangan sekali-kali menelan
20 pil bersamaan karena akan membunuhmu” si perempuan itu meninggal satu minggu
kedepan karena menelan obat pengurang sara sakit dalam jumlah yang besar.
[1] Gregory C. Higgins, Dilema Moral Zaman Ini. Kanisius.
Yogyakarta:2006, hlm :96-97
[3] Geisler, Norman L. Etika Kristen: Pilihan dan Isu. Malang:
Departement LiteraturSAAT, 2000.
( diunduh : 22-10-2014)
[4] http://etika kristen
euthanasia.blogspot.com/2012/03/pandangan-agama-kristen-pada-euthanasia.html
(22-10-2014)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar