Pendeta adalah
seorang hamba Tuhan yang bekerja kepada Tuhan di dalam jemaat dengan melakukan
tugas-tugasnya yaitu sebagai pendamping pastoral kepada jemaat, dan juga
sebagai pengkhotbah dengan tujuan untuk membangun iman warga jemaat.[1]
Sedangkan dalam
tradisi atau aturan GMIH, seorang pendeta yang berada di jemaat adalah sebagai
penatua yang berfungsi sebagai ketua BPHMJ (Badan Pengurus Harian Majelis
Jemaat). dengan fungsinya sebagai ketua jemaat maka selain manjalankan tugas
pastoralnya ia harus mengurus bersama - sama dengan majelis untuk mengatur
berbagai hal menyangkut dengan kebutuhan jemaat.
Pendeta adalah
pemimpin jemaat yang selalu menjadi figur atau panutan dalam jemaat, sehingga
keluarga pendeta dalam hal ini istri atau suami anak-anak jika pendeta sudah
berkeluarga. Maka hal itu juga turut mempengaruhi bahkan harus mendukung
pendeta secara langsung dalam memimpin jemaat.
Pendeta
merupakan panggilan dari Allah melalui jemaat dan dalam memahami panggilan
Allah tersebut maka dapat dilihat dalam dua aspek. Pertama, penggilan pribadi
dalam arti bahwa seseorang harus merasa bahwa di dalam hatinya ada motivasi
untuk melayani bukan untuk menguasai. Namun keinginan ini bukanlah sesuatu yang
mutlak karena bisa berarti tidak berasal dari Allah karena bersifat subjektif.
Sebab jabatan pendeta bukanlah hal pribadi saja. Kedua, panggilan yang disahkan
oleh gereja (jemaat). Tuhan memanggilnya lewat gereja, dan hanya mereka yang
telah terpanggil oleh gereja yang mempunyai hak secara resmi untuk berkhotbah
dan melayani sakramen.
Dalam lingkungan
Gereja Reformasi kita mengenal adanya upacara pentahbisan seorang warga gereja
menjadi pendeta. Di lingkungan Protestan arus utama, pentahbisan seseorang
menjadi pendeta dilakukan setelah seseorang memperoleh pendidikan teologi dan
memenuhi syarat gerejani, antara lain setelah menjalankan suatu masa persiapan
menjadi pendeta, yang biasanya dikenal sebagai masa Vikariat pendeta. Dengan
syarat itu maka seseorang diharapkan telah memenuhi apa yang dimaksud dalam
Imamat 20 :7 “kamu harus menguduskan
dirimu, dan kuduslah kamu, sebab Akulah TUHAN, Allahmu”. Dengan demikian
seseorang menempatkan dirinya di luar lingkungan yang jahat dan berbalik kepada
Tuhan, dipersiapkan untuk dipakai oleh Tuhan Allah menjadi alat di tangan-Nya.
Oleh karena itu pentahbisan seorang menjadi pendeta memegang peranan penting
dalam pertumbuhannya ke arah kehidupan bersama Tuhan. Ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam hal
ini yaitu, pertama, memisahkan diri
dari kehidupan dosa. Kedua, tumbuhkanlah kesadaran bahwa Tuhan Allah sendiri
menyiapkan kita dengan menguduskan diri kita. Dia juga mempersiapkan kita
melaksanakan pelayanan. Tuhan Allah merancang hidup kita agar kita hanya
memperoleh minuman dari Dia. Karya-karya yang dilakukan dalam kesalehan manjadi
jalan ke dalam pengenalan yang lebih mendalam akan apa yang merupakan kehidupan
yang tidak benar yang perlu dihilangkan dari kehidupan kita. Dalam hal ini kita
perlu memberi diri kita dibentuk oleh Tuhan Allah.[2]
Hal yang paling sentral dalam
penahbisan pendeta adalah penumpangan tangan. Penumpangan tangan adalah suatu
lambang yang nyata bahwa Allah yang sendiri menahbiskan orang tersebut dan
memisahkannya untuk pelayanan Firman dan sakramen. Penumpangan tangan juga
merupakan suatu penyerahan kepada Allah dalam doa.
Namun dalam
perjalanan kehidupan Pendeta GMIH, selalu ada, bukan untuk mencari dengan cara
bagaimanakah agar para pendeta terus menghayati makna pemanggilannya itu,
malahan mencari dengan cara bagaimanakah agar pendeta dibenarkan untuk masuk
dan ikut dalam partai politik.
Dalam kaitannya
dengan partai politik Secara umum partai politik dapat dirumuskan yaitu suatu
kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi,
nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Adapun tujuan dibentuknya sebuah partai
politik adalah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik
dengan cara konstitusional dimana melalui kekuasaan tersebut partai politik
dapat melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka.[3]
Menurut Sigmun
Neumann sebagaimana dikutip oleh Eddi Wibowo
partai politik adalah organisasi yang terdiri dari aktifis-aktifis
politik, yang berusaha untuk menguasai kekuasaan pemerintah, serta merebut
dukungan rakyat atas dasar persaingan dengan suatu golongan atau
golongan-golongan lain yang mempunyai pandangan yang berbeda.”[4]
Adapun tugas dan
fungsi partai politik yaitu :
- Partai politik sebagai sarana komunikasi politik.
- Partai politik sebagai sarana sosialisasi politik.
- Partai politik sebagai sarana rekrutmen politik
- Partai politik sebagai sarana pengatur konflik.
- Partai politik sebagai sarana partisipasi politik.
- Partai politik sebagai sarana pembuatan kebijakan.
- Partai politik sebagai pemandu kepentingan.
- partai politik sebagai kontrol politik.
dalam kaitan dengan
perebutan kekuasaan yang dilakukan dengan masuknya pendeta ke partai politik
dengan tujuan menjadi seorang calon anggogat legislatif (Caleg) yang katanya
akan duduk di kursi parlemen dan membawa suara rakyat yang tanpa ada manipulasi
apapun dengan tujuan utama yaitu untuk menggarami dan menerangi dunia politik
yang selama ini dianggap kotor oleh masyarakat.
Pada hal pendeta
dengan tidak sadar melihat jati dirinya dan ilmu yang didapat untuk menjadi
seorang pendeta untuk membandingkan dengan tugas dan kinerja DPRD yang bagi
penulis tidak ada saling bertemu satu dengan yang lain. Ada tiga tugas pokok
yang dilakukakan oleh anggota legislatif dalam masa periodenya yaitu pengawasan,
legislasi, dan bajeting atau penganggaran namun menurut penelitian yang lakukan
sangat disayangkan yaitu bahwa ternyata banyak anggota DPRD termasuk di
dalamnya pandeta tidak mampu membuat atau melaksanakan dua tugas utama yaitu
bajeting dan legislasi, yang mampu mereka lakukan hanyalah pengawasan atau
kontrol.
Oleh karena itu,
Jika seorang pendeta menjadi caleg itu merupakan sebuah kegagalan besar, maka
itu berarti kegagalan bagi gereja khusus GMIH. Para
pendeta (hamba Tuhan) yang notabene seharusnya mendidik umatnya untuk menjadi
sebuah pribadi yang lengkap, justru maju bersaing dengan jemaatnya dalam
memperebutkan kursi dewan. Bukankah ini sebuah fenomena yang menyedihkan
terjadi di GMIH? Bukankah ini menunjukan kegagalan gereja, kegagalan pola pelayanan
dan pembinaan umat?. Yang seharusnya gereja adalah tempat mempersiapkan
orang-orang Kristen yang siap pakai, orang-orang yang menjadi garam dan terang,
orang-orang yang bisa menunjukan kehidupan Kristus dalam diri mereka, dan
tentunya orang-orang yang menjadi caleg untuk membawa suara profetis bagi
daerah ini. Tetapi apa yang kita lihat sekarang ini, seharusnya pendeta-pendeta
bertugas di ranah mempersiapkan pemimpin-pemimpin (caleg), bukan justru malah
terjun langsung menjadi caleg. Asumsinya bahwa ketika seorang anak buah tidak
mampu melakukan suatu tugas, maka pemimpinnya(pendeta) yang akan turun tangan.
Tetapi jika anak buahnya (jemaat) selama tidak mampu melakukan tugasnya ,
berarti ada kesalahan, entah itu kesalahan pada anak buahnya atau lebih besar
kemungkinan pemimpinnya yang tidak mau disaingi. Dalam arti bahwa pendeta yang
ikut dalam kancah politik praktis lebih merasa bahwa jemaatnya tidak mampu
membawa perubahan, ataukah ada juga motivasi lain. Tetapi jika demikian bahwa
pendeta masuk menjadi caleg karena merasa jemaatnya tidak mempu membawa
perubahan itu berarti bahwa gereja kita khususnya GMIH sedang mengalami krisis
kepemimpinan. Ini berarti ada yang salah dalam pembinaan di jemaat.
Menurut Eka
Darmaputra”[5]
Bahwa berkaitan dengan hal ini semakin banyak warga jemaat yang mengeluh
tentang pendetanya, bukan oleh kerena pendeta-pendeta mereka malas, kurang
kesibukan, kurang pandai. Melainkan sebaliknya yakni pendeta-pendeta mereka
terlalu sibuk tetapi bukan sibuk dalam hal pelayanan gereja tetapi sibuk
mengamati politik bahkan menjadi politisi. Dengan ini maka Pendeta-pedeta
semakin kehilangan karekter kependetaannya. Semakin pudar citra dan diri mereka
sebagai seorang pemimpin rohani umat, bagi banyak pendeta sekarang ini hampir
tidak bisa menolak untuk duduk di kursi legislatif.
Hal ini bisa
saja orang mengatakan bahwa zaman telah berubah, ini bisa diakui benar. Namun
demikian, ada satu hal yang tidak bisa berubah dan tidak boleh kita biarkan
berubah. Sampai kapan pun dan dalam situasi apa pun gereja harus tetap
mempertahankan dirinya sabagai sebuah persekutuan rohani, dan oleh karena itu,
juga harus dipimpin oleh suatu kepemimpinan yang rohani yang tidak gampang
meninggalkan jabatan rohani itu.
TUHAN
ALLAH DI DALAM YESUS KRISTUS MEMBERKATI KITA ..AMIN. ……………….
[1] Emanuel.G. Singgih., Bergereja, Berteologi dan Bermasyarakat,
Yogyakarta : TPK, 1997. Hlm. 31.
[2] A.F. Parengkuan. Makna Pentahbisan pendeta. Meteri pada Saat
Rakersi di Jemaat Betlehem WKO Wosia.
[4] Eddi Wibowo. et.al., Ilmu Politik Kontemporer. Yogyakarta : YPAPI. 2004. Hlm. 67-68
[5] Eka Darmaputera., Pergulatan Kehadiran Kristen Di Indonesia.
Jakarta :
BPK-GM.2001. hlm. 826-827
Tidak ada komentar:
Posting Komentar