Kamis, 26 Maret 2015

POLITIK PRAKTIS PENDETA



Pendeta adalah seorang hamba Tuhan yang bekerja kepada Tuhan di dalam jemaat dengan melakukan tugas-tugasnya yaitu sebagai pendamping pastoral kepada jemaat, dan juga sebagai pengkhotbah dengan tujuan untuk membangun iman warga jemaat.[1]
Sedangkan dalam tradisi atau aturan GMIH, seorang pendeta yang berada di jemaat adalah sebagai penatua yang berfungsi sebagai ketua BPHMJ (Badan Pengurus Harian Majelis Jemaat). dengan fungsinya sebagai ketua jemaat maka selain manjalankan tugas pastoralnya ia harus mengurus bersama - sama dengan majelis untuk mengatur berbagai hal menyangkut dengan kebutuhan jemaat.
Pendeta adalah pemimpin jemaat yang selalu menjadi figur atau panutan dalam jemaat, sehingga keluarga pendeta dalam hal ini istri atau suami anak-anak jika pendeta sudah berkeluarga. Maka hal itu juga turut mempengaruhi bahkan harus mendukung pendeta secara langsung dalam memimpin jemaat.

Pendeta merupakan panggilan dari Allah melalui jemaat dan dalam memahami panggilan Allah tersebut maka dapat dilihat dalam dua aspek. Pertama, penggilan pribadi dalam arti bahwa seseorang harus merasa bahwa di dalam hatinya ada motivasi untuk melayani bukan untuk menguasai. Namun keinginan ini bukanlah sesuatu yang mutlak karena bisa berarti tidak berasal dari Allah karena bersifat subjektif. Sebab jabatan pendeta bukanlah hal pribadi saja. Kedua, panggilan yang disahkan oleh gereja (jemaat). Tuhan memanggilnya lewat gereja, dan hanya mereka yang telah terpanggil oleh gereja yang mempunyai hak secara resmi untuk berkhotbah dan melayani sakramen.
Dalam lingkungan Gereja Reformasi kita mengenal adanya upacara pentahbisan seorang warga gereja menjadi pendeta. Di lingkungan Protestan arus utama, pentahbisan seseorang menjadi pendeta dilakukan setelah seseorang memperoleh pendidikan teologi dan memenuhi syarat gerejani, antara lain setelah menjalankan suatu masa persiapan menjadi pendeta, yang biasanya dikenal sebagai masa Vikariat pendeta. Dengan syarat itu maka seseorang diharapkan telah memenuhi apa yang dimaksud dalam Imamat 20 :7 “kamu harus menguduskan dirimu, dan kuduslah kamu, sebab Akulah TUHAN, Allahmu”. Dengan demikian seseorang menempatkan dirinya di luar lingkungan yang jahat dan berbalik kepada Tuhan, dipersiapkan untuk dipakai oleh Tuhan Allah menjadi alat di tangan-Nya. Oleh karena itu pentahbisan seorang menjadi pendeta memegang peranan penting dalam pertumbuhannya ke arah kehidupan bersama Tuhan. Ada dua hal yang perlu diperhatikan dalam hal ini yaitu, pertama, memisahkan diri dari kehidupan dosa. Kedua, tumbuhkanlah kesadaran bahwa Tuhan Allah sendiri menyiapkan kita dengan menguduskan diri kita. Dia juga mempersiapkan kita melaksanakan pelayanan. Tuhan Allah merancang hidup kita agar kita hanya memperoleh minuman dari Dia. Karya-karya yang dilakukan dalam kesalehan manjadi jalan ke dalam pengenalan yang lebih mendalam akan apa yang merupakan kehidupan yang tidak benar yang perlu dihilangkan dari kehidupan kita. Dalam hal ini kita perlu memberi diri kita dibentuk oleh Tuhan Allah.[2]
         Hal yang paling sentral dalam penahbisan pendeta adalah penumpangan tangan. Penumpangan tangan adalah suatu lambang yang nyata bahwa Allah yang sendiri menahbiskan orang tersebut dan memisahkannya untuk pelayanan Firman dan sakramen. Penumpangan tangan juga merupakan suatu penyerahan kepada Allah dalam doa.
Namun dalam perjalanan kehidupan Pendeta GMIH, selalu ada, bukan untuk mencari dengan cara bagaimanakah agar para pendeta terus menghayati makna pemanggilannya itu, malahan mencari dengan cara bagaimanakah agar pendeta dibenarkan untuk masuk dan ikut dalam partai politik.
Dalam kaitannya dengan partai politik Secara umum partai politik dapat dirumuskan yaitu suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Adapun tujuan dibentuknya sebuah partai politik adalah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik dengan cara konstitusional dimana melalui kekuasaan tersebut partai politik dapat melaksanakan kebijakan-kebijakan mereka.[3]
Menurut Sigmun Neumann sebagaimana dikutip oleh Eddi Wibowo  partai politik adalah organisasi yang terdiri dari aktifis-aktifis politik, yang berusaha untuk menguasai kekuasaan pemerintah, serta merebut dukungan rakyat atas dasar persaingan dengan suatu golongan atau golongan-golongan lain yang mempunyai pandangan yang berbeda.”[4]
Adapun tugas dan fungsi partai politik yaitu :
  1. Partai politik sebagai sarana komunikasi politik.
  2. Partai politik sebagai sarana sosialisasi politik.
  3. Partai politik sebagai sarana rekrutmen politik
  4. Partai politik sebagai sarana pengatur konflik.
  5. Partai politik sebagai sarana partisipasi politik.
  6. Partai politik sebagai sarana pembuatan kebijakan.
  7. Partai politik sebagai pemandu kepentingan.
  8. partai politik sebagai kontrol politik.
dalam kaitan dengan perebutan kekuasaan yang dilakukan dengan masuknya pendeta ke partai politik dengan tujuan menjadi seorang calon anggogat legislatif (Caleg) yang katanya akan duduk di kursi parlemen dan membawa suara rakyat yang tanpa ada manipulasi apapun dengan tujuan utama yaitu untuk menggarami dan menerangi dunia politik yang selama ini dianggap kotor oleh masyarakat.
Pada hal pendeta dengan tidak sadar melihat jati dirinya dan ilmu yang didapat untuk menjadi seorang pendeta untuk membandingkan dengan tugas dan kinerja DPRD yang bagi penulis tidak ada saling bertemu satu dengan yang lain. Ada tiga tugas pokok yang dilakukakan oleh anggota legislatif dalam masa periodenya yaitu pengawasan, legislasi, dan bajeting atau penganggaran namun menurut penelitian yang lakukan sangat disayangkan yaitu bahwa ternyata banyak anggota DPRD termasuk di dalamnya pandeta tidak mampu membuat atau melaksanakan dua tugas utama yaitu bajeting dan legislasi, yang mampu mereka lakukan hanyalah pengawasan atau kontrol.
Oleh karena itu, Jika seorang pendeta menjadi caleg itu merupakan sebuah kegagalan besar, maka itu berarti kegagalan bagi gereja khusus GMIH. Para pendeta (hamba Tuhan) yang notabene seharusnya mendidik umatnya untuk menjadi sebuah pribadi yang lengkap, justru maju bersaing dengan jemaatnya dalam memperebutkan kursi dewan. Bukankah ini sebuah fenomena yang menyedihkan terjadi di GMIH? Bukankah ini menunjukan kegagalan gereja, kegagalan pola pelayanan dan pembinaan umat?. Yang seharusnya gereja adalah tempat mempersiapkan orang-orang Kristen yang siap pakai, orang-orang yang menjadi garam dan terang, orang-orang yang bisa menunjukan kehidupan Kristus dalam diri mereka, dan tentunya orang-orang yang menjadi caleg untuk membawa suara profetis bagi daerah ini. Tetapi apa yang kita lihat sekarang ini, seharusnya pendeta-pendeta bertugas di ranah mempersiapkan pemimpin-pemimpin (caleg), bukan justru malah terjun langsung menjadi caleg. Asumsinya bahwa ketika seorang anak buah tidak mampu melakukan suatu tugas, maka pemimpinnya(pendeta) yang akan turun tangan. Tetapi jika anak buahnya (jemaat) selama tidak mampu melakukan tugasnya , berarti ada kesalahan, entah itu kesalahan pada anak buahnya atau lebih besar kemungkinan pemimpinnya yang tidak mau disaingi. Dalam arti bahwa pendeta yang ikut dalam kancah politik praktis lebih merasa bahwa jemaatnya tidak mampu membawa perubahan, ataukah ada juga motivasi lain. Tetapi jika demikian bahwa pendeta masuk menjadi caleg karena merasa jemaatnya tidak mempu membawa perubahan itu berarti bahwa gereja kita khususnya GMIH sedang mengalami krisis kepemimpinan. Ini berarti ada yang salah dalam pembinaan di jemaat.
Menurut Eka Darmaputra”[5] Bahwa berkaitan dengan hal ini semakin banyak warga jemaat yang mengeluh tentang pendetanya, bukan oleh kerena pendeta-pendeta mereka malas, kurang kesibukan, kurang pandai. Melainkan sebaliknya yakni pendeta-pendeta mereka terlalu sibuk tetapi bukan sibuk dalam hal pelayanan gereja tetapi sibuk mengamati politik bahkan menjadi politisi. Dengan ini maka Pendeta-pedeta semakin kehilangan karekter kependetaannya. Semakin pudar citra dan diri mereka sebagai seorang pemimpin rohani umat, bagi banyak pendeta sekarang ini hampir tidak bisa menolak untuk duduk di kursi legislatif.
Hal ini bisa saja orang mengatakan bahwa zaman telah berubah, ini bisa diakui benar. Namun demikian, ada satu hal yang tidak bisa berubah dan tidak boleh kita biarkan berubah. Sampai kapan pun dan dalam situasi apa pun gereja harus tetap mempertahankan dirinya sabagai sebuah persekutuan rohani, dan oleh karena itu, juga harus dipimpin oleh suatu kepemimpinan yang rohani yang tidak gampang meninggalkan jabatan rohani itu.

TUHAN ALLAH DI DALAM YESUS KRISTUS MEMBERKATI KITA ..AMIN. ……………….




[1] Emanuel.G. Singgih., Bergereja, Berteologi dan Bermasyarakat, Yogyakarta : TPK, 1997. Hlm. 31.
[2] A.F. Parengkuan. Makna Pentahbisan pendeta. Meteri pada Saat Rakersi di Jemaat Betlehem WKO Wosia.
[3] Miriam Bidiardjo. Dasar-dasar Ilmu Politik.  Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 2008. hlm. 403
[4] Eddi Wibowo. et.al., Ilmu Politik Kontemporer. Yogyakarta : YPAPI. 2004. Hlm. 67-68
[5] Eka Darmaputera., Pergulatan Kehadiran Kristen Di Indonesia. Jakarta : BPK-GM.2001. hlm. 826-827

Tidak ada komentar:

Posting Komentar