Bab I
Kontekstualisasi dan Indegenisasi
Nama
Shoki Coe dihubungkan dengan timbulnya istilah kontekstualisasi pada tahun 1972
di TEF (Theological Education Fund), baginya bhawa Istilah kontekstualisasi
sudah terkandung pada istilah yang secara tradisional disebut Indegenisasi
(sambutan terhadap kabar baik di dalam wadah tradisional atau kerangka
kebuadayaan tradisional yang tampaknya mengandung konotasi Negatif (kecenderungan
untuk berorentasi kebelakang yang tidak perna kembali lagi. Baginya bahwa
kontektualisasi tidak boleh berhenti pada itu saja dalam artian bahwa konteks
kebudayaan trsdisonal harus berinteraksi dengan hal-hal yang lain yang sedang
terjadi di konteks sekarang dan terus memandang kedepan dalam artian
kontektualisasi harus bersifat kritis dan Dinamis. Selain itu juga di tambahkan
bahwa orang tidak adapat menjadi partikularis (pribadi) tampa menjadi
keuniversalannya.
Dalam penggunaan istilah Contextualization
atau Contextualizing dapat mengalami masalah pada dirinya sendiri. Stephen
Neill misalnya mempersalahkan kata ini dan menganggap istilah ini sebagai
“Barbarisme Ekumenis” Dalam artian penggunaan bahasa terkait dengan istilah
kontekstualisasi khususnya di inggris apalagi jika di Indonesiakan. Dan di
umpamakan seperti orang modern mendengar istilah Tradisi yang mungkin di anggap
“kuno” namun kata tradisi yang dimaksudkan yaitu bukan hanya melihat sesuatu di
masa lalu tetapi juga di masa depan, dlam kaitan dengan kebuadayaan Indonesia
telah terpengaruh oleh kebudayaan yang datang dari luar.
Jika
deikian maka istilah Indegenisasi (pempribumian sebenarnya tidak ketinggaln
Zaman melainkan, dapat terus di pergunakan dalam arti yang berbeda. Namun Istilah kontekstualisasi lebih popular, namun
jika di pertahankan tidak ada yang salah. Dalam hal mempertahankan Istilah,
maka menurut Hoki Coe kita tidak melihat “teologi yang kontekstual dan “teologi
yang dikontekstualkan, meliankan
mengenai Teteologi yang mengontekstuakan. Deangan itu maka dia coba
mnmberi contoh bahwa tidak ada gunanya menentang pengaruh model pakaian Barat.
Namun patut dimengerti bahwa jangan sampai menganggap apa yang datang dari luar
sebagai sesuatu yang turun dari surga sehingga apa yang ada pada kita sebagai
sesuatu yang dari dunia untuk di tinggalkan dan di buang. Tidak ada salahnya
memamakai pakaian barat tetapi tidak merehmekan pakaian adat kita.
BAB
2 “ Apa yang dicakup oleh kontekstualisas
Kontekstualisasi
atau Indegenisasi dalam kaitang dengan kehidupan bergereja di Asia bari timbul
ketika kesadaran bahwa kehidupan bergereja di Asia itu tidak atau kurang
terintegrasi dengan kehidupan luas yang berada di sekitarnya yang secara
alkitabiah menerangkan sikap hidup mengegereja secara kontektual yang
terkandung dalam makna mengenai “Terang dunia atau Garam Dunia” (mat. 5:13-14)
hal ini terkait dengan hakikat hidup mengereja, namun sering disalah pahami
yang menyebabkan keterpisakan antara gereja dengan dunia.
Berikut
ini adalah proses-proses kontekstualisasi :
1.
Bukan Praktis melainkan Praksis.
Dalam hal ini mau dibedakan antara tindalakan praktis dan praksis dalam hal
kontekstualisasi misalnya dengan praktis yaitu mengerjakan proyek-proyek
tertentu namun berbeda dengan praksis yaitu menurut Paolo Friere yaitu menyatuh dengan apa yang ada dan
bererfleksi dengan kerja, perbuatan atau perjuangan. Dan hal itulah yang
baginya praksis inilah yang membedakan dari binatang.
2.
Bukan sekedar mengenai
wujud luar kebudayaan.
Kontekstualisasi seringkali dianggap sebagai pergantian kulit saja
misalnyanya gereja yang awalnya adalah mode barat menjadi mode timur atau juga
hanya dikatakan bahwa hanya berbicara tentang arsitektur gereja, masalah musik,
liturgi, disiplin gereja dll. Namun jelas bahwa masalah kulit tidak mungkin
dibicarakan terlepas dari masalah isi dalam arti ketika mengganti hal-hal itu
dari barat ke timur harus dibarengi pengertian yang juga itu didalamnya.
3.
Iman Kristen dan
kebudayaan.
Seperti yang sudah dikatakan Shoki Coe di atas meka kita akan melihat
hubungan Iman Kristen dan kebudayaan secara mendalam yang ada dalam beberapa
hal :
1.
Kebudayaan dan iman harus
dibedakan, meskipun sangat sulit dan tidak dapat ditentukan dengan pasti.
2.
Kebudayaang dan iman
adalah “kakak seiman” hanya mengikut saja tindakan. Namun harus hati-hati
karena bisa saja menjurus ke arah sinkretisme.
3.
Menghubungkan iman
kristen dan kebudayaan juga harus diakui. Namun harus juga hati-hati dengan
pengruh sebaliknya, misalnya pengaruh negatif dari kebudayaan itu.
4.
Meliputi Kategori-kategori
Teologis-Etis
Dalam
kehidupan masyarakat orang seringkali menggunakan kata-kata atau istilah yang
terambil dalam Alkitab seperti : dosa, iman, roh, keselamatan, dll. Namun dalam menyempaikan kata-kata ini orang
belum tentu akan memahami seperti yang di sampaikan tetapi mereka akan memahami
dan memberi makna sediri sesuai dengan ruang lingkup dan bahasa mereka.
Dalam
kaitan dengan kontektualisasi, kita akan bersangkut paut dengan tiga tahap pencarian
arti kata : pertama; arti sebagaimana yang dimaksudkan sesuai dengan Kitab
Suci. kedua; arti sebagaimana terbentuk di dalam perkembangan ajaran
sistematik, ketiga; arti sebagaimana yang dipahami oleh konteks setempat.
Dalam
kaitan dengan tiga tahap pencarian arti kata, maka kita akan bergumul dengan
pertanyaan apakah kata “ampun” sama dengan kata “maaf” apakah kata “damai” sama
dengan “tentram” dll. Masalah ini bukanlah hal yang baru karena kontektualisasi
teologi suda dimulai sejak orang mengganti nama “Yahweh” menjadi “Allah” dan nama-nama lainnya. Dalam arti
bahwa masalah kontekstualisasi bukanlah sekedar bagaimana menerapkan pola ini
ke dalam situasi setempat, melainkan apakah pola ini mempunyai pertemuan dengan
pandangan hidup dunia setempat. Dalam arti ketika menerapkan suatu ajaran harus
mempunyai titik pertemuan dengan konteks tertentu. Yang dimaksudkan dengan
titik pertemuan bukanlah suatu titik kompromi tetapi harus dilihat mengenai
prapaham dan lingkaran hermeneutis. Yakni prapaham bertemu dengan prapaham yang
lain dan mengekibatkan kedua-duanya mengalami perubahan menjadi suatu pemahaman
yang baru.
Maka
dengan sendirinya kontektualisasi teologi berarti kegiatan menyusun teologi
yang rerlevan bagi konteks setempat atai teologi yang mengontekstualisasikan. Dalam proses kontektualisasi teologi atau
dalam proses kegiatan menyusun teologi
ada dua factor yang perlu di perhatikan :
Pertama;
diharapkan sekali agar penyusunan teologi-teologi setempat tidak melupakan
tempatnya dalam universalitas Kabar Baik.
Kedua;
menjaga jangan sampai alas an kita menysun teologi setempat disebabakan karena
parasaan inferior terhadap teologi-teologi yang suda ada.
Dari
pemahaman kedua di atas misalnya para teolog seperti Karl Barth, Rahner, dll.
Orang yang menulis mengenai teologi dunia ketiga karena marasa harus menandingi teologi dunia
kesatu dan kedua, atau misalnya juga orang menulis tentang teologi perempuan
bukan untuk menandingi teologi laki-laki. Maka dengan itu kita perlu mengetahui
bahwa hakikat teologi kontekstualisasi adalah “keadilan”, yang meliputi
hubungan yang serasi antara bagian-bagian. Maka tujuan puncak dari teologi
kontekstualisasi bukanlah polarisasi tetapi konvergensi.
Bab 3
Alkitab juga mempunyai konteks.
Biasanya
kita dari kalangan Reformatoris biasanya baru lega ketika apa yang kita lakukan
bias dibuktikan sesuai dengan apa yang dilakukan Yesus dan nabi-nabi di dalam
Alkitab. Namun kenyataan bahwa kita seringkali selektif dalam hal ini. Misalnya
gereja masa kini wajib memberikan persembahan persepuluhan karena di dalam
Alkitab disebutkan. Namun, sabda Yesus, orang yang mau mengikut Dia harus
meninggalkan sesuatu, kata ini sering ditafsirkan tidak berarti meninggalkan
segalah sesuatu. Ini sebagai salah satu bentuk kontekstualisasi dalam Alkitab
Dalam
kontekstualisasi PL contohnya Bait Allah yang dibangun di Yerusalem oleh raja
Salomo (1Raj.6:1-38; 7:13-51). Menikuti arsitektur kuil-kuil Kanaan. Bahkan
yang merancang dan membangunnya adalah orang kiriman dari raja Hiram, raja
Tirus. Ketika kita membacanya maka ada dua tiang yaitu Yakhin dan Boas serta
bejana raksasa yang berisi air bernama “laut”, fungsi peralatan ini tidak
jelas, hanya menunukan hakikat sebuah kuil sebagai mikrokosmos. Perbadaannya
dengan kuil-kuil Kanaan adalah dalam ruang mahakudus tidak ada citra apapun
yang disembah hanya terdapat tabut perjanjian sebagai symbol kehadiran ilahi
yang dijaga oleh kerubim (mahkluk yang
digambarkan sebagai campuran manusia, ular, dan burung) yang juga terdapat
di kuil-kuil Kanaan. Tabut ini adalah barang sakral yang dahulunya, dan diarak sepanjang
pengembaraan di padang gurun. Jadi jika di tempatkan pada bangunan permanen itu
memperlihatkan bagaiman orang mencoba menyelesaikan ketegangan antara ibadat
masa lampau dengan ibadat masa kini, hal ini paling tidak juga memperlihatkan
bahwa Yahweh, Allah pemimpin pengembaraan itu berkenan berdiam dalam lingkup
sebuah kota.
Dalam
perkebangannya perbedaan tersebut bias manjadi kabur, dari waktu ke waktu
misalnya upacara-upacara yang terjadi di Bait Allah , yang pada hakikatnya
tidak berbeda dari upacara-upacara di kuil-kuil Kanaan. Misalnya Praktik
pelacuran bakti di Bait Utara-Betel (Hos. 4:14); Yerobeam mencoba menempatkan
citra lembu emas di tempat yang sama (1Raj. 12:25-33). Dan contoh-contoh yang
lain.
Itu
berarti bahwa proses kontekstualisasi itu berupa pengambilalihan
kebiasaan-kebiasaan yang berlaku umum itu bias menimbulkan berbagai reaksi
tajam karena persoalan ini begitu sensitive.
Kontektualisasi PB (Kis. 15:1-29) Sidang di
Yerusalem, dimana Paulus dan Barnabas memprotes tuntutan orang Kristen
keturunan Yahudi agar orang Kristen non-Yahudi diharuskan melakukan sunat, kita
sekarang ini seringkali berpendapat hal ini soalnya praktisnya saja. Namun,
masalahnya sangat serius. Yaitu dengan
membatal kankewajiban sunat bagi orang Kristen non-Yahudi, terjadi juga
perubahan yang esensial dalam pemahaman diri jemaat. Yaitu ada “diskontinuitas”
antara jemaat pra-Yerusalem dan paskah-Yerusalem ! sunat bukan lagi ciri
keselamatan. Dan akhirnya keselamatan tidak berciri apapun. Bahwa keselamatan
Allah itu ada pada setiap bangsa-bangsa.
Hal
ini bararti peraturan agamawi yang sudah mendarah daging, misalnya makanan
haram dan halal dll itu disingkirkan, yang secara sederhana dapat di artikan
bahwa seluruh system yang mengatur tentang identitas, kemurnian, kalangsungan
bangsa Yahudi terhadap bangsa-bangsa lain seperti terlihat dalam kitab Imamat
tidak lagi relevan bagi kehidupan iman Kristen.
Uraian
di atas menunjukan bahwa baik PL dan PB mempunyai konteks. Namun, hal ini
justru menimbulkan masalah yang agak sulit, meskipun penganjur-penganjur
kontekstualisasi dari kalangan Protestan tadi mengakui adanya konteks pada
Alkitab, mereka mapartahankan bahwa konteks masa kini harus diukur dan dinilai
menurut Alkitab, karena ada yang menyebabkan menyangkut dengan keyakinan bahwa
Alkitab mempunyai wibawa entah sebagai Firman Allah (Fundamentalisme) maupun
sebagai sarana Inspirasi ilahi (Non-Fundamentalisme).
Untuk
menyelesaikan permasalahan ini maka :
1.
Pandangan Bruce J. Nicholls.
Bruce
J. Nicholls berpendapat untuk menjawab persoalan di atas bahwa apa yang
terdapat dalam Alkitab adalah sesuatu yang tidak bersifat kebudayaan tetapi
bersifat supra-kebudayaan yaitu fakta bahwa suatu kebuadayaan tertentu
(kebudayaan Ibarani) menjadi unik karena melalui kebudayaan tersebut Allah
menyatakan diri melalui Firman-Nya. Dalam menanggapi hal ini maka :
Pertama;
kita harus mengakui bahwa setiap pribadi adalah unik. Dengan sendirinya kita
juga dapat mengatakan bahwa setiap kebudayaan, bahkan setiap agama mempunyai
keunikan masing-masing.
Kedua;
pernyataan dan pembuktian bahwa Allah yang menyatakan diri melalui Israel kuno
dengan melalui kebudayaan dan lingkungan
orang Ibrani tidak perlu untuk disangkali.
Dengan
demikian maksud dari Bruce J. Nicholls adalah bahwa Allah yang menyatakan diri
melalui Israel itu dalam kondisi dan waktu tertentu yang sudah ditentukannya.
Dan baginya juga pasti ada alasan tertentu yang menyebabkan Allah memilih untuk
menyetakan diri melalui kebudayaan tertentu dan bukan kebudayaan yang lain.
Demikian juga penyataan diri Allah melaui Yesus yang artinya ada alas an juga
mengapa Allah berinkarnasi dalam wujud seorang laki-laki Yesus.
Namun
gagasan Bruce J. Nicholls ini sudah melangkah
jauh dari yang kita dapatkan dalam Alkitab, karena : Pertama; dalam PL
kita tidak tahu mengapa Allah memilih Abraham, yang kita tahu hanya Allah
menyuruh Abraham untuk keluar dan pergi. Kedua ; mengenai inkarnasi Allah dalam
wujud laki-laki Bruce J. Nicholls terlalu gegabah dalam hal ini jika tujuan
Yesus adalah untuk agama “kafir” sebenarnya wujud laki-laki sama “amoral”
dengan wujud perempuan, namun bukan itu persoalanya. Lagi pula, bukankah
inkarnasi itu justru terjadi karena dunia yang “amoral ini ? jika Allah takut
pada dunia ini maka tidak aka nada inkarnasi dan tidaka akan ada keslamatan.
Dengan
pendapat Bruce J. Nicholls di atas maka konsep “supra-kebudayaan” tidaklah memuaskan karena tidak dapat
dipergunakan untuk mempertahankan Alkitab sebagap patokan untuk menilai
kontekstualisasi, hal ini yang tidak akan ketemu dengan gaya tafsir modern
terhadap Alkitab dan hal ini juga merupakan contoh yang tidak patut untuk di
ikuti. Namun ada juga teolog-teolog Asia yang bahkan lebih buruk dari pada
Bruce J. Nicholls ini.
Tiga tahap
penting dalam kontekstualisasi :
1.
Penilaian konteks Alkitab
2.
Konteks tradisi sistematis-dogmatis
3.
Konteks setempat masa kini.
BAB IV
Kontekstualisasi :
Interpretasi terhadap ketiga konteks.
Kita
telah melihat sebelumnya bahwa penelitian terhadap konteks Alkitab yang asli membantu
kita untuk memisahkan praduga-praduga dogmatis yang sering melekat pada konteks
itu dan bahkan sering dianggap sebagai konteks asli Alkitab. Kitab Ayub
misalnya sering dianggap sebagai teladan orang beriman bergumul, dan bersabar
dalam penderitaan. Padahal sebenarnya kesan ini hanya kita peroleh ketika
membaca bagian pendahuluan dan bagian terakhir kitab tersebut, namun pada
bagian tengah memperlihatkan gambaran yang sangat berbeda, Ayub ternyata tidak
sesabar dengan apa yang disangkakan.
Struktur
utama kitab Ayub tidak mendukung doktrin kausalitas (penderitaan selalu adalah
akibat dosa) dan doktrin ilahi yang membenarkan bahwa Allah dapat berbuat apa
saja terhadap manusia dan bahwa manusia hanya dapat nrima saja tampa
bertanya-tanya.
Sehubungan
dengan kitab Ayub , bagian tengah dari kitab tersebut dalam sangat relefan dalam situasi kita sekarang
ini , yang terlalu dibebani doktrin-doktrin kausalitas dan takdir ilahi
sehingga orang menjadi pasif dan menyerah saja pada keadaan.
Pada
bagian pertama dan terakhir kitab Ayub dengan ajaran doktrin mengenai
kausalitas dan providential ilahi, pertemuan itu belum tentu menghasilkan
sesuatu yang baik bagi jemaat. Maka masalahnya disini adalah apakah yang baik
bagi jemaat itu ? meskipun secara keseluruhan E.G. Singgih menolak pendekatan
H. Kraemer terhadap agama dan kebudayaan setempat, pendapatnya bahwa
titik-titik pertemuan hanya bias dicari dalam antithesis. Dalam arti bahwa “mengerti” bukan semata-mata
suatu sikap yang reproduktif, melainkan selalu juga suatu sikap yang produktif.
Di
Indonesia orang umumnya bersifat fleksibel dalam hal pemerintahan gerejawi.
Kecuali Gereja Katolik Roma, tidak ada gejalag khas yang bisa kita tandai pada
tata pemerintahan gereja-gereja sebagai yang mewakili dominasi tertentu. Tata
pemerintahan gerejawi pada Gereja-gereja Protestan di Indonesia biasanya
bersifat campuran : presbiterial-sinodal, sinodal- presbiterial, bergantung
pada segi yang mendapat penekanan. Dalam praktik biasanya, tata pemerintahan
gerejawi mendapat pengaruh kuat dari struktur
pengorganisasian dari depertemen-depertemen pemerintah.
Di Indonesia orang merindukan
agar deewan gereja-gereja ini nantinya dapat berkembang dan dimatangkan menjadi
gereja yang esa di Indonesia.
Berdasarkan
hal di atas maka adabaiknya mempertimbangkan dua hal :
Pertama : Variasi dari tata
pemerintahan jemaat dalam Perjanjian
Baru memperlihatkan kepada kita bahwa tidak atau belum ada satu tatanan yang
dianggap sebagai paling tepat bagi hakikat gereja. Kerena semua tata pemerintahan
bergantung pada situasi dan kondisi setempat, dan juga disana-sini, oleh sikap
sempit jemaat sendiri dan perbuatan pengeruh di antara pemimpin-pemimpin dalam
jemaat.
Kedua : sekarang kita mempunyai
tata pemeritah gereja dan dewan gereja-gereja. Jika kita hendak mewujudkan
keesaan secara konkret dengan jalan membentuk gereja yang esa oleh Karena
keyakinan bahwa keesaan secara konkret ini menopang kesaksian kita sebagai
jemaat Kristus di tengah Dunia . mamang hal ini patut didukung namun perlu
hati-hati dengan super structure atau super church yang menunjukan mungkin kita
sudah lebih baik. Namun hal ini mengarah pada pematian gereja kea rah segala
spontanitas dan flkesibelitas.
Hal yang saa juga bias kita
lihat di bidang ibadah. Semua aliran, baik yang menekankan pada segi liturgy
dan sakramen maupun yang menekankan pada “ secara bebas” selalu mencari
dasar-dasar pada ayat-ayat dalam PB. Contohnya orang Kristen pertama di
Pelestina masih mempertahan ibadah Yahudi.
Dalam konteks di Indonesia
kaitannya dengan ibadah sebaiknya ibadah
gereja di Indonesia mengikuti tradisi liturgis, oleh karena lingkungan
agama-agama di sekitar juga bersifat ritual dan penuh dengan gerak simbolis.
Nucholis juga berbicara tentang tradisi sistematis-dogmatis terhadap konteks
setempat masa kini. Ia member contoh tentang pemahaman pembenaran oleh iman
Luther yang sangat relevan bagi seluruh dunia ke tiga. Dan contoh yang lain
yaitu tekanan teologi Reformatoris pada perjanjian relevan bagi konteks islam;
tekanan pada kasih dan anugerah Allah di dalam ajaran-ajaran John Wesley tidak
saja berlaku bagi rakyat kelas bawah di Inggris pada masa lalu, tetapi juga
bagi orang-orang bias di seluruh dunia.
Ajaran Luther dan Wesley begitu
saja relevan bagi konteks setempat adalah hal yang gegabah. Sebenarnya konteks
setmpatlah yang harus menentukan apakah hal ini masih relevan ataukah tidak.
Mungkin akan terus memakai ajaran kedua orang tersebut tetapi dengan
interpretasi tersendiri sehingga tanggapamn terhadap keduanya akan berbeda
dengan apa yang di sampaikan pada saat itu. Misalnya kita melihat tugas
kenabian pada konteks masyarakat masyarakat masa kini.
Dalam penghayatan kita terhadap
konteks dengan demikian tidak hanya meliputi hal-hal yang indah dan baik belaka
misalnya mengenai adat-istiadat, hasil-hasil kebudayaan, tetapi juga mengenai
tragedy atau lembaran hitam yang terjadi dalam sejarah bangsa. Kontekstualisasi
berarti peduli terhadap korban ketidakadilan dan kesewenang-wenangan dalam
masyarakat baik dari kiri maupun dari kanan.
Dalam memahami program tiga
konteks pada bagian ini, maka perlu menjadi bahan pertimbangan bahwa jelas kita
tidak dapat menerima begitu saja hal ini. Karena kita perlu malakukan
interpretasi terhadap konteks Alkitab, interpretasi terhadap konteks tradisi
sistematis-dogmatis dan interpretasi terhadap konteks stempat masa kini.
Bab
V
Kontekstualisasi
: Pertemuan Sekaligus Pembaruan
Dalam
bagian ini kita akan melihat pandangan dari dua tokoh yang membahas tentang
hubungan Kabar Baik dan konteks di pulau Jawa yakni pandangan oleh; S. de Jong
(Salah satu sikap hidup orang Jawa) dan B. J. Banawiratma S. J.
1.
Pandangan
S. de Jong.
Pandangan
S. de Jong ini dimulai dengan menerangkan bahwa sikap hidup tidak sama dengan
pandangan hidup misalnya di sebut “Pangestu”
yang khususnya pada aliran mistik baru mengenai dengan sikap ketuhanan atau
mistik yang dianggap sebagai cermin salah satu sikap hidup. Cirri utama dari
hal ini adalah “distansi” yang
bararti jalan sementara yang harus ditempuh agar orang menemukan diri atau
sadar yaitu dengan jalan mengambil jarak dengan dunia sekitar baik aspek
material ataupun spiritual. Unsur-unsur distansi adalah rela (rila), Menerima (nrima), dan toleransi (sabar).
Kaitan
dengan distansi dalam hal mengapa harus melakukan distansi karena ada dua dunia
yaitu dunia materi dan dunia fana dan juga selain ini orang juga harus
memusatkan perhatian dasar dan makna kepribadiannya sendiri yang disebut kosentrasi dan ada dua cara
kosentrasi yaitu : tapa dan pamudara.
Kosentrasi
adalah usaha mendekati pusat kita
sendiri. Manusia merupakan gambaran Tuhan sekaligus pusat sinar semesta alam.
Karena itu, dalam hidup sehari-hari manusia juga merupakan representasi. Di
samping representasi ada juga kewajiban yang bararti bahwa keindahan alam baru
tampak jika orang menjalan kewajibannnya masing-masing terhadap : Tubuh,
Keturunan, Masyarakat, Pekerjaan penguasa.
Ada
beberapa kritik yang dilakukan de Jong dengan tujuan hanya mau menunjukan bahwa
ia menghargai tradisi dan tidak mau
mengusulkan agar tradisi dihancurkan karena dari tardisi-tradisi itu membuat
sikap hidup jadi lebih baik.
2.
Penilaian
terhadap pan dangan S. de Jong.
Hal
menarik dalam pendekatan de Jong bahwa dia tidak bersifat agresif maupun
konfrontatif. Teologi dari pendekatan agresif ini bersifat triumfalistis, yang
bias sedemikian rupa sehingga sangat berlawanann dengan kenyataan yang terjadi. Menurutnya pendekatan
ini tidak cocok dengan jiwa Jawa. Sedangkan pendekatan konfrontasi berusaha
menunjukan kepenuhan Injil dengan membandingkan beberapa tema Alkitab dengan
tema-tema serupa di kalangan kebatinan dengan meksud menjelaskan perbedaan
antara kedua pendapat. Tujuan utama buku de Jong adalah menguraikan salah satu
sikap hisup orang jawa. Jadi dapat dimengerti kalau tidak benyak uraian
mengenai warta Injil sendiri.
Menurut de
Jong sikap yang baru pada orang Jawa hanya dapat dirangsang oleh pemberitaan
yang baru. Karena itu, ia mengusulkan tema kebangkitan. Baginya kebangkitan
tidak dapat perhatian di Barat, dan di timur makin menonjol. Dangan itu maka de
Jong cuba untuk mengutip Injil Lukas 24:37-39 untuk menunjukan bahwa Kristus
harus bengkit bersama tubuh-Nya, hal ini dalam kaitan dengan sikap hidup
kebatinan Kristen Jawa. Karena orang Jawa tahu menghargai kejasmaniahan atau
materi, tetapi bagi mereka hidup kebatinan jauh lebih penting.
Menurut
Singgih kebangitan itu tidak sekedar berhubungan dengan kejasmaniahan saja,
tetapi terutama berhubungan-bukan dengan batin-melainkan dengan kehidupan.
Kehidupan sebagai suatu kesatuan, suatu totalitas, yang meliputi kehidupan
dunia ini (Yoh. 11:25).
Jadi
menghormati kehidupan berarti melawan apa saja yang berusaha menghabiskan
kehidupan itu, juga jika itu bersangkut paut dengan kehidupan orang lain.
3.
Pandangan
J. B. Banawiratma S. J.
Banawiratma
pertma membicarakan pengalaman hubungan manusia dengan Allah dalam konteks
hubungan murid dan guru dari masyarakat Jawa; Kedua membicarakan hubungan
manusia dengan Allah dalam konteks hubungan murid dengan guru dari Injil
Yohanes; membicarakan refleksi lebih lanjut dalam pendidikan hidup religius
Kristen.
Metode
yang dipakai adalah lukisan pertemuan dialogal antara mentalitas yang ada dalam
masyarakat Jawa dengan mentalitas Injil Yohanes. Banawiratma juga menolak
perbandingan dengan analisis konseptualistis dengan tujuan untuk mempertemuakan
dua macam pengalaman supaya keduanya bertumbuh dalam dialog kritis dan jujur.
Banawiratma
mulai dengan mengemukakan dua tradisi yang ada dalam kehidupan masyarakat Jawa.
Yang mengikuti pandangan R. Redfield, yang membedakan antara “ tradisi besar”
yang di pelihara dan dikembangkan di dalam sekolah-sekolah dan kuil-kuil ibadat
dan “ tradisi kecil” yang berlangsung pada orang-orang kebanyakan di desa.
Sumbernya adalah tradisi besar : Serat
Wulangreh dan tradisi kecil : lakon wayang Dewa Ruci. Dalam hal ini berarti
hubungan guru dan murid dari zaman ke zaman yang selalu beruba dan pada abad ke
5 kedudukan guru menanjak, guru menjadi seseorang yang memiliki otoritas
religious, guru adalah Wisnu, guru adalah Siwa dan Brama guru diidentifikasikan
dengan yang ilahi.
Wulangreh
Wulang berarti “petunjuk”, Reh dihubungkan
dengan mangreh “ memerintah” , “ memimpin”, dan direh “diperintah”, “dipimpin”.
Reh juga berarti tatanan. Jadi, yang mau disampaikan adalah tatanan kehidupan.
Pertama-tama
ditekankan agar orang mencari guru yang baik. Berkaitan dengan situasi waktu
itu tidak baik karena ada guru yang mencari murid. Ini tandanya guru yang
jelek. Guru itu bisa orang tua, saudara tua, guru dan raja
Wayang
Dalang (pemain wayang) dapat dibandingkan
dengan seorang guru. Dia yang menunjukan jalan kepada rakyat mengenai apa yang
baik dan apa yang jahat. Misalnya lakon yang yang bertemakan tentang guru dan
murid yaitu Dewa Ruci disitu pandita Durna menjadi guru Wrekodara menjadi
murid. Yang menunjukan dalam kehidupan Dewa Ruci, Wrekodara merasa lemah dan
rendah, tetapi dalam pertemuan itu, dia menemukan dirinya sebagai mahkluk yang
luhur.
Injil
Yohanes
Disini Banawiratma
membahas konteks hubungan murid dan guru dalam Injil Yohanes yang ia pilih dari
lima ayat yang dianggap representative yaitu: Yohanes 8:31; 13:13; 13:35; 15:8;
17:18. Dari penelitian teks-teks ini dapat diambil kesimpulan bahwa Yesus
adalah Guru yang memiliki otoritas ilahi. Murid-murid adalah mereka yang yang
beriman, yang menerima bahwa Yesus adalah penyataan Allah. Dialog antara kedua
pengalaman ini bermula dalam keprihatinan hidup dalam masyarakat Jawa. Orang
Jawa sangat berprihatin untuk mencapai kesempurnaan hidup. Karena itu, mereka
mencari guru. Menurut Injil Yohanes, Yesus itulah Guru, yang unik, karena Dia
sendiri adalah pertemuan Allah-Manusia.
Oleh
karena itu, “orang-orang Jawa yang mengikuti Yesus Kristus tidak dicabut dari
hidup dan dunianya, tetapi juha tidak dipenuhi oleh dirinya sendiri dan
dunianya, kepenuhan itu datang dari Allah dalam kesatuan dengan yesus Kristus.
4.
Penilaian
Terhadap Pandangan J. B. Banawiratma S. J.
Thanks Bro atas ringkasannya, GBu.
BalasHapusThankyooouu
BalasHapus