Kamis, 26 Maret 2015

ringkasan dari Israel ke Asia..tugas Teologi Kontekstual



Bab I
Kontekstualisasi dan Indegenisasi
Nama Shoki Coe dihubungkan dengan timbulnya istilah kontekstualisasi pada tahun 1972 di TEF (Theological Education Fund), baginya bhawa Istilah kontekstualisasi sudah terkandung pada istilah yang secara tradisional disebut Indegenisasi (sambutan terhadap kabar baik di dalam wadah tradisional atau kerangka kebuadayaan tradisional yang tampaknya mengandung konotasi Negatif (kecenderungan untuk berorentasi kebelakang yang tidak perna kembali lagi. Baginya bahwa kontektualisasi tidak boleh berhenti pada itu saja dalam artian bahwa konteks kebudayaan trsdisonal harus berinteraksi dengan hal-hal yang lain yang sedang terjadi di konteks sekarang dan terus memandang kedepan dalam artian kontektualisasi harus bersifat kritis dan Dinamis. Selain itu juga di tambahkan bahwa orang tidak adapat menjadi partikularis (pribadi) tampa menjadi keuniversalannya.
 Dalam penggunaan istilah Contextualization atau Contextualizing dapat mengalami masalah pada dirinya sendiri. Stephen Neill misalnya mempersalahkan kata ini dan menganggap istilah ini sebagai “Barbarisme Ekumenis” Dalam artian penggunaan bahasa terkait dengan istilah kontekstualisasi khususnya di inggris apalagi jika di Indonesiakan. Dan di umpamakan seperti orang modern mendengar istilah Tradisi yang mungkin di anggap “kuno” namun kata tradisi yang dimaksudkan yaitu bukan hanya melihat sesuatu di masa lalu tetapi juga di masa depan, dlam kaitan dengan kebuadayaan Indonesia telah terpengaruh oleh kebudayaan yang datang dari luar.
Jika deikian maka istilah Indegenisasi (pempribumian sebenarnya tidak ketinggaln Zaman melainkan, dapat terus di pergunakan dalam arti yang berbeda. Namun  Istilah kontekstualisasi lebih popular, namun jika di pertahankan tidak ada yang salah. Dalam hal mempertahankan Istilah, maka menurut Hoki Coe kita tidak melihat “teologi yang kontekstual dan “teologi yang dikontekstualkan, meliankan  mengenai Teteologi yang mengontekstuakan. Deangan itu maka dia coba mnmberi contoh bahwa tidak ada gunanya menentang pengaruh model pakaian Barat. Namun patut dimengerti bahwa jangan sampai menganggap apa yang datang dari luar sebagai sesuatu yang turun dari surga sehingga apa yang ada pada kita sebagai sesuatu yang dari dunia untuk di tinggalkan dan di buang. Tidak ada salahnya memamakai pakaian barat tetapi tidak merehmekan pakaian adat kita.
BAB 2 “ Apa yang dicakup oleh kontekstualisas
Kontekstualisasi atau Indegenisasi dalam kaitang dengan kehidupan bergereja di Asia bari timbul ketika kesadaran bahwa kehidupan bergereja di Asia itu tidak atau kurang terintegrasi dengan kehidupan luas yang berada di sekitarnya yang secara alkitabiah menerangkan sikap hidup mengegereja secara kontektual yang terkandung dalam makna mengenai “Terang dunia atau Garam Dunia” (mat. 5:13-14) hal ini terkait dengan hakikat hidup mengereja, namun sering disalah pahami yang menyebabkan keterpisakan antara gereja dengan dunia.
Berikut ini adalah proses-proses kontekstualisasi :
1.       Bukan Praktis melainkan Praksis.
Dalam hal ini mau dibedakan antara tindalakan praktis dan praksis dalam hal kontekstualisasi misalnya dengan praktis yaitu mengerjakan proyek-proyek tertentu namun berbeda dengan praksis yaitu menurut Paolo  Friere yaitu menyatuh dengan apa yang ada dan bererfleksi dengan kerja, perbuatan atau perjuangan. Dan hal itulah yang baginya praksis inilah yang membedakan dari binatang.
2.       Bukan sekedar mengenai wujud luar kebudayaan.
Kontekstualisasi seringkali dianggap sebagai pergantian kulit saja misalnyanya gereja yang awalnya adalah mode barat menjadi mode timur atau juga hanya dikatakan bahwa hanya berbicara tentang arsitektur gereja, masalah musik, liturgi, disiplin gereja dll. Namun jelas bahwa masalah kulit tidak mungkin dibicarakan terlepas dari masalah isi dalam arti ketika mengganti hal-hal itu dari barat ke timur harus dibarengi pengertian yang juga itu didalamnya.
3.       Iman Kristen dan kebudayaan.
Seperti yang sudah dikatakan Shoki Coe di atas meka kita akan melihat hubungan Iman Kristen dan kebudayaan secara mendalam yang ada dalam beberapa hal :
1.       Kebudayaan dan iman harus dibedakan, meskipun sangat sulit dan tidak dapat ditentukan dengan pasti.
2.       Kebudayaang dan iman adalah “kakak seiman” hanya mengikut saja tindakan. Namun harus hati-hati karena bisa saja menjurus ke arah sinkretisme.
3.       Menghubungkan iman kristen dan kebudayaan juga harus diakui. Namun harus juga hati-hati dengan pengruh sebaliknya, misalnya pengaruh negatif dari kebudayaan itu.
4.       Meliputi Kategori-kategori Teologis-Etis

Dalam kehidupan masyarakat orang seringkali menggunakan kata-kata atau istilah yang terambil dalam Alkitab seperti : dosa, iman, roh, keselamatan, dll.  Namun dalam menyempaikan kata-kata ini orang belum tentu akan memahami seperti yang di sampaikan tetapi mereka akan memahami dan memberi makna sediri sesuai dengan ruang lingkup dan bahasa mereka.
Dalam kaitan dengan kontektualisasi, kita akan bersangkut paut dengan tiga tahap pencarian arti kata : pertama; arti sebagaimana yang dimaksudkan sesuai dengan Kitab Suci. kedua; arti sebagaimana terbentuk di dalam perkembangan ajaran sistematik, ketiga; arti sebagaimana yang dipahami oleh konteks setempat.
Dalam kaitan dengan tiga tahap pencarian arti kata, maka kita akan bergumul dengan pertanyaan apakah kata “ampun” sama dengan kata “maaf” apakah kata “damai” sama dengan “tentram” dll. Masalah ini bukanlah hal yang baru karena kontektualisasi teologi suda dimulai sejak orang mengganti nama “Yahweh” menjadi  “Allah” dan nama-nama lainnya. Dalam arti bahwa masalah kontekstualisasi bukanlah sekedar bagaimana menerapkan pola ini ke dalam situasi setempat, melainkan apakah pola ini mempunyai pertemuan dengan pandangan hidup dunia setempat. Dalam arti ketika menerapkan suatu ajaran harus mempunyai titik pertemuan dengan konteks tertentu. Yang dimaksudkan dengan titik pertemuan bukanlah suatu titik kompromi tetapi harus dilihat mengenai prapaham dan lingkaran hermeneutis. Yakni prapaham bertemu dengan prapaham yang lain dan mengekibatkan kedua-duanya mengalami perubahan menjadi suatu pemahaman yang baru.
Maka dengan sendirinya kontektualisasi teologi berarti kegiatan menyusun teologi yang rerlevan bagi konteks setempat atai teologi yang mengontekstualisasikan.   Dalam proses kontektualisasi teologi atau dalam proses kegiatan menyusun teologi  ada dua factor yang perlu di perhatikan :
Pertama; diharapkan sekali agar penyusunan teologi-teologi setempat tidak melupakan tempatnya dalam universalitas Kabar Baik.
Kedua; menjaga jangan sampai alas an kita menysun teologi setempat disebabakan karena parasaan inferior terhadap teologi-teologi yang suda ada.
Dari pemahaman kedua di atas misalnya para teolog seperti Karl Barth, Rahner, dll. Orang yang menulis mengenai teologi dunia ketiga  karena marasa harus menandingi teologi dunia kesatu dan kedua, atau misalnya juga orang menulis tentang teologi perempuan bukan untuk menandingi teologi laki-laki. Maka dengan itu kita perlu mengetahui bahwa hakikat teologi kontekstualisasi adalah “keadilan”, yang meliputi hubungan yang serasi antara bagian-bagian. Maka tujuan puncak dari teologi kontekstualisasi bukanlah polarisasi tetapi konvergensi.
Bab 3
Alkitab juga mempunyai konteks.
Biasanya kita dari kalangan Reformatoris biasanya baru lega ketika apa yang kita lakukan bias dibuktikan sesuai dengan apa yang dilakukan Yesus dan nabi-nabi di dalam Alkitab. Namun kenyataan bahwa kita seringkali selektif dalam hal ini. Misalnya gereja masa kini wajib memberikan persembahan persepuluhan karena di dalam Alkitab disebutkan. Namun, sabda Yesus, orang yang mau mengikut Dia harus meninggalkan sesuatu, kata ini sering ditafsirkan tidak berarti meninggalkan segalah sesuatu. Ini sebagai salah satu bentuk kontekstualisasi dalam Alkitab
Dalam kontekstualisasi PL contohnya Bait Allah yang dibangun di Yerusalem oleh raja Salomo (1Raj.6:1-38; 7:13-51). Menikuti arsitektur kuil-kuil Kanaan. Bahkan yang merancang dan membangunnya adalah orang kiriman dari raja Hiram, raja Tirus. Ketika kita membacanya maka ada dua tiang yaitu Yakhin dan Boas serta bejana raksasa yang berisi air bernama “laut”, fungsi peralatan ini tidak jelas, hanya menunukan hakikat sebuah kuil sebagai mikrokosmos. Perbadaannya dengan kuil-kuil Kanaan adalah dalam ruang mahakudus tidak ada citra apapun yang disembah hanya terdapat tabut perjanjian sebagai symbol kehadiran ilahi yang dijaga oleh kerubim (mahkluk yang digambarkan sebagai campuran manusia, ular, dan burung) yang juga terdapat di kuil-kuil Kanaan. Tabut ini adalah barang sakral yang dahulunya, dan diarak sepanjang pengembaraan di padang gurun. Jadi jika di tempatkan pada bangunan permanen itu memperlihatkan bagaiman orang mencoba menyelesaikan ketegangan antara ibadat masa lampau dengan ibadat masa kini, hal ini paling tidak juga memperlihatkan bahwa Yahweh, Allah pemimpin pengembaraan itu berkenan berdiam dalam lingkup sebuah kota.
Dalam perkebangannya perbedaan tersebut bias manjadi kabur, dari waktu ke waktu misalnya upacara-upacara yang terjadi di Bait Allah , yang pada hakikatnya tidak berbeda dari upacara-upacara di kuil-kuil Kanaan. Misalnya Praktik pelacuran bakti di Bait Utara-Betel (Hos. 4:14); Yerobeam mencoba menempatkan citra lembu emas di tempat yang sama (1Raj. 12:25-33). Dan contoh-contoh yang lain.
Itu berarti bahwa proses kontekstualisasi itu berupa pengambilalihan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku umum itu bias menimbulkan berbagai reaksi tajam karena persoalan ini begitu sensitive.
 Kontektualisasi PB (Kis. 15:1-29) Sidang di Yerusalem, dimana Paulus dan Barnabas memprotes tuntutan orang Kristen keturunan Yahudi agar orang Kristen non-Yahudi diharuskan melakukan sunat, kita sekarang ini seringkali berpendapat hal ini soalnya praktisnya saja. Namun, masalahnya sangat serius.  Yaitu dengan membatal kankewajiban sunat bagi orang Kristen non-Yahudi, terjadi juga perubahan yang esensial dalam pemahaman diri jemaat. Yaitu ada “diskontinuitas” antara jemaat pra-Yerusalem dan paskah-Yerusalem ! sunat bukan lagi ciri keselamatan. Dan akhirnya keselamatan tidak berciri apapun. Bahwa keselamatan Allah itu ada pada setiap bangsa-bangsa.
Hal ini bararti peraturan agamawi yang sudah mendarah daging, misalnya makanan haram dan halal dll itu disingkirkan, yang secara sederhana dapat di artikan bahwa seluruh system yang mengatur tentang identitas, kemurnian, kalangsungan bangsa Yahudi terhadap bangsa-bangsa lain seperti terlihat dalam kitab Imamat tidak lagi relevan bagi kehidupan iman Kristen.
Uraian di atas menunjukan bahwa baik PL dan PB mempunyai konteks. Namun, hal ini justru menimbulkan masalah yang agak sulit, meskipun penganjur-penganjur kontekstualisasi dari kalangan Protestan tadi mengakui adanya konteks pada Alkitab, mereka mapartahankan bahwa konteks masa kini harus diukur dan dinilai menurut Alkitab, karena ada yang menyebabkan menyangkut dengan keyakinan bahwa Alkitab mempunyai wibawa entah sebagai Firman Allah (Fundamentalisme) maupun sebagai sarana Inspirasi ilahi (Non-Fundamentalisme).
Untuk menyelesaikan permasalahan ini maka :
1.       Pandangan Bruce J. Nicholls.
Bruce J. Nicholls berpendapat untuk menjawab persoalan di atas bahwa apa yang terdapat dalam Alkitab adalah sesuatu yang tidak bersifat kebudayaan tetapi bersifat supra-kebudayaan yaitu fakta bahwa suatu kebuadayaan tertentu (kebudayaan Ibarani) menjadi unik karena melalui kebudayaan tersebut Allah menyatakan diri melalui Firman-Nya. Dalam menanggapi hal ini maka :
Pertama; kita harus mengakui bahwa setiap pribadi adalah unik. Dengan sendirinya kita juga dapat mengatakan bahwa setiap kebudayaan, bahkan setiap agama mempunyai keunikan masing-masing.
Kedua; pernyataan dan pembuktian bahwa Allah yang menyatakan diri melalui Israel kuno dengan  melalui kebudayaan dan lingkungan orang Ibrani tidak perlu untuk disangkali.
Dengan demikian maksud dari Bruce J. Nicholls adalah bahwa Allah yang menyatakan diri melalui Israel itu dalam kondisi dan waktu tertentu yang sudah ditentukannya. Dan baginya juga pasti ada alasan tertentu yang menyebabkan Allah memilih untuk menyetakan diri melalui kebudayaan tertentu dan bukan kebudayaan yang lain. Demikian juga penyataan diri Allah melaui Yesus yang artinya ada alas an juga mengapa Allah berinkarnasi dalam wujud seorang laki-laki Yesus.
Namun gagasan Bruce J. Nicholls ini sudah melangkah  jauh dari yang kita dapatkan dalam Alkitab, karena : Pertama; dalam PL kita tidak tahu mengapa Allah memilih Abraham, yang kita tahu hanya Allah menyuruh Abraham untuk keluar dan pergi. Kedua ; mengenai inkarnasi Allah dalam wujud laki-laki Bruce J. Nicholls terlalu gegabah dalam hal ini jika tujuan Yesus adalah untuk agama “kafir” sebenarnya wujud laki-laki sama “amoral” dengan wujud perempuan, namun bukan itu persoalanya. Lagi pula, bukankah inkarnasi itu justru terjadi karena dunia yang “amoral ini ? jika Allah takut pada dunia ini maka tidak aka nada inkarnasi dan tidaka akan ada keslamatan.
Dengan pendapat Bruce J. Nicholls di atas maka konsep “supra-kebudayaan”  tidaklah memuaskan karena tidak dapat dipergunakan untuk mempertahankan Alkitab sebagap patokan untuk menilai kontekstualisasi, hal ini yang tidak akan ketemu dengan gaya tafsir modern terhadap Alkitab dan hal ini juga merupakan contoh yang tidak patut untuk di ikuti. Namun ada juga teolog-teolog Asia yang bahkan lebih buruk dari pada Bruce J. Nicholls ini.
Tiga tahap penting dalam kontekstualisasi :
1.       Penilaian konteks Alkitab
2.       Konteks tradisi sistematis-dogmatis
3.       Konteks setempat masa kini.
BAB IV
 Kontekstualisasi : Interpretasi terhadap ketiga konteks.
Kita telah melihat sebelumnya bahwa penelitian terhadap konteks Alkitab yang asli membantu kita untuk memisahkan praduga-praduga dogmatis yang sering melekat pada konteks itu dan bahkan sering dianggap sebagai konteks asli Alkitab. Kitab Ayub misalnya sering dianggap sebagai teladan orang beriman bergumul, dan bersabar dalam penderitaan. Padahal sebenarnya kesan ini hanya kita peroleh ketika membaca bagian pendahuluan dan bagian terakhir kitab tersebut, namun pada bagian tengah memperlihatkan gambaran yang sangat berbeda, Ayub ternyata tidak sesabar dengan apa yang disangkakan.
Struktur utama kitab Ayub tidak mendukung doktrin kausalitas (penderitaan selalu adalah akibat dosa) dan doktrin ilahi yang membenarkan bahwa Allah dapat berbuat apa saja terhadap manusia dan bahwa manusia hanya dapat nrima saja tampa bertanya-tanya.
Sehubungan dengan kitab Ayub , bagian tengah dari kitab tersebut dalam  sangat relefan dalam situasi kita sekarang ini , yang terlalu dibebani doktrin-doktrin kausalitas dan takdir ilahi sehingga orang menjadi pasif dan menyerah saja pada keadaan.
Pada bagian pertama dan terakhir kitab Ayub dengan ajaran doktrin mengenai kausalitas dan providential ilahi, pertemuan itu belum tentu menghasilkan sesuatu yang baik bagi jemaat. Maka masalahnya disini adalah apakah yang baik bagi jemaat itu ? meskipun secara keseluruhan E.G. Singgih menolak pendekatan H. Kraemer terhadap agama dan kebudayaan setempat, pendapatnya bahwa titik-titik pertemuan hanya bias dicari dalam antithesis.  Dalam arti bahwa “mengerti” bukan semata-mata suatu sikap yang reproduktif, melainkan selalu juga suatu sikap yang produktif.
Di Indonesia orang umumnya bersifat fleksibel dalam hal pemerintahan gerejawi. Kecuali Gereja Katolik Roma, tidak ada gejalag khas yang bisa kita tandai pada tata pemerintahan gereja-gereja sebagai yang mewakili dominasi tertentu. Tata pemerintahan gerejawi pada Gereja-gereja Protestan di Indonesia biasanya bersifat campuran : presbiterial-sinodal, sinodal- presbiterial, bergantung pada segi yang mendapat penekanan. Dalam praktik biasanya, tata pemerintahan gerejawi mendapat pengaruh kuat dari struktur  pengorganisasian dari depertemen-depertemen pemerintah.
                Di Indonesia orang merindukan agar deewan gereja-gereja ini nantinya dapat berkembang dan dimatangkan menjadi gereja yang esa di Indonesia.
Berdasarkan hal di atas maka adabaiknya mempertimbangkan dua hal :
                Pertama : Variasi dari tata pemerintahan jemaat  dalam Perjanjian Baru memperlihatkan kepada kita bahwa tidak atau belum ada satu tatanan yang dianggap sebagai paling tepat bagi hakikat gereja. Kerena semua tata pemerintahan bergantung pada situasi dan kondisi setempat, dan juga disana-sini, oleh sikap sempit jemaat sendiri dan perbuatan pengeruh di antara pemimpin-pemimpin dalam jemaat.
                Kedua : sekarang kita mempunyai tata pemeritah gereja dan dewan gereja-gereja. Jika kita hendak mewujudkan keesaan secara konkret dengan jalan membentuk gereja yang esa oleh Karena keyakinan bahwa keesaan secara konkret ini menopang kesaksian kita sebagai jemaat Kristus di tengah Dunia . mamang hal ini patut didukung namun perlu hati-hati dengan super structure atau super church yang menunjukan mungkin kita sudah lebih baik. Namun hal ini mengarah pada pematian gereja kea rah segala spontanitas dan flkesibelitas.
                Hal yang saa juga bias kita lihat di bidang ibadah. Semua aliran, baik yang menekankan pada segi liturgy dan sakramen maupun yang menekankan pada “ secara bebas” selalu mencari dasar-dasar pada ayat-ayat dalam PB. Contohnya orang Kristen pertama di Pelestina masih mempertahan ibadah Yahudi.
                Dalam konteks di Indonesia kaitannya dengan ibadah sebaiknya  ibadah gereja di Indonesia mengikuti tradisi liturgis, oleh karena lingkungan agama-agama di sekitar juga bersifat ritual dan penuh dengan gerak simbolis. Nucholis juga berbicara tentang tradisi sistematis-dogmatis terhadap konteks setempat masa kini. Ia member contoh tentang pemahaman pembenaran oleh iman Luther yang sangat relevan bagi seluruh dunia ke tiga. Dan contoh yang lain yaitu tekanan teologi Reformatoris pada perjanjian relevan bagi konteks islam; tekanan pada kasih dan anugerah Allah di dalam ajaran-ajaran John Wesley tidak saja berlaku bagi rakyat kelas bawah di Inggris pada masa lalu, tetapi juga bagi orang-orang bias di seluruh dunia.
                Ajaran Luther dan Wesley begitu saja relevan bagi konteks setempat adalah hal yang gegabah. Sebenarnya konteks setmpatlah yang harus menentukan apakah hal ini masih relevan ataukah tidak. Mungkin akan terus memakai ajaran kedua orang tersebut tetapi dengan interpretasi tersendiri sehingga tanggapamn terhadap keduanya akan berbeda dengan apa yang di sampaikan pada saat itu. Misalnya kita melihat tugas kenabian pada konteks masyarakat masyarakat masa kini.
                Dalam penghayatan kita terhadap konteks dengan demikian tidak hanya meliputi hal-hal yang indah dan baik belaka misalnya mengenai adat-istiadat, hasil-hasil kebudayaan, tetapi juga mengenai tragedy atau lembaran hitam yang terjadi dalam sejarah bangsa. Kontekstualisasi berarti peduli terhadap korban ketidakadilan dan kesewenang-wenangan dalam masyarakat baik dari kiri maupun dari kanan.
                Dalam memahami program tiga konteks pada bagian ini, maka perlu menjadi bahan pertimbangan bahwa jelas kita tidak dapat menerima begitu saja hal ini. Karena kita perlu malakukan interpretasi terhadap konteks Alkitab, interpretasi terhadap konteks tradisi sistematis-dogmatis dan interpretasi terhadap konteks stempat masa kini.
Bab V
Kontekstualisasi : Pertemuan Sekaligus Pembaruan
                Dalam bagian ini kita akan melihat pandangan dari dua tokoh yang membahas tentang hubungan Kabar Baik dan konteks di pulau Jawa yakni pandangan oleh; S. de Jong (Salah satu sikap hidup orang Jawa) dan B. J. Banawiratma S. J.

1.       Pandangan S. de Jong.
Pandangan S. de Jong ini dimulai dengan menerangkan bahwa sikap hidup tidak sama dengan pandangan hidup misalnya di sebut “Pangestu” yang khususnya pada aliran mistik baru mengenai dengan sikap ketuhanan atau mistik yang dianggap sebagai cermin salah satu sikap hidup. Cirri utama dari hal ini adalah “distansi” yang bararti jalan sementara yang harus ditempuh agar orang menemukan diri atau sadar yaitu dengan jalan mengambil jarak dengan dunia sekitar baik aspek material ataupun spiritual. Unsur-unsur distansi adalah rela (rila), Menerima (nrima), dan toleransi (sabar).
Kaitan dengan distansi dalam hal mengapa harus melakukan distansi karena ada dua dunia yaitu dunia materi dan dunia fana dan juga selain ini orang juga harus memusatkan perhatian dasar dan makna kepribadiannya sendiri  yang disebut kosentrasi dan ada dua cara kosentrasi yaitu : tapa dan pamudara.
Kosentrasi adalah usaha mendekati pusat kita sendiri. Manusia merupakan gambaran Tuhan sekaligus pusat sinar semesta alam. Karena itu, dalam hidup sehari-hari manusia juga merupakan representasi. Di samping representasi ada juga kewajiban yang bararti bahwa keindahan alam baru tampak jika orang menjalan kewajibannnya masing-masing terhadap : Tubuh, Keturunan, Masyarakat, Pekerjaan penguasa.
Ada beberapa kritik yang dilakukan de Jong dengan tujuan hanya mau menunjukan bahwa ia menghargai tradisi  dan tidak mau mengusulkan agar tradisi dihancurkan karena dari tardisi-tradisi itu membuat sikap hidup jadi lebih baik.

2.       Penilaian terhadap pan dangan S. de Jong.
Hal menarik dalam pendekatan de Jong bahwa dia tidak bersifat agresif maupun konfrontatif. Teologi dari pendekatan agresif ini bersifat triumfalistis, yang bias sedemikian rupa sehingga sangat berlawanann dengan  kenyataan yang terjadi. Menurutnya pendekatan ini tidak cocok dengan jiwa Jawa. Sedangkan pendekatan konfrontasi berusaha menunjukan kepenuhan Injil dengan membandingkan beberapa tema Alkitab dengan tema-tema serupa di kalangan kebatinan dengan meksud menjelaskan perbedaan antara kedua pendapat. Tujuan utama buku de Jong adalah menguraikan salah satu sikap hisup orang jawa. Jadi dapat dimengerti kalau tidak benyak uraian mengenai warta Injil sendiri.
Menurut de Jong sikap yang baru pada orang Jawa hanya dapat dirangsang oleh pemberitaan yang baru. Karena itu, ia mengusulkan tema kebangkitan. Baginya kebangkitan tidak dapat perhatian di Barat, dan di timur makin menonjol. Dangan itu maka de Jong cuba untuk mengutip Injil Lukas 24:37-39 untuk menunjukan bahwa Kristus harus bengkit bersama tubuh-Nya, hal ini dalam kaitan dengan sikap hidup kebatinan Kristen Jawa. Karena orang Jawa tahu menghargai kejasmaniahan atau materi, tetapi bagi mereka hidup kebatinan jauh lebih penting.
Menurut Singgih kebangitan itu tidak sekedar berhubungan dengan kejasmaniahan saja, tetapi terutama berhubungan-bukan dengan batin-melainkan dengan kehidupan. Kehidupan sebagai suatu kesatuan, suatu totalitas, yang meliputi kehidupan dunia ini (Yoh. 11:25).
Jadi menghormati kehidupan berarti melawan apa saja yang berusaha menghabiskan kehidupan itu, juga jika itu bersangkut paut dengan kehidupan orang lain.

3.       Pandangan J. B. Banawiratma S. J.
Banawiratma pertma membicarakan pengalaman hubungan manusia dengan Allah dalam konteks hubungan murid dan guru dari masyarakat Jawa; Kedua membicarakan hubungan manusia dengan Allah dalam konteks hubungan murid dengan guru dari Injil Yohanes; membicarakan refleksi lebih lanjut dalam pendidikan hidup religius Kristen.
Metode yang dipakai adalah lukisan pertemuan dialogal antara mentalitas yang ada dalam masyarakat Jawa dengan mentalitas Injil Yohanes. Banawiratma juga menolak perbandingan dengan analisis konseptualistis dengan tujuan untuk mempertemuakan dua macam pengalaman supaya keduanya bertumbuh dalam dialog kritis dan jujur.
Banawiratma mulai dengan mengemukakan dua tradisi yang ada dalam kehidupan masyarakat Jawa. Yang mengikuti pandangan R. Redfield, yang membedakan antara “ tradisi besar” yang di pelihara dan dikembangkan di dalam sekolah-sekolah dan kuil-kuil ibadat dan “ tradisi kecil” yang berlangsung pada orang-orang kebanyakan di desa. Sumbernya adalah tradisi besar : Serat Wulangreh dan tradisi kecil : lakon wayang Dewa Ruci. Dalam hal ini berarti hubungan guru dan murid dari zaman ke zaman yang selalu beruba dan pada abad ke 5 kedudukan guru menanjak, guru menjadi seseorang yang memiliki otoritas religious, guru adalah Wisnu, guru adalah Siwa dan Brama guru diidentifikasikan dengan yang ilahi.
Wulangreh
Wulang berarti “petunjuk”, Reh dihubungkan dengan mangreh “ memerintah” , “ memimpin”, dan direh “diperintah”, “dipimpin”. Reh juga berarti tatanan. Jadi, yang mau disampaikan adalah tatanan kehidupan.
Pertama-tama ditekankan agar orang mencari guru yang baik. Berkaitan dengan situasi waktu itu tidak baik karena ada guru yang mencari murid. Ini tandanya guru yang jelek. Guru itu bisa orang tua, saudara tua, guru dan raja
Wayang
Dalang (pemain wayang) dapat dibandingkan dengan seorang guru. Dia yang menunjukan jalan kepada rakyat mengenai apa yang baik dan apa yang jahat. Misalnya lakon yang yang bertemakan tentang guru dan murid yaitu Dewa Ruci disitu pandita Durna menjadi guru Wrekodara menjadi murid. Yang menunjukan dalam kehidupan Dewa Ruci, Wrekodara merasa lemah dan rendah, tetapi dalam pertemuan itu, dia menemukan dirinya sebagai mahkluk yang luhur.
Injil Yohanes
Disini Banawiratma membahas konteks hubungan murid dan guru dalam Injil Yohanes yang ia pilih dari lima ayat yang dianggap representative yaitu: Yohanes 8:31; 13:13; 13:35; 15:8; 17:18. Dari penelitian teks-teks ini dapat diambil kesimpulan bahwa Yesus adalah Guru yang memiliki otoritas ilahi. Murid-murid adalah mereka yang yang beriman, yang menerima bahwa Yesus adalah penyataan Allah. Dialog antara kedua pengalaman ini bermula dalam keprihatinan hidup dalam masyarakat Jawa. Orang Jawa sangat berprihatin untuk mencapai kesempurnaan hidup. Karena itu, mereka mencari guru. Menurut Injil Yohanes, Yesus itulah Guru, yang unik, karena Dia sendiri adalah pertemuan Allah-Manusia.
Oleh karena itu, “orang-orang Jawa yang mengikuti Yesus Kristus tidak dicabut dari hidup dan dunianya, tetapi juha tidak dipenuhi oleh dirinya sendiri dan dunianya, kepenuhan itu datang dari Allah dalam kesatuan dengan yesus Kristus.

4.       Penilaian Terhadap Pandangan J. B. Banawiratma S. J.

2 komentar: